Akhmad Sobirin, Pengangkat Derajat Penderes Nira Kelapa

Desember 31, 2020



Pulang ke desa, Sobirin mengalirkan perubahan untuk mendobrak sistem lama yang merugikan. Mengekspor ke mancanegara, Sobirin menyejahterakan penderes nira yang berdaya. Di tengah pandemi, Sobirin tetap lancar mengucurkan rejeki. Dengan sepenuh hati, Sobirin berwirausaha memberikan desa solusi nan mandiri.

Hawa sejuk menjerembab kesunyian perbukitan lereng barat Gunung Slamet yang basah sehabis hujan semalaman. Baskara belum jua tampak, masih terhijabkan mendung kelam yang menandakan hujan masih akan mengguyur hari itu. Pada sela-sela bukit dan lereng, kabut tipis mengalun perlahan berirama dengan kicauan burung yang memeriahkan. Di sebuah pertigaan jalan desa yang lengang, Sobirin menyambut sumringah, menghangatkan pagi saya tatkala memasuki Desa Semedo, Kecamatan Pakuncen, Banyumas.

“Selamat datang di kampung saya yang terpelosok ini, Mas. Nah, kalau ingin lihat penderes nira sedang beraksi, lebih baik segera langsung ke kebun saja pumpung masih pagi.” sambut Sobirin sekalian memberi saran kepada saya.

Dari balik nuansa kehidupan desa Semedo yang tenang dan syahdu, sesungguhnya masyarakatnya sudah bergiat menderes nira kelapa sejak sehabis subuh. Persepsi tentang kehidupan desa yang pelan, malas dan kurang produktif harus dibuang jauh-jauh di sini. Rutinitas pagi kehidupan masyarakat Semedo sudah diisi dari aktivitas memanjat batang pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya. Di Semedo, pohon kelapa memberkati sebagian besar penduduknya yang hidup dari menderes nira kelapa dan mengolahnya menjadi gula semut (kristal) dan gula cetak kelapa.

Di sebuah kebun dekat pemakaman desa, Kakek Sakrun baru saja turun dari pohon kelapa. Dia tampak menuangkan air nira dalam pongkor (tempat hasil sadapan nira kelapa) ke dalam jerigen besar penyimpanan nira. Air nira segar ini berwarna putih kusam dan menguarkan aroma manis. Sambil menyapa saya sejenak, Sakrun memanjat lagi dengan membawa dua pongkor yang terikat di pinggangnya. Tak sampai 10 menit, dia cekatan mengambil pongkor hari kemarin yang terisi nira dan menggantinya dengan pongkor baru yang akan diambilnya besok pagi. Pohon-pohon kelapa itu begitu tinggi menjulang sekitar 15-20 meter, tapi bagi Sakrun sudah jadi arena biasa yang harus dipanjatnya saban hari.

“Sehari saya biasa memanjat 25-30 pohon kelapa. Itu harus dilakukan di pagi dan sore hari, karena nira paling baik diambil pada saat tersebut.” ungkap Sakrun yang sudah puluhan tahun menderes nira kelapa.

Kakek Sakrun bersiap untuk memanjat pohon kelapa.
Dengan mengikatkan pongkor di pinggangnya, Sakrun cekatan memanjat batang pohon kelapa.
Dengan bendonya, Sakrun mengiris pelepah untuk mengucurkan nira yang akan ditampung dalam pongkor.

Pagi baru saja beranjak dari pukul 8, tapi Sakrun sudah memungkasi aktivitas menderes kelapa. Hari itu, Sakrun mendapatkan sekitar 20 liter air nira. Dia cukup beruntung, biasanya musim hujan membuat nira yang didapatkan tak sebanyak itu. Dia bergegas pulang ke rumah untuk segera mengolah nira kelapa menjadi gula kristal atau gula semut. Istri dan anaknya di dapur sudah mempersiapkan tungku, wajan dan api dari kayu bakar. Dapur masaknya tampak bersih, rapi dan berkeramik putih, walaupun perkakas-perkakas dapur yang digunakan serba tradisional. 

“Untuk membuat gula semut, air nira harus segera dimasak setelah disadap. Niranya harus segar, agar bisa mengkristal menjadi bubuk. Kalau telat, nanti hanya menjadi gula cetak atau gula jawa saja.” jelas Sobirin tentang pengetahuan dasar produksi gula semut.

Ketika perapiannya sudah siap, air nira dituangkan ke dalam wajan dengan disaring terlebih dulu. Sakrun, istri dan anaknya bergantian mengaduk nira hingga mengental. Nira yang mengental ini tak boleh dibiarkan diam, harus terus diaduk lembut sampai kadar airnya mengering. Proses ini bisa menghabiskan waktu 1-2 jam. Meski terlihat gampang, proses ini butuh keahlian dan ketlatenan untuk memastikan adonan karamel nira ini bisa mengering dan mengkristal menjadi bubuk ketika sudah mendingin. 

Putrinya Sakrun menuangkan nira kelapa untuk dimasak.
Sakrun mengaduk karamel nira untuk memastikan proses pembuatan gula semut berhasil.

“Gula semut ini membuat saya harus belajar lagi. Dulu belajar membuat gula cetak dari bapak saya. Lalu, belajar lagi membuat gula semut dari Sobirin. Proses gula semut lebih sulit tapi sepadan dengan hasil yang didapatnya” ungkap Sakrun

Puluhan tahun menjadi petani gula cetak, Sakrun telah terbiasa dengan pengolahan sekadarnya. Apapun hasil nira yang didapatkan dan diolah menjadi gula cetak, pasti akan terbeli. Pengawet yang diberikan untuk membuat gula cetak juga tak pernah dipersoalkan. 

Namun, proses produksi gula semut mengubah keseharian Sakrun. Sebagai petani kelapa yang memproduksi gula semut, ia wajib memerhatikan aspek natural, organik, higienitas dan tersertifikasi. Pohon kelapa harus bebas dari pupuk pestisida, proses pembuatan tidak memakai pengawet, serta dapur dan alat produksi harus bersih. Proses ketat ini ternyata tak menyurutkan semangat Sakrun untuk belajar menjadi petani gula semut. 

“Kenapa mau berganti gula semut, kan prosesnya lebih susah?” tanya saya tergelitik motif Sakrun mau berganti petani gula semut. 

“Sejak muda jadi petani gula cetak, kehidupan saya seperti tak berubah. Makanya, saya mau mencoba jadi petani gula semut, mungkin hidup bisa lebih baik” ungkap Sakrun sambil mengenang momen sekitar 7 tahun lalu peralihan dari gula cetak ke gula semut: harga gula cetak Rp6.000 per kg sementara gula semut dihargai Rp11.000 per kg.


Mengalirkan Semangat Pemberdayaan

Secara lanskap, Desa Semedo tak ada bedanya dengan desa-desa lain di Banyumas atau daerah-daerah lain di pulau Jawa. Tanah yang subur dengan pohon-pohon kelapa yang tumbuh tersebar di setiap pekarangan desa. Konturnya yang perbukitan juga membuat Semedo tak ada bedanya dengan desa-desa lain di perbukitan. 

Yang kontras menjadi pembeda ialah hadirnya sosok Akhmad Sobirin, sang putra desa yang mengalirkan semangat perubahan ke Semedo. Desa Semedo yang berlanggam tenang itu jadi bersemarak dengan bergeliatnya ekonomi desa berbasiskan gula semut. Pohon kelapa dan penderes nila yang menjadi jantung kehidupan Semedo diangkat harkat martabatnya oleh Sobirin. 

Sobirin menunjukkan saya sebuah fasilitas pemrosesan gula semut berdiri di tengah perkampungan Semedo yang lengang. Jangan bayangkan itu sebagai sebuah pabrik megah dengan cerobong asap tinggi yang mempekerjakan banyak tenaga kerja. Bangunan berukuran sekitar 12 x 10 meter itu berada di samping rumah Sobirin. Daripada disebut sebagai pabrik, lebih tepat disebut sebagai rumah produksi gula semut. Bangunan pemrosesan gula semut ini dia dirikan untuk memperlancar pemasaran gula semut melalui CV Karya Muda Jaya, perusahaan miliknya.

“Rumah produksi ini bisa menjadi sebuah tanda untuk memberi keyakinan masyarakat Semedo pada usaha produksi gula semut di desa.” ungkap Sobirin.

Gula semut dari Sakrun dan ratusan petani yang tergabung pada Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Manggar Jaya diserahkan ke rumah produksi milik Sobirin. Petani-petani ini berasal dari Semedo dan beberapa desa sekitarnya seperti Karangkemiri, Petahunan, dan Kedungurang. Dari petani, biasanya standar gula semut bisa berbeda-beda seperti besar butiran, warna, hingga tingkat kadar air. Di rumah produksi ini, gula semut diproses lagi agar memenuhi standar ekspor. 

Dengan cekatan, Mukhlis memindahkan plastik-plastik gula semut kiriman petani ke loyang-loyang aluminium. Selanjutnya loyang ini dimasukkan dalam oven untuk dipanaskan pada suhu tertentu untuk mencapai tingkat kadar air 2% sesuai syarat ekspor. Tahapan selanjutnya gula semut masuk ke dalam mesin ayakan 18 mesh untuk menjadi butiran yang terstandardisasi. Di sudut lain ruangan, beberapa karyawan sedang cermat melakukan penyortiran untuk memastikan hanya butiran gula semut yang layak eksporlah yang dikemas. Selanjutnya, gula semut berkualitas itu dikemas dalam plastik curah. Ada juga gula semut yang dikemas dalam aluminium foil kedap udara bermerek “Semedo Manise”. Total ada 15 karyawan yang bekerja dalam pemrosesan gula semut. 

“Gara-gara ada produksi gula semut di Semedo, saya pulang kampung. Sebelumnya saya asyik merantau ke Sumatera dan Kalimantan bekerja sebagai teknisi. Lebih baik kerja di desa saja, hidup ayem tapi kebutuhan tercukupi.” ungkap Mukhlis, salah satu karyawan prosesor gula semut.

Muslikh memasukkan loyang berisi gula semut warga untuk dikeringkan sampai kadar air 2%.
Memasukkan gula semut yang sudah dioven ke dalam ayakan.
Menyortir dan memisahkan gula semut yang 'defect'
Gula semut sudah diplastiki.

Walau berada di desa, Sobirin menjelaskan bahwa kapasitas rumah produksi gula semutnya bisa mencapai 2,5 ton per hari. Besar kapasitas itu sanggup menyerap gula semut dari para petani yang menjadi binaannya. Dalam sebulan, produksi gula semut bisa dipasarkan sebanyak 20-30 ton. Sebagian besar pemasaran gula semut berorientasi ekspor, yakni 98% ke Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa. Pasar dalam negeri juga mulai meminati produk gula semut “Semedo Manise” yang dijual retail via online marketplace dan supermaket dalam varian berbagai rasa seperti original, jahe, sirsak dan lain-lain.

“Masa Pandemi Covid-19 malah menjadi berkah bagi kami dan petani. Tak hanya tetap bertahan laku, pemasaran gula semut malah meningkat. Alhamdulillah, masyarakat desa tetap memiliki pendapatan yang bagus di masa-masa susah seperti ini.” jelas Sobirin.

Pada awalnya, sempat ada kekhawatiran pandemi Covid-19 membuat lesu bagi pemasaran gula semut. Maklum, banyak sektor usaha yang terdampak akibat pandemi Covid-19. Nyatanya, di saat perekonomian dunia tampak suram pada masa Covid-19, permintaan gula semut Semedo malah meningkat. Pada bulan Juli-September 2020 sempat melonjak hingga 50 ton per bulan. Harga jual gula semut pun tetap stabil bagus. Hal ini berimbas pada harga beli pada tingkat petani pun tetap menggairahkan. Para petani petani gula semut mendapatkan Rp20.500-21.000 per kg gula semut. Rata-rata setiap petani gula semut mampu menghasilkan 5-7 kg gula semut per harinya.

“Sekarang dari gula semut, masyarakat Semedo bisa mendapatkan minimal Rp100 ribu per harinya. Jumlah uang yang tak hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, tetapi bisa ditabung untuk masa depan.” ungkap Sobirin penuh kelegaan.

“Coba bandingkan dengan saat-saat dulu masih terjerat tengkulak untuk membuat gula cetak yang hanya dihargai Rp5000 per kg. Dalam sehari, sekeluarga petani gula cetak paling hanya mengantongi 30-an ribu rupiah. Tak ada uang yang bisa ditabung, malah kekurangan uang dan bahan makanan ditutup dengan utang dari tengkulak” lanjutnya mengingat masa-masa silam. Sobirin paham betul kondisi sulit yang melilit penderes nira. Ia lahir dan besar dari keluarga besar bapak dan ibu petani gula cetak.


Awal Kisah yang Tak Mudah

Menawarkan perubahan di desa tidaklah segampang hanya memberikan konsep di atas kertas. Dengan ritme kehidupan yang pelan, masyarakat tak akan mudah untuk diajak berubah drastis, yang tak memberikan kepastian hasil. Sekalipun, perubahan itu menjanjikan hasil yang lebih baik. Belum lagi, terdapat tatanan dan perangkat lama yang resisten terhadap aneka perubahan, yang dinilai bisa mengancam eksistensinya. Begitulah kondisi Semedo yang harus dihadapi Sobirin ketika memutuskan pulang kampung setelah merantau dari kota.

Pada Februari 2012, Sobirin pulang ke Semedo dengan predikat lulusan Sekolah Vokasi Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada, pernah bewirausaha semasa kuliah, dan bekerja di beberapa perusahaan di Jakarta. Tekad kepulangannya ke Semedo tak main-main. Ia niatkan untuk menjalankan wirausaha dari desa sekaligus membangkitkan ekonomi masyarakat di desanya. Pada awalnya, dia memilih berwirausaha jamur tiram. 

Seiring berjalannya waktu, Sobirin melihat potensi besar dari usaha gula semut yang sedang bergairah di wilayah Banyumas dan sekitarnya. Gula semut memiliki pasar yang menjanjikan, terutama untuk keperluan ekspor. Semedo yang selama ini berdetak dari gula cetak, yang mana kondisi ekonomi masyarakatnya seperti tak ada perubahan, alangkah baiknya menjajal untuk beralih sebagai produsen gula semut. Sobirin pun belajar produksi gula semut secara otodidak sembari memahami pertanian kelapa dari orang tua dan saudara-saudaranya. Dia mantap punya keyakinan bahwa gula semut bisa menjadi jalan kesejahteraan bagi warga desanya.

“Saya rutin mendatangi setiap dapur para petani gula cetak untuk memberikan pengetahuan dan prospek gula semut. Saya tlaten ajarkan cara pembuatan gula semut tahap demi tahap.” kenang Sobirin dalam upaya awal mengenalkan gula semut.

Tak mudah meyakinkan setiap petani untuk mengubah kebiasaan dari produksi gula cetak ke gula semut. Ada yang ragu, ada yang resisten. Masalah kerepotan, kebersihan, dan larangan bahan pengawet adalah biang kendala warga enggan beralih ke gula semut. Belum lagi, cibiran dari warga yang menyangsikan keberhasilan usaha gula semut miliknya.

Lha wong hasilnya saja belum jelas untuk bisa menyejahterakan diri sendiri, masak mau menyejahterakan orang lain.” Sobirin ingat betul menirukan ucapan salah satu warga yang meremehkannya. 

Untungnya, Sobirin berhasil meyakinkan 25 warga Semedo untuk memproduksi gula semut. Pada 1 Juni 2012, Sobirin bersama warga Semedo yang tertarik pada gula semut ini mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Manggar Jaya. Pendirian kelompok tani ini menjadi tonggak penggalakan gula semut yang mampu memberdayakan masyarakat Semedo. 

Sobirin meyakini pendirian kelompok tani adalah langkah mendasar agar petani gula semut tetap konsisten dan berkelanjutan. Selain untuk memudahkan koordinasi dan pembinaan, kelompok tani bisa menjadi jalan untuk memperkuat posisi tawar dalam dinamika masyarakat yang tercengkeram oleh kehadiran tengkulak. Selama puluhan tahun, masyarakat Semedo terbiasa dengan peran tengkulak gula cetak, sehingga tak pernah terpikirkan mengaktifkan kelompok tani. Sampai ada pandangan kalau berkelompok hanya menjadi ajang kumpul-kumpul saja membahas hal yang tidak bermanfaat, yang menghabiskan waktu saja. 

Keseriusan Sobirin dalam menggarap gula semut di desanya mulai menampakkan hasil. Jumlah warga yang menjadi kelompok binaannya makin bertambah. Kemampuan warga Semedo menghasilkan gula semut juga makin meningkat. Dapur masak gula semut mulai dibenahi, baik dengan dana masing-masing warga maupun bantuan pemerintah melalui kelompok. Alat-alat produksi juga diganti dengan alat yang menerapkan kaidah higienitas dalam setiap proses.

Sobirin membentuk CV Karya Muda Jaya untuk menampung gula semut petani, memproses sesuai standar ekspor dan memasarkan gula semut Semedo. Rantai nilai (value chain) usaha yang makin stabil dinilai mampu memberikan jaminan bahwa produk gula semut Semedo bisa dipasarkan dengan baik. Masyarakat pun makin mantap memproduksi gula semut, tak tergiur lagi produksi gula cetak

“Saat usaha gula semut saya makin naik, tengkulak yang tadinya menganggap remeh saya mulai mengancam saya. Lha, pasokan gula cetaknya makin berkurang di Semedo. Namun, setelah saya ‘tantang’ balik, tengkulak itu tidak berani. Setelah itu, tidak berani ganggu lagi” ungkap Sobirin saat klimaks ‘konfliknya’ dengan tengkulak gula cetak.

Sobirin paham produk gula semutnya ini harus memenuhi persyaratan pasar yang berorientasi ekspor. Tak hanya mementingkan kuantitas, kualitas juga menjadi hal penting bagi keberlanjutan usaha gula semut. Di pasar US dan Eropa, gula semut harus memenuhi persyaratan dan sertifikasi terkait organik, higienitas dan bebas dari eksploitasi kerja. Sobirin membina kelompoknya secara intensif agar bisa memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sobirin juga menerapkan pengendalian mutu produk dalam setiap tahapan produksi gula semut, agar jangan sampai gula semut yang dihasilkan petani tidak lolos standar. 

Gula semut menjadi komoditas yang diminati pasar Eropa dan AS.
Setiap proses harus dipastikan sesuai prosedur yang memenuhi sertifikasi produk.  

Gerakan kewirausahaan Sobirin selalu berpijak pada pemihakan kepada petani gula semut. Pernah suatu ketika, usaha gula semutnya rugi 7 ton karena sudah memasok tetapi sehari setelahnya harganya anjlok. Sobirin menanggung kerugian itu dengan merogoh kocek pribadi demi petani tetap yakin memproduksi gula semut. Sobirin juga selalu menekankan transparansi dalam usaha berbasis pemberdayaan masyarakat. Baginya, hal itu penting agar masyarakat tetap berkomitmen menjaga kualitas produk gula semut. 

Dalam berproses melalui KUBE Manggar Jaya, para petani gula semut juga diperhatikan kualitas hidupnya. Sobirin mendaftarkan anggotanya dalam BPJS Ketenagakerjaan. Langkah ini menjadikan satu-satunya kelompok tani yang memiliki asuransi tenaga kerja. Di samping itu, para anggota diberikan kemudahan untuk akses Kredit Usaha Rakyat hingga sebesar Rp25 juta. 

“Melatih kemandirian melalui akses kredit itu penting bagi para petani gula semut agar tak mudah terjerat oleh para tengkulak.” tuturnya


Berprestasi dan Berkolaborasi dalam SATU Indonesia – Astra

Jejak kewirausahaan Sobirin yang bergelut dengan potensi desa tapi menghasilkan produk ekspor berkualitas mulai tercium harum oleh Pemerintah Daerah. Pada tahun 2015, Sobirin didaftarkan Dinas Pemuda dan Olahraha Kabupaten Banyumas untuk mengikuti ajang bergengsi tingkat nasional: Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award yang diselenggarakan PT Astra International Tbk. SATU Indonesia Awards merupakan ajang penghargaan untuk mengapresiasi pemuda Indonesia yang dinilai telah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Namun, dia hanya masuk tahap 100 besar. 

Pada kesempatan tahun 2016, Sobirin mengikuti lagi ajang SATU Indonesia Awards. Kali ini Sobirin meraih hasil membanggakan dengan torehan prestasi sebagai salah satu penerima Satu Indonesia Awards di bidang Kewirausahaan. Kemenangan ini menjadi bukti bahwa ikhtiarnya memberdayakan petani gula semut di Semedo melalui kewirausahaan diakui patut menjadi teladan. Masyarakat Desa Semedo pun berbangga bahwa putra terbaiknya mampu mengharumkan nama Desa Semedo yang selama ini dikenal terpelosok.

“Menjadi penerima apresiasi membuka jalan saya untuk lebih banyak lagi belajar untuk mengembangkan usaha sekaligus memberdayakan masyarakat” ungkapnya.

Akhmad Sobirin menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Awards tahun 2016.

Sejak menyandang predikat sebagai pemenang SATU Indonesia Awards, nama Sobirin makin harum dalam gerakan kewirausahaan masyarakat. Dia sering diundang menjadi pembicara dan mentor terkait wirausaha dari berbagai institusi. Dalam program pemberdayaan masyarakat, berkat Sobirin, SATU Indonesia Astra juga mulai merambah memberikan pembinaan dan bantuan alat produksi gula semut kepada masyarakat Semedo.

Pada pertengahan tahun 2018, Astra memberi kepercayaan kepada Sobirin untuk mengoordinasi Desa Sejahtera Astra: Desa Penghasil Gula Kelapa Organik yang meliputi Desa Semedo, Petahunan dan Karangkemiri. Desa Sejahtera Astra mengemban semangat kewirausahaan yang berangkat dari usaha kecil berbasis pertanian. Desa Sejahtera Astra merupakan pondasi kewirausahaan sebagai bagian dari empat pilar Kampung Berseri Astra (KBA), yakni pendidikan, kesehatan, kewirausahaan dan lingkungan.

Dari upaya giat Sobirin membina pemberdayaan masyarakat, Desa Semedo dan sekitarnya kemudian ditingkatkan menjadi Kampung Berseri Astra (KBA) Banyumas Satria. Sebagai inisiator gerakan, Sobirin dipercaya sebagai KBA Banyumas Satria. Dengan menjadi KBA, tak hanya kewirausahaan yang dikembangkan, tetapi juga pendidikan, kesehatan dan lingkungan yang turut diberdayakan. Misi Sobirin untuk memajukan desanya tak saja dipenuhi semata-mata dari aspek ekonomi masyarakat, tetapi juga dari aspek kualitas kehidupan secara umum.

“Bantuan-bantuan yang diberikan Astra memiliki sifat yang berkelanjutan dan berdampak luas.” jelas Sobirin yang begitu senang mendapatkan bantuan dari Astra.

Setelah ditetapkan menjadi KBA Banyumas Satria yang meliputi 6 desa, yakni Semedo dan desa sekitarnya, jumlah anggota KUBE Manggar Jaya pun melonjak menjadi sekitar 400 orang. Gairah masyarakat untuk menghasilkan gula semut melalui saluran yang dulunya dirintis Sobirin begitu menggembirakan. Pasokan gula semut untuk usaha Sobirin menjadi kian terjamin. Sustainabilitas kewirausahaan sosial gula semut di Semedo tampaknya kian cerah ke depannya.

“Masyarakat telah paham bahwa kesejahteraan bisa diperoleh dengan bekerja sama dan dinikmati bersama-sama.” jelas Sobirin.


***

Sakrun beberapa tahun lagi menginjak usia 60 tahun. Sobirin menghendaki Sakrun berhenti memanjat menderes nira ketika usianya telah mencapai kepala enam. Sobirin memikirkan warga-warga yang mulai sepuh itu perlu bergeser pada jenis pekerjaan yang lebih tak berisiko. Semangat tetap berkarya di masa tua tak boleh dipadamkan. Sobirin menyiapkan beragam jenis pekerjaan lain seperti peternakan sapi dan kelinci, penanaman karet, paket homestay, dan lain-lain.

Sakrun tak yakin anak dan menantunya mau melanjutkan untuk menderes kelapa. Pohon kelapa setinggi 20-an meter itu bukanlah arena yang generasi muda mau menaklukkan sehari-hari. Regenerasi penderes nira juga menjadi tantangan yang harus mulai dihadapi. Sobirin mulai mendorong kelompok tani untuk melakukan pembibitan dan menanami pohon kelapa genjah yang niranya dapat dideres dengan cara berdiri. Anak muda tak perlu memanjat pohon sehingga menghilangkan kekhawatiran risiko jatuh. Selain itu, varietas genjah ini bisa dipanen ketika berusia 6-7 tahun.

Tak hanya gula semut, produk turunan kelapa yang potensial bernilai ekspor adalah VCO.
Saya menikmati suguhan Gula Rempah produk Semedo Manise-nya Ahmad Sobirin.

Sobirin juga berupaya merangsang minat pemuda-pemudi desa untuk terlibat dalam usaha perkelapaan di desanya. Sobirin mendiversifikasi produk turunan kelapa seperti dengan memproduksi virgin coconut oil (VCO) atau minyak kelapa, budidaya kelapa kopyor, serta kerajinan tempurung kelapa. Langkah ini dilatarbelakangi generasi muda tak bisa langsung ditarik sebagai penderes nira. Namun begitu, jika diversifikasi ini mencipta produk baru yang berkelanjutan, hal tersebut bagus karena pilihan masyarakat desa semakin banyak untuk berkarya.

Sumbangsih Sobirin pada desanya telah mampu mengangkat derajat masyarakat penyadap nira. Teladan Sobirin tak hanya bisa diukur pada nilai rupiah yang dihasilkan, tapi ikatan masyarakat yang kembali kuat penuh kepercayaan untuk bekerja sama. Gairah masyarakat untuk berproses pada apa yang dimilikinya menjadi muncul bersemangat. Masyarakat punya sejuta alasan untuk mencintai lagi tanah airnya dan memberdayakannya untuk kemakmuran bersama.

“Setiap hendak memberdayakan masyarakat desa, meningkatkan ekonomi itu penting. Namun, menguatkan ikatan sosial masyarakat untuk bergerak bersama, maju bersama, sejahtera bersama itu jauh lebih penting. Hidup makmur di desa itu harus bersama-sama” pungkas Sobirin memberi pesan.

 #SemangatMajukanIndonesia #KitaSATUIndonesia

Sobirin terus berkarya mengembangkan potensi desanya. Apresiasi dari ASTRA membuka jalan untuk mengantarkan menjadi Kampung Berseri Astra (KBA)



You Might Also Like

6 komentar

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK