Klangenan Pacuan Kuda Ambal
Juni 19, 2019
Tak ada yang ingin menjadi pecundang sore itu. Para joki kuda tak hentinya ‘membujuk’ kuda tunggangannya untuk berlari sekencang mungkin. Dalam race kali itu, delapan kuda beradu paling cepat dalam lintasan berjarak 1.000 meter. Sorak sorai penonton begitu riuh membahana, coba menyemangati laju para kuda. Walaupun begitu, apapun teriakan penonton tentunya tak akan didengar sang kuda. Turangga hanya patuh pada nalurinya untuk terus berlari, berlari dan berlari.
Gegap gempita ini bukan perlombaan tingkat nasional di lapangan equestrian yang representatif. Event ini hanyalah Pacuan Kuda di lapangan kampung nonpermanen, di sebuah desa di pesisir selatan Jawa. Biasanya di Lapangan Tegalrejo, Desa Ambalresmi ini ditanami lombok, jagung dan aneka palawija lainnya. Hanya, lintasannya saja yang bertahan sebagai tempat latihan.
Pacuan
Kuda Ambal menjadi keramaian lokal yang hadir pada setiap musim Hari Raya Idul
Fitri. Ia sudah menjadi bagian tradisi tak terpisahkan di Ambal dan kawasan
Urut Sewu, kawasan tua yang dihuni masyarakat berjiwa merdeka. Pada hari ke-4
hingga ke-7 Idul Fitri, biasanya Pacuan Kuda Ambal berlangsung menjadi pengisi
liburan masyarakat di wilayah Kebumen dan sekitarnya. Yang menjadi kebanggaan, pacuan
kuda desa di bawah naungan PORDASI (Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia). Kabupaten Kebumen ini rutin diikuti oleh klub dan stable kuda dari berbagai wilayah di Jawa
dan Bali.
***
Debu
beterbangan liar menyergap para penonton. Namun, mbah Rukiyem berusaha tak
menghiraukannya walau ia duduk di tikungan – lokasi di mana sepakan kuda paling
banyak memroduksi debu. Dalam usianya yang sudah senja, ajang pacuan kuda menjadi
hiburannya yang megah nan meriah. Ia datang bersama cucunya yang mudik dari
perantauan di Jakarta dan Palembang. Rumah Rukiyem sebenarnya tak jauh dari
lokasi, tapi datang menonton bersama keluarga adalah sebuah romantisme lintas
generasi.
“Menonton
pacuan kuda sudah jadi tradisi kami tiap lebaran. Habis dari main di laut (pantai)
Ambal, makan Sate Ambal lalu menonton pacuan kuda saat sorenya.” ungkapnya.
Sekitar 1,5 km ke selatan Lapangan Pacuan Kuda, terdapat Pantai Ambal. Sebenarnya pantai ini tak menyajikan panorama istimewa. Standar saja seperti pantai pesisir dataran rendah Pulau Jawa, yakni: hamparan pasir hitam pekat dengan gumuk pasir yang memiliki ombak Samudera Hindia yang berbahaya. Namun, ini musim Lebaran, di mana setiap pantai menjadi tujuan ‘sakral’ bagi masyarakat masyarakat Kebumen dan sekitarnya. Dalam kepercayaan orang Kebumen dan sebagian masyarakat Jawa, terdapat tradisi mendatangi laut selepas Lebaran. Ada kepercayaan, tatkala hadir di laut Selatan dan membasuh muka atau mandi air laut maka akan jadi awet muda dan meruwat sial. Silakan saja bagi yang memercayai.
Di
Ambal, beruntungnya tak cuma soal pantai saja, tetapi paripurna memiliki paket
kemeriahan otentik berupa kuliner Sate Ambal dan Pacuan Kuda Ambal. Musim
Lebaran membuat banyak warga Ambal secara musiman turut berjualan Sate Ambal.
Lapak-lapak sate Ambal ini melengkapi warung-warung Sate Ambal yang berjajar
ramai di sepanjang Jalan Raya Daendels. Sudah lazim jadi satu paket di Ambal,
orang datang untuk menikmati pantai, dan menyantap sate Ambal. Kemudian, pacuan
kuda Ambal menjadi ‘combo’ kunjungan masyarakat ke Ambal.
Di
samping ketiga ikon itu, sekarang di Ambal juga ada destinasi anyar yang
mengadopsi tren kekinian yakni: Taman Bunga Ambal di jalan menuju Pantai. Ada
juga di Pucangan, sebelah utara desa Ambal, warung kopi signatur Ambal, yakni
Yuam Roasted Coffee yang menampilkan kopi pesisir (termasuk arabika) dengan
cara penyajian seduh menggunakan alat berbahan bambu. Di musim Lebaran ini,
Ambal adalah sebuah semesta desa yang gemerlap dengan hasrat liburan masyarakat
yang terajut bersama tradisi dan potensi setempat.
Di arena pacuan kuda sore, romantisme mbah Rukiyem juga dialami oleh ribuan penonton pacuan kuda lainnya. Kedatangan saya ini adalah setelah 10 tahun absen menonton Pacuan Kuda Ambal. Tak banyak yang berubah. Antusiasme masyarakat segala lapisan usia tetap berlimpah. Penjual dadakan mulai dari bakul makanan, jajanan, Sate Ambal, mainan anak-anak, VCD bajakan, hingga penjual unggas kecil warna-warni, segalanya ada. Tentu juga, para petaruh tetap banyak, tak perlu malu eksis menampakkan diri, yang tak akan melewatkan setiap racenya untuk keberuntungannya.
Dari
fasadnya, ‘tribun’ penonton dengan tarub dan kursi plastik (lebih mirip acara
pernikahan di desa sebenarnya) tak ada bedanya dengan sepuluh tahun lalu dan
berpuluh-puluh tahun lalu. Arena pacuan kuda juga masih ditutup dengan
seng-seng yang dibentuk pagar mengelilingi lapangan. Untuk masuk, pengunjung
dibanderol tiket Rp15.000 untuk berdiri dan Rp20.000 untuk duduk di ‘tribun’.
Loketnya pun masih mempertahankan kekhasan, sebuah bangunan terbuat dari gedek
bambu yang memiliki beberapa lubang sebagai tempat membayar.
Sekelompok
orang tua memainkan musik orkes klasik yang dipadu dengan Janengan, musik khas
daerah Kebumen. Ada terompet, trombone, Mereka adalah grup S3 alias Sampun
Sepuh Sedoyo (Sudah Tua Semua). Mereka akan tampil setiap menyambut para kuda
dan joki masuk ke arena dan mengisi waktu antar race untuk menghibur. Para
penonton pun bisa andil menjadi penyanyi – asalkan lagunya bisa dimainkan. Bagi
saya, S3 ini jadi semacam ‘rural legend’ yang keberadaannya menjadi pemeriah Pacuan
Kuda Ambal.
Ajang pacuan kuda Ambal ini pun tak hanya milik orang dewasa. Ada race yang khusus yang melombakan pacuan kuda kelas anak-anak. Seorang bocah perempuan asal Garut menjadi penarik perhatian. Bajunya jambon begitu kontras, ingin menegaskan keberaniannya sebagai pengendali kuda balap. Saya mengharapkannya menjadi pemenang. Ketika race dimulai dengan jarak 1000 meter, ia gagal melaju. Ia jatuh dari kudanya saat baru berlari 20 meter akibat kecelakaan. Saya khawatir terjadi apa-apa. Namun, untungnya dia tidak terluka. Ia segera bangkit dipandu panitia dan istirahat dari lomba. Harus diingat, pacuan kuda ini punya risiko besar, baik bagi joki pembalap maupun para penonton.
“Tolong
yang punya payung, jangan digunakan saat balapan berlangsung bisa membuat kuda
terganggu. Tolong juga jangan melintas sembarangan saat balapan. Jaga dompet
dan barang-barang berharganya, termasuk anak kecil dan simbah-simbah ”
begitulah panitia terus menerus mengingatkan penonton demi keselamatan dan
keamanan setiap kali race berlangsung.
***
Pacuan
Kuda Ambal telah terkenal di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Pacuan kuda
sudah ada sejak tahun 1956. Baru beberapa tahun ini dipromosikan sebagai event
wisata Kebumen. Namun, bagi orang di kawasan Urut Sewu, Pacuan Kuda Ambal tetap
akan meriah sebagaimana mestinya sebagai pengisi tradisi dan pusat kemeriahan
di musim Lebaran. Pacuan Kuda Ambal selama puluhan tahun telah menjadi semacam ‘klangenan’
yang harus didatangi. Jika lebaran telah pergi, Pacuan Kuda Ambal pasti akan
dirindukan agar bisa menonton lagi di ajang tahun depan.
“Kalau
saya masih dikaruniai umur, tahun depan saya akan menonton Pacuan Kuda lagi,”
harapan Mbah Rukiyem. Saya tentu aminkan sepenuh hati. Amiin. Sampai jumpa di tahun depan Mbah.
4 komentar
Mas, ini kalau banyak yang menyebarkan pasti bakal menggaet wisatawan lebih besar loh. Jarang-jarang di Jawa ada tradisi menarik seperti ini. Saya yakin, teman yang bukan dari Kebumen pasti banyak yang tidak tahu ada acara keren seperti ini tiap habis lebaran.
BalasHapusIya mas Sitam. Aslinya sangat menarik banget. Ditambah ada kuliner sate ambal. Soalnya kurang promonya. Seolah2 tetap jadi agenda lokal orang Ambal saja dan pemain kuda di Kebumen.
HapusTahun depan kudu lebih dimasifkan promosinya nih. Malah harusnya jauh-jauh hari.
Even yg keren ini mas. Saya malah belum pernah berkunjung ke jateng bagian selatam sperti porjo & bumen :)
BalasHapusPacuan Kuda adanya cuma pas lebaran mas Daniel. Tapi di Kebumen banyak juga pesona lainnya. Ayok mas main ke Kebumen..
Hapus