Memotret Detak Kampung Code
Maret 21, 2019"Payung Keselamatan Warga Kampung" |
Namun, Kampung Kali Code Jogja menyuguhkan suasana keramahan yang tak ‘gumunan’ dan ‘isinan’ dengan orang luar. Dengan berbekal permisi, sopan dan senyum, Kampung Kali Code adalah arena interaksi yang membentang tanpa sekat-sekat kecanggungan antara warga setempat dengan orang luar.
Malioboro sudah ramai saja
tatkala hari masih pagi. Sejak ditata menjadi ruang lebih ramah pedestrian,
ikon Jogja ini tak lagi mengenal waktu perihal keriuhan para turis. Saya
melipir dari Malioboro ke arah timur, sengaja menjelajah Kampung Code bersama
kawan-kawan #NyetritBareng edisi ke-3 bekerja sama dengan Gudang Digital Yogyakarta. Walau sudah terkenal dan lokasinya dekat dengan
jalur utama pusat wisata Jogja (Tugu Pal Putih – Alun-alun Kidul), Kampung Code
masih lazim dikenal sebagai wisata minat khusus yang “hidden gem” dan “underrated”
di Jogja. Bagi saya, kalau ingin tahu kehidupan kawula rakyat perkotaan Jogja yang
sebenarnya, Kali Code bisa menyuguhkan paras dan rasa apa adanya.
Kali Code menjadi sungai
utamanya Jogja yang menghubungkan Merapi, melintasi paling dekat Kraton dan bermuara
di Samudera Hindia. Inilah sungai nadinya Jogja yang membersamai tradisi “sumbu
makrokosmos Jogja”. Di antara kampung-kampung sepanjang Kali Code, yang biasa
dijelajahi adalah yang berada di timur Malioboro, di daerah Suryatmajan dan
Ratmakan Ngupasan. Saya menelusuri lorong-lorong kampung di RW 07 dan RW 08,
yakni antara Hotel Melia Purosani sampai Taman Parkir Abu Bakar Ali.
Saya pernah fatal berpandangan
bahwa kota-kota yang menawan di dunia selalu punya sungai yang di sekelilingnya
terdapat taman indah dengan bangku-bangkunya, jalur pedestrian lebar dan
hiburan-hiburan jalanan yang meriah. Lalu, turis dan warganya bisa menikmati
tempat pinggir sungai itu dengan panorama gedung tinggi menjulang, lalu lalang
kapal/perahu dalam suasana sore yang syahdu dan malam yang berkelipan cahaya.
Saya mengalaminya di Melbourne, Sydney dan kota negara maju lainnya, detak
kehidupan semacam ini memang menyenangkan dan secara gegabah berimajinasi ingin
menikmati di Indonesia.
Bagaimana kalau diterapkan di
Jogja? Beda negara, beda tradisi pembentuk peradaban. Mengaplikasikan standar lanskap
sungai negara maju di Jogja, di Kali Code-nya, berarti menggusur ruang hidup sekaligus
merusak budaya peradaban sungai masyarakat Jogja. Di Kampung Code, menikmati kampung
di sepanjang kali adalah tentang menelusuri lorong-lorongnya dengan interaksi
yang hangat dan intim bersama masyarakat penghuninya.
Kita butuh sebuah cara pandang
yang berbeda dan lokal untuk menikmati khasanah sebuah lokasi. Bandingkanlah,
kalau di Melbourne, kita lebih menikmati ke arah individualistik: bengong
melihat gedung tinggi dan tersunyi dalam lalu lalang orang dan sungai. Di
Kampung Code, sebaliknya, kita bisa menikmatinya kalau bersosial, berbincang
dengan warga setempat sambil makan jajanan di pinggir sungainya. Ragu soal
kebersihan? jangan terlampau buruk sangka dengan kampung pinggir kali. Di
Kampung Code, kebersihan sudah merasuk dalam kehidupan kesehariannya. Kesadaran
masyarakat Code sudah dalam tahap paripurna soal menjaga kebersihan, kerapian
dan hal-hal indah lainnya.
“Di RW 08, sudah sejak lama
sampah tak pernah dibuang ke sungai. Sampah dikumpulkan di rumahnya
masing-masing. Nanti ada petugas kampung yang rutin mengumpulkan. “ungkap
seorang warga di Suryatmajan.
Tingkah anak-anak adalah
stimulus kuat Kampung Code ini begitu terbuka untuk dipotret. Biasanya saya
mendekati dari keusilan bocah-bocah yang kemudian ditangkap dengan perbincangan
akrab bersama orang-orang dewasa. Dari situlah obrolan melebar-lebar dan
memotret ragam rupa kampung pun jadi lega. Di Kampung Code, ikhtiar pendekatan
bisa begitu sederhana, cepat dan tak perlu panjang kali lebar berbusa-busa.
Interaksi itu selalu jadi
kunci dan bekal untuk akrab di Code. Secara ‘template’, warga tak akan melarang
kita memotret. Namun, biasanya kita jelas kurang mendapat respek kalau memotret
sembarangan dan serampangan, terutama yang melibatkan orang. Sepanjang
perjalanan menyusuri lorong-lorong Kampung Code, saya melimpah dapatkan momen yang
asyik dan ‘hidup’.
Sebagai travel blogger, saya
suka motret momen apa adanya di jalanan. Namun, tak terlalu paham soal selera ‘streetphotography’
yang seperti apa, yang bisa dinikmati oleh khalayak luas. Saya biasanya
berpegang pada kaidah bahwa streetphotography itu yang paling cair dalam teknik
fotografi. Saya biasanya mengincar tingkah dan ekspresi bocah kecil, kegiatan ekonomi
masyarakat, lanskap atau aktivitas kontras, sarana publik masyarakat dan cerita
tokoh lokal. Di Kampung Code yang dinamis itu, saya beruntung bisa
mendapatkannya dengan berlimpah ruah.
Inilah visual-visual yang saya
abadikan dari perjalanan di Kampung Kali Code.
"Menolak Kalah dari Laju Zaman" |
"Begron" |
"Loreng-Loreng x Warna-Warni" |
"PSIM Masih Terbelenggu" |
"Berjuang Di antara Sibuk" |
"Membaui Kegembiraan" |
"Mencari Cahaya" |
"Bincang-bincang Gurih" |
"Potret Orang Code" |
"Kerja untuk Momong" |
"Mencubit Mancung Petruk" |
"Jack Daniels" |
"Wahai Saudara-Saudara, Ini Pilihanku" |
"Om, Mengupil adalah Nikmat Hakiki" |
"MLZ MZ, ROKOK ENA" |
"Rukun Bergandeng Tangan" |
"Umbah-umbah" |
"Kelok Elok Code" |
"Dijeda Pesona Gadis Jambon" |
"Rajin Mengrajin" |
"Layangan di Pinggir Kali" |
"Menambang Pasir Code" |
"Penjaga Masjid" |
6 komentar
Aku jadi ingat bapak yang pakai kaos loreng-loreng. Beliau itu yang kulihat waktu survei pertama. Di tempat yang sama, duduk sambil menikmati kopi dan gorengan di bawah Rusun.
BalasHapusAku awalnya membayangkan memotret di Kampung Code bakal menyeramkan. Mengingat kehidupan warga di bantaran sungai biasanya cenderung lebih keras. Rupanya, mereka sangat ramah dan antusias. Cuma terus aku tertegun sama pertanyaan salah seorang anak kecil waktu itu, "Mas, kok difoto terus toh."
BalasHapusAku langsung berhenti. Mungkin mereka sudah jengah jadi obyek.
Fotonya bagus banget, mas!
BalasHapusSaya pribadi suka lihat hasil jepretan candid/street photography. Bener2 serasa menangkap "a slice of life" dr obyeknya. Kaya fotonya mas, serasa melihat kehidupan orang2 di Code melalui sebuah lensa puitis.. :)
"Sejak ditata menjadi ruang lebih ramah pedestrian, ikon Jogja ini tak lagi mengenal waktu perihal keriuhan para turis."
Bener banget. Sejak jadi cantik tampilannya, di pagi hari pun udah ada wisatawan yg nyari sarapan. Malioboro nggak kaya dulu yg baru bangun jam 10 siang
Impressive writing. You have the power to keep the reader occupied with your quality content and style of writing. I encourage you to write more.
BalasHapusWahh hasil jepretannya apik bangettt
BalasHapusJika anda tertarik atau ingin menjadi web developer, anda dapat mengunjungi blog yang saya buat :)
BalasHapusWeb Developer Tangerang