Mengetuk Kerja Dapur Getuk Goreng Sokaraja
Januari 19, 2019
Rouf menjadi
pemain utama bagian urusan penggorengan dalam alur produksi getuk goreng ASRI.
Dia tampak paling kontras penampilannya. Hanya dialah yang bertelanjang dada, sedangkan
lainnya bersinglet ria. Wajar dia nirbaju atasan karena dialah yang paling banyak
disergap panas. Rouf menerima hantaran kalor dari udara konveksi dan bejana
konduksi panas penggorengan. Di ruangan dapur produksi getuk goreng itu, suasana
beringsang paling Rouf nikmati dan hayati.
“Sreeeeeeng”
Gumpalan-gumpalan adonan getuk dipertemukan Rouf kepada minyak panas dalam sewajan
besar. Getuk ini langsung mencipta buih-buih dalam kubangan minyak. Rouf
berulang kali menuang bergumpal adonan yang sebelumnya ia rendam menjeda dulu dalam
adonan tepung. Ia tunggu beberapa menit sampai satu batch penggorengan, lalu mengangkat dan meniriskan getuk goreng. Di
sampingnya terdapat wajan panas lain untuk ‘menstabilkan’ suhu getuk yang sudah
digoreng.
Tiga rekan Rouf sedang giat menumbuk singkong. Dalam lumpang besar yang terbuat dari batang pokok kayu asem, tiga orang ini secara serempak menumbukkan alu kuat-kuat pada campuran singkong rebus dan gula merah. Saya tertarik menjajal untuk menumbuk. Meski sekilas tampak mudah, tapi nyatanya tak bisa diremehkan untuk membuat adonan terbaik. Hanya singkat saja menumbuk, memutar, dan meliatkan adonan getuk, nafas saya sudah tersengal dan tangan pegal. Berbahankan kayu kelapa, alu ini memang terasa berat tetapi mantap untuk membuat getuk kenyal.
“Coba gethuknya
mas. Sudah bisa dimakan.” Woro sambil menawarkan.
Saya mencoba
merusuhi Woro dengan menjajal getuk mentah ini. Ternyata rasa enaknya sudah
keluar dengan lugas, melampaui bayangan getuk yang biasanya saya santap dari
getuk jajanan pasar. Rasa karamel begitu kentara yang melesap padat bersama ‘daging’
telonya. Ketika mentah saja sudah enak, bagaimana ketiga digoreng yang menambah
kesan kriuk. Sambil menunggu batch
gorengan matang, Rouf memotong-motong kotakan getuk menjadi potongan lebih
kecil. Potongan-potongan inilah yang akan Rouf goreng untuk membentuk getuk
goreng paripurna.
***
Di Sokaraja,
getuk goreng dirayakan sebagai panganan yang membentuk wajah daerah. Getuk
goreng mencipta lapangan kerja, menggerakkan ekonomi masyarakat dan juga
menaikkan pamor Sokaraja yang parasnya hanya kota kecil kecamatan tapi gaungnya
dikenal luas di Indonesia. Setiap yang terlintas di pikiran tentang getuk
goreng, nama Sokaraja selalu menyertai sebagai sebuah kesepahaman identitas.
Banyumas, kabupaten yang melingkupinya, banyak terangkat juga dari getuk goreng
Sokaraja.
Sudah seabad getuk
goreng mengisi ruang-ruang keseharian masyarakat Sokaraja. Ada pelajaran
inovasi dari sebermulanya getuk goreng. Getuk bagi masyarakat Jawa sudah jadi
kudapan lazim yang bahan bakunya: singkong, gampang tersedia di ladang,
pekarangan maupun tegalan sawah. Sanpirngad, penjual nasi rames dan jajanan di
Sokaraja awalnya membuat getuk goreng secara tidak sengaja pada tahun 1918.
Sanpirngad berjualan getuk cemol (getuk basah) sebagai pendamping nasi rames.
Namun, seringkali getuk cemol in tak habis terjual. Sanpirngad punya ide paling
mangkus agar tetap sanggup dinikmati yakni menggoreng getuk tak laku itu.
Selama 6 tahun sejak penemuannya itu, getuk goreng disajikan secara gratis di ruang
makan Bapak Sanpirngad untuk menjadi kudapan rames.
Baru tahun 1924,
getuk goreng dijual terpisah di warung Sangpirngad menyimak ada potensi
ekonomis yang bagus. Dalam perjalanannya, Sanpirngad mewariskan signatur getuk
goreng kepada menantunya, Tohirin. Lantas, di tangan Tohirin inilah, getuk
goreng mendapatkan sentuhan bisnis yang lebih profesional dalam masanya. Getuk
gorengnya dilabeli merek Getuk Goreng “Asli” Haji Tohirin. Label Asli dalam
kacamata pemasaran adalah strategi cerdas untuk memastikan bahwa getuk goreng
racikannya bernasab sahih langsung dari penemunya. Hal ini mendorong pelanggan
lebih percaya terhadap kualitas dan otensitasnya.
Saat melintas di Jalan
Jendral Soedirman, jalan poros Sokaraja, tak perlu kaget dengan banyaknya plang
toko Getuk Goreng Asli Haji Tohirin begitu menghiasi sudut-sudut jalan. Setiap
toko akan disertai nomor yang berarti kepemilikannya berbeda, entah itu dimiliki
oleh anak maupun cucu Haji Tohirin. Tetap bertahan dengan nama label Asli Haji
Tohirin adalah bukti legacy nama dari
orang tua bisa menjadi goodwill yang
berkelanjutan demi bersaing di era modern.
Kalau di
Sokaraja, bukanlah Getuk Goreng Asli yang menjadi jujugan saya. Melainkan getuk
goreng Asri. Di sini ada strategi memanfaatkan nama besar market leader untuk pengembangan bisnis. Hanya beda “L” dan “R”,
getuk goreng ASRI juga menempatkan tokonya tak jauh dari jajaran warung getuk
goreng ASLI. Tempel terus sang leader sejak
berdiri pertama kali tahun 1990. Kebetulan,
juragan Getuk Goreng ASRI adalah seorang kawan saya: mas Fani. Selain pengusaha
sukses, Fani ini adalah jagoan dalam musik, fotografi dan balap sepeda. Saya
mengenal beliau karena kemasterannya dalam dunia fotografi di wilayah pesisir
Jawa bagian selatan.
Setiap travelling atau melintas di wilayah
Banyumas, saya pasti bersilaturahmi kepada sang master ini. Selalu suguhan
getuk goreng adalah peneman perbincangan kami, di samping Soto Sokaraja yang
juga khas Sokaraja ini. Dari situ, saya paham kenapa Getuk Goreng Asri tetap
jua laris ramai, tak kalah dengan sang market
leader. Bagi pecinta getuk goreng semacam saya ini, getuk goreng Asri itu
begitu pulen, memiliki kekenyalan yang merasuk lembut dengan lidah saya. Setiap
kunyahan menciptakan jejak-jejak manis yang seimbang bercita rasa karamel harum.
Bagaimana jika dikawani segelas kopi nirgula? Jelas sebuah kenikmatan kudapan paripurna.
“Getuk kami buat masih
manual, menggunakan alat tradisional. Itulah yang membuat kenyal getuk lebih
keluar. Mesin kami punya. Tapi kalau pakai mesin, biasanya getuk ketika
digoreng strukturnya lebih ‘pecah kemepyar’. ungkap sang Juragan perihal kunci
kualitas getuk gorengnya.
Tak sekadar
menjaga kualitas dan otensitas, menggunakan murni alat tradisional juga bagian
dari keberlanjutan mengkaryakan karyawan. Total ada sekitar 20 pegawai yang
memproduksi getuk goreng ASRI. Ada yang ikut sejak awal produksinya dulu.
Ketika mesin bisa menalangi kuantitas yang berujung pada produktivitas, ada
hakikat lebih utama soal tradisi getuk goreng, yakni soal kualitas dan laku
kerja manusia. Sang juragan Fani tak ingin melulu soal optimasi ekonomi yang
ingin dikejar, tetapi keseharian hidup yang lebih sengkuyung guyub makmur.
“Bahkan, ada pegawai
yang meneruskan pekerjaan bapaknya yang sudah ikut sejak usaha dirintis sama
Bapak saya. Itu, si Woro yang bersinglet putih.” ungkap sang Juragan sambil menunjuk sang loyalis lintas generasi.
***
Hari Jumat
membuat kesibukan produksi harus diistirahatkan terlebih dulu. Sholat Jumat
harus ditunaikan bagi kaum laki-laki. Dapur produksi pun langsung lengang tak
ada kegiatan. Sokaraja sesungguhnya merupakan kota yang lekat dengan pesantren
dan syiar Islam. Di kampung belakang Getuk Goreng ASRI, terdapat beberapa
pondok pesantren yang keberadaannya telah berusia lebih dari seabad dengan
ratusan santri.
Sokaraja mendapat
posisi penting dalam dunia pertariqahan di Indonesia, yakni Naqsabandiyah dan Syadziliyah.
Sokaraja juga memiliki cukup banyak Habib keturunan Rasulullah. Dari kehidupan
yang religius ini, hadir pula industri batik yang menjadi giat ekonomi masyarakat.
Sebelum bergiat di dunia pergetukgorengan, keluarga mas Fani merupakan
pengusaha batik. Saat ini usaha batik tetap berjalan dengan kondisi yang lebih
sepi dibanding puncak kejayaannya di era 1950-1980.
Sokaraja ternyata
merupakan sebuah kota kecil yang sesak penuh narasi dari berbagai sudut cerita.
Sokaraja masih menawarkan saya untuk datang agar menelisik
kisah-kisah sejarah pabrik gula, jejak perjuangan Diponegoro, tariqah, dunia
habib, industri batik dan toleransi di Sokaraja. Kota di persimpangan jalan ke
Purwokerto, Purbalingga dan Banyumas ini menanti untuk ditelusuri lebih dalam.
4 komentar
Habis makan sroto sokaraja terus makan getuk goreng kayaknya mantap ya mas.
BalasHapusSepuluh tahun tinggal di Purwokerto, koq ya saya baru tahu dapurnya Gethuk Goreng Sokaraja ya? Meski Gethuk Goreng ada di mana-mana, tidak afdol rasanya jika tidak membeli dari tempat asalnya langsung. Terima kasih atas foto-fotonya Mas? Salam dari anak desa...
BalasHapusAku baru tahu Mas, kalo ternyata ada Gethuk Goreng. Pengen nyobain rasanya gimana.
BalasHapusWah menarik sekali ceritanya bang. Jadi pengen coba gimana rasanya gdtuk goreng itu.
BalasHapusSalam kenal
www.kidalnarsis.com