Bontang dalam Tiga Bentang Kehidupan
Januari 04, 2019Apa yang bisa diharapkan dari Bontang perihal destinasi perjalanan? Bontang serupa sebuah kota yang tumbuh dari giat geliat gemerlap industri dan pertambangan. Tiga raksasa industri memasok denyut hidup Bontang: Badak NGL (gas alam), Pupuk Kaltim (pupuk) dan Indominco Mandiri (batu bara). Selain itu, masih ada perusahaan-perusahaan lain yang menggerombol di kawasan Kaltim Industrial Estate, yang turut menyusun Bontang dengan gempita.
Siapa yang minat hendak
wisata ke Bontang? Kecuali, bagi yang memang punya urusan pekerjaan dengan
perusahaan-perusahaan di Bontang dan lantas menyelakan waktu untuk menjelajah
Bontang. Saat berkunjung ke Bontang, saya pun termasuk dalam kategori demikian.
Saya mencuri waktu senggang untuk mengulik sedikit cerita Bontang di antara keriuhan
industri dan tambangnya.
Oksimoron Pembangunan Bontang
Kota industri
Bontang pagi itu tampak masih lengang. Mentari sudah beranjak gumregah, tetapi awan putih membuatnya
enggan semangat bersinar. Semerbak aroma pesisir samar-samar tercium merasuki
imajinasi pagi saya. Saya pikir karena masih pagi, orang-orang belum semuanya
beraktivitas penuh. Namun, Irvan menyadarkan ekspektasi saya terhadap Bontang: tentang
sebuah kota yang seharusnya dilingkupi keramaian yang tertuang dalam fasad dan
aktivitas khas sebuah kota industri.
“Bontang ya
begini saja mas. Sepi. Mau ngapain pada di Bontang. Kalau mau ‘buang’ duit,
orang Bontang lebih memilih ke Samarinda atau Balikpapan. Kalau yang karyawan
industri pilih bawa pulang uang dan belanja di Jawa.” ungkap Irvan
Saya mendengarkan
seksama dan perlahan paham. Mulai di situ, saya timbul keraguan pada Bontang
sebagai kota yang gemerlap karena industri berbasis tambang dan petrokimia.
“Mana ada mal di
Bontang. Sedang ada rencana dibangun mal tapi tersendat karena sepi peminat
pedagang yang akan mengisi mal.” tambahnya. Mal biasanya menjadi indikator
suatu daerah punya kehendak untuk meramaikan daerahnya yang berkaitan dengan
kemampuan keuangan masyarakatnya.
Gereja Katolik St. Yosef. Salah satu gereja terbesar di Bontang. Kerukunan agama masyarakat begitu terjaga. |
Di hari biasa, Bontang rupanya lebih berposisi sebagai kota yang para penduduknya telah lelah di malam hari dan juga tak punya banyak waktu untuk keluyuran di siang hari. Walaupun ada tenaga pun, warga industrial Bontang lebih memilih bercengkerama dengan keluarga ataupun beraktivitas di dalam kompleks perumahan industri. Keberadaan industri bertaraf internasional tentu dilengkapi dengan perumahan yang komplit dengan fasilitas terbaik. Yang membuat kota ini cukup hidup tampaknya berupa lalu lalang masyarakat yang berprofesi sebagai PNS, guru, dan nelayan serta dimeriahkan oleh para pedagang perantau dan juga tukang ojek.
Di Bontang, Irvan
bekerja harian menjadi tukang ojek online. Pilihan menjadi pengemudi ojol ini seharusnya
adalah pijakan sementara. Irvan punya cita-cita bisa berkarya di sebuah perusahaan
Bontang. Ia sudah berulang kali mencoba mendaftar tetapi juga berulang kali
gagal. Lahir di Bontang, bukan berarti ia akan mudah bekerja di Bontang. Irvan
adalah generasi ketiga perantau asal Kediri, Jawa Timur. Dulu, kakeknya
merantau ke Kalimantan untuk menjadi pedagang di Kutai Timur, tetangga Bontang.
Bapaknya Irvan menjadi guru di sebuah sekolah dasar di Bontang.
Bisa bekerja di
industri dan tambang adalah impian setiap warga Bontang untuk makmur secara
berkelanjutan. Geliat industri dan tambang adalah nafas dari kemakmuran Bontang
yang mengantarkan menjadi 5 besar daerah dengan pendapatan per kapita terbesar
di Indonesia: Rp344,57 juta pada tahun 2017. Betapa bayangan setiap bulan bisa
mendapat rata-rata sekitar Rp30 juta adalah impian bagi yang tinggal dan
bekerja di Bontang. Capaian sejahtera inilah yang ingin dikejar Irvan. Lulusan
D3 teknik ini pun tak mau kapok berupaya menjadi karyawan perusahaan industri
dan tambang di Bontang.
Bontang telah
terkemuka menjadi magnet kemakmuran yang terus berkembang pesat. Terlebih,
sejak ditetapkannya menjadi pemerintahan mandiri Kota Bontang pada tahun 1999.
Penduduk Bontang pada tahun 2017 berjumlah 170.611 jiwa, jauh melambung dari 99.617
jiwa pada tahun 2000. Tak hanya industri tambang yang kini menjanjikan
kemakmuran, derap kencang perdagangan, pemerintahan dan jasa lainnya juga turut
menyemarakkan Bontang.
Jika boleh dikatakan
makmur, Bontang hanya punya 5,16% penduduk miskin dari total penduduknya. Jumlah
yang jauh lebih kecil persentasenya, di bawah angka tingkat kemiskinan
Nasional. Namun, untuk hidup makmur yang bisa berinvestasi properti, liburan
luar negeri dan konsumsi barang tersier, tampaknya angka persentase itu terlalu
optimis. Barangkali tetaplah hanya pekerja industri dan tambang yang mendapatkan
pendapatan yang memakmurkan.
Irvan mengantarkan
saya ke Bontang Kuala. Kata kawan saya, Bontang Kuala adalah tempat paling
menarik dan paling membumi di Bontang di antara lanskap industri dan tambang Bontang
yang menjulang tinggi (cerobong dan asapnya).
Wajah Otentik di Bontang Kuala
Jika bepergian ke
suatu tempat bukan untuk urusan wisata, saya selalu sempatkan mengeksplorasi di
luar jam kerja. Biasanya bangun pagi sebelum memulai kerja atau selepas jam
kerja hingga larut malam. Namun, kalau untuk berjalan sendirian, saya lebih
suka pergi sehabis Subuh hingga sekitar pukul 7.30. Biasanya dengan berjalan
sendirian, mengunjungi suatu tempat bisa lebih dekat dan hangat dengan
masyarakat setempat. Gaya berjalan seperti ini memang butuh tenaga ekstra untuk
merelakan waktu bermalas-malasan dan sarapan enak di hotel berbintang. Saya pun
jalankan metoda perjalanan semacam ini di Bontang.
“Welcome to Bontang Kuala”. Bukan seseorang yang menyambut saya, tetapi sebuah gapura kampung
ikonik yang berdesain khas gaya Kutai. Di depan gapura, terdapat tempat parkir kendaraan
yang dibersamai dengan tempat makan dan souvenir. Untuk memasuki kawasan
kampung Bontang Kuala, pengunjung dipersyaratkan berjalan kaki di atas jembatan
kayu ulin yang membelah perkampungan rumah-rumah panggung. Masyarakat setempat boleh
masuk dengan motor atau perahu yang menyusur Sungai Api-api yang melanskapi
Bontang Kuala menjorok ke laut.
Saya berjalan
pelan bersama perjumpaan-perjumpaan ramah dengan lalu lalang warga Bontang
Kuala yang hendak berangkat kerja maupun sekolah. Kampung Bontang Kuala pada pagi
itu tampaknya begitu santai menatap hari. Masyarakat berkerumun di warung
kelontong hendak mengisi pasokan dapur dan kebutuhan rumah tangga masing-masing.
Ada juga yang bersenda gurau di halaman rumah sambil dibersamai segelas kopi
dan rokok-rokok yang tak henti mengebul. Mengiringi perjalanan saya, rombongan lima anak kecil berjalan menuju sekolah TK-nya .
“Halo mas.” Lima anak
kecil ini menyapa saya bersahutan sambil kemudian lari bergegas meninggalkan
saya Tampaknya mereka hanya ingin menggoda kenikmatan saya memesrai seluk beluk
pemukiman panggung di Bontang Kuala. Seseorang asing yang datang pagi-pagi
sambil membawa kamera tentu memikat perhatian bagi anak kecil.
Bontang Kuala merupakan
cikal bakal kota Bontang. Jauh sebelum keriuhan industri gas, pupuk, petrokimia
dan batu bara yang diserbu pencari kemakmuran, Bontang Kuala pada akhir abad 18
adalah kampung kecil tempat bertemunya dan berdagangnya orang Kutai setempat
dengan suku pengembara Bajau. Lama kelamaan daerah muara sungai Api-api ini
riuh dengan para nelayan dan pedagang Bugis dan Mandar. Kemudian, etnis lain
seperti Melayu, Banjar dan Jawa datang dan menjadikan Bontang Kuala itu sebagai
kampung berwarna multietnis.
Dengan alami, keberagaman
ini melebur dengan perkawinan antar etnis yang membentuk persaudaraan dan
kekeluargaan sekampung. Daerah yang mulanya tempat mukim bangsawan Kutai: Aji
Pao dan keluarga pada akhir abad 18, sejak tahun 1930-an pun menjadi wilayah
pemerintahan di bawah Kesultanan Kutai Kartanegara. Sampai kini, Bontang Kuala
tetap lestari menjadi ruang-ruang tradisional di tengah laju industri yang bergempita.
Saya melintas sebuah
bangunan mencolok yang baru saja direnovasi. Inilah bekas Rumah Asisten Wedana
yang menjadi cagar sejarah di Bontang Kuala. Saat ini bangunan ini dimanfaatkan
sebagai perpustakaan masyarakat. Di sebelahnya, berdiri cagar sejarah lainnya
yakni bekas Kantor Polisi zaman Belanda dan Jepang di mana menjadi penjara bagi
para pelaku kriminal pada masa itu. Saya membayangkan, Bontang Kuala begitu
menarik untuk dimanfaatkan oleh bangsa kolonial sebagai titik pengontrol
wilayah jajahannya, mengingat lokasinya di pesisir Kalimantan yang strategis.
Perjalanan saya lalu
terhenti di halaman Masjid Jami Al Misbah. Saya tertarik dengan fasad bangunan
yang dominan warna hijau dengan nafas arsitektur Kutai dan Banjar. Masjid ini sungguh
menjadi tengara yang mencolok di antara kerumunan rumah yang kusam. Seperti
ingin berharmoni dengan bangunan lain di Bontang Kuala, Masjid Jami Al Misbah
berdiri dengan konstruksi panggung dan berbahan kayu. Saya masuk gapura masjid
yang khas berkubah tiga dan mendekat pada masjid yang pagi itu tampak lengang.
Di muka masjid, terdapat dua menara yang memiliki desain berbeda. Satunya menara
hijau berharmoni dengan rupa hijau masjid, satu lagi berwarna padanan putih dan
biru yang mengambil perspektif berbeda dari bangunan masjid.
Keberadaan Masjid
Jami Al Misbah ingin menegaskan bahwa sedari awal masyarakat Bontang Kuala
adalah pemeluk Islam yang sejati. Tak jauh sebelum sampai di Kampung Bontang
Kuala, saya juga berjumpa dengan Masjid Tua Al Wahhab yang memiliki fasad
gapura persis dengan dengan Masjid Jami Al Misbah. Masjid Tua Al Wahhab merupakan
masjid tertua di Bontang. Berdiri tahun 1789, Masjid Tua Al Wahhab merupakan salah
satu tonggak awal syiar Islam tak hanya di Bontang, tetapi juga di Bumi Etam – sebutan
negeri Kutai. Konon dulunya setiap sholat Jumat, jamaah masjid ini bisa datang
dari berbagai penjuru radius 100 km.
Di ujung jalan
panggung Bontang Kuala, saya berjumpa dengan Rasyid. Lelaki berdarah
Banjar-Kutai ini begitu ramah menyapa. Ia sukarela menjadi kawan mengobrol saya.
Ia tahu saya berjalan hanya sendirian di Bontang Kuala. Awalnya ia hendak
menawari jasa perahu wisata, tetapi akhirnya paham karena hari saat itu masih
pagi. Di tepian Bontang Kuala ini terdapat beragam warung makanan laut dan
kedai kopi yang dikelola masyarakat. Beberapa warung terpisah dari kampung sehingga
perlu perahu untuk menjangkaunya sekaligus tempat budidaya karamba ikan. Lokasi
ini lebih meriah pengunjung di kala sore hari hingga malam hari.
“Kampung kami
sedang fokus bergiat ekowisata. Mas coba lihat kampung kami bersih kan? Kampung panggung yang bersih
dengan makanan ikan laut dan budidayanya jadi andalan ekowisata Bontang Kuala. Menyusuri
kampung dan mangrove dengan perahu juga menjadi tawaran wisata kami” ungkap
Rasyid membanggakan kampungnya.
Wajar, saya
merasa pagi Itu begitu nyaman dikerumuni kesegaran udara yang masuk bebas ke dalam
paru-paru saya. Hutan mangrove yang memeluk erat Kampung Bontang Kuala adalah
musababnya. Selain sebagai pelindung dari gelombang dan abrasi laut, mangrove
adalah pemfilter udara polusif industri di Bontang. Sambil banyak berbincang dengan
Rasyid, saya perhatikan seksama instalasi pabrik PKT dengan cerobong-cerobongnya
tampak menyembul di kejauhan di antara rimbunan mangrove.
Andai waktu lebih
longgar di Bontang, berbagai tawaran Rasyid harus disambut. Mentari mulai
meninggi, saya pun harus undur diri dari Bontang Kuala. Ekowisata Bontang Kuala
dengan ragam atraksinya masih terngiang-ngiang dalam benak pikiran sembari
perjalanan meninggalkan Bontang Kuala. Rupanya saya perlu kembali ke sana dalam
kunjungan berikutnya.
Mangrove di Kerumunan Industri
Nama pertama yang
muncul di benak warga setempat ketika saya tanya tujuan berwisata alam di Kota
Bontang adalah suguhan mangrove. Di daerah pesisir lain, tren wisata mangrove
sedang menjadi wujud hayati yang lazim disandingkan dengan keriuhan kota. Bontang
pun tak ingin ketinggalan mendayagunakan bentang alaminya.
“Dulunya semua
pesisir Bontang dikelilingi mangrove. Seiring pemukiman dan industri berkembang,
luasan mangrove pun menyempit. “ saya ingat pernyataan Rasyid tatkala membahas
soal mangrove.
“Di samping
Bontang Kuala ini, hutan mangrove masuk dalam wilayah Taman Nasional Kutai.”
lanjutnya
Bontang sejujurnya adalah tlatah lestari sebelum diserbu ‘makhluk’ industrialisasi. Sebagai tanah yang kaya dikaruniai gas alam dan batu bara, Bontang dan sekitarnya rawan dimodifikasi menjadi industri dan pemukiman. Keberadaan wilayah konservasi yang terlebih dulu membentang di Bontang dan sekitarnya sejak tahun 1936, dalam perjalanannya harus berdamai dengan tumbuhnya pembangunan. Ditetapkan awalnya sebagai Suaka Margasatwa Kutai dengan luas 306.000 ha, lalu dikebiri untuk industri kayu dan tambang menjadi 200.000 ha. Pada tahun 1995, Taman Nasional Kutai ditetapkan dengan wilayah 198.629 ha yang meliputi Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian kecil Kota Bontang.
Lihatlah peta
Taman Nasional Kutai, berfokuslah di area Kota Bontang: yang tersisa adalah
wilayah hutan mangrovenya, yang ter-enclave
di antara industri dan pemukiman. Biasanya yang menjadi enclave di Taman Nasional adalah pemukiman. Namun, di Bontang,
wilayah Taman Nasional lah yang ter-enclave
untuk zona konservasi hayati di antara pemukiman dan industri. Menariknya,
kantor Balai Taman Nasional terletak di Kota Bontang walaupun wilayah Taman
Nasional Kutai sebagian sangat besar ada di wilayah Kutai Timur dan Kutai
Kartanegara.
Hutan Mangrove di
Bontang tampaknya menjadi sewujud ikhtiar konservasi yang ingin ditayangkan terhadap
tumbuhnya pembangunan. Masyarakat wajib tahu, bahwa bagaimanapun industri di
pesisir tumbuh pesat dan kuat, tanpa alam yang terjaga buah karya pembangunan
hanyalah serupa barang yang rapuh. Saya tadinya berkehendak ingin berkunjung ke
hutan mangrove yang menjadi area Taman Nasional Kutai. Namun, jam operasional
yang tak fleksibel membuat saya bermain ke hutan mangrove milik masyarakat di
tepian Taman Nasional: Hutan Mangrove BSD.
Pada sore
menjelang petang, saya tiba di hutan mangrove Taman Wisata Alam BSD. Lokasinya
terletak di belakang perumahan Bumi Sekatup Damai (BSD), membuat dinamai
mangrove BSD. Cuaca yang berkarib baik menyambut saya, sehingga swastamita yang
berwarna dapat saya sanjung penuh bahagia. Hari belum benar beranjak gelap, tetapi
lampu-lampu sudah dinyalakan. Tampaknya, hutan mangrove ini betul-betul
dikelola serius sebagai tempat wisata masyarakat Bontang. Saya berjalan
perlahan di atas jalan jembatan kayu yang menerobos rimbunan hutan mangrove.
Jalanan ini bercabang-cabang yang seakan ingin merasuk ke setiap penjuru
kelebatan mangrove.
Di antara jalan
dan cabang-cabangnya itu, terdapat beberapa tempat makan atau arena swafoto. Tampak
warung-warung yang menjajakan kopi dan seafood
ini memiliki pengunjungnya masing-masing, meski sore itu tempat ini tak begitu
ramai. Tempat swafoto juga tak ketinggalan punya penggemarnya masing-masing.
Saya memilih mengabaikan semua itu dan langsung bergegas meniti percabangan ke
area terbuka. Saya hendak memesrai pesisir Bontang dalam lingkup saujana yang
lebih lapang. Arah kafe di ujung Taman Wisata Alam Mangrove BSD itulah yang
saya tuju.
Di tepian jalan panggung, saya terduduk mengistirahatkan raga. Menarik nafas panjang lalu menghelanya bebas sambil mentakzimi pemandangan. Dari sini, tampak lebih gamblang pemandangan industri yang menggempita. Saya menangkap narasi, seolah sedang berhadap-hadapan langsung antara tlatah mangrove yang lestari dengan industri yang tak hentinya mengeluarkan polusi. Tampak cerobong, kilang, boiler dan aparatus industri petrokimia lainnya begitu gergasi ingin menunjukkan kedigdayaannya dibandingkan lanskap hayati nan asri.
Dalam ruang
seperti ini, ada tanya sebagai manusia peduli Bumi. Sampai berapa jauh kelestarian
berdamai dengan gerak pembangunan untuk mencapai level kemakmuran optimal?
***
Bontang giat menjalankan
takdirnya sebagai tanah yang diberkati tambang dan didayagunakan untuk
menghidupi peradaban. Bontang juga mantap menapak kehendak sebagai tlatah
hayati yang dipertahankan dalam ruang-ruang ter-enclave. Penggiat kota ini rupanya sudah berdamai dengan riwayatnya.
Tampaknya kota ini sedang baik-baik saja untuk menyongsong kehidupan ke depan.
Pada pagi
terakhir, saya berjalan pagi di kompleks perumahan Pupuk Kaltim, tak jauh dari
tempat saya menginap di Hotel Bintang Sintuk. Melalui portal keamanan, saya
lalu menyusuri jalanan yang dirimbuni hutan sekunder dengan padanan udara segar.
Kompleks perumahan Pupuk Kaltim adalah ruang kebahagiaan yang terbuka dinikmati
masyarakat Bontang. Dilingkupi teduh hutan, terdapat taman-taman publik yang
bisa dimanfaatkan berbagai kalangan usia. Di sini, saya membanggakan Bontang
punya fasilitas publik yang bisa diandalkan.
Ujung langkah
saya akhirnya menjejak di Stadion Mulawarman, kandang bersejarah Pupuk Kaltim dan
bertransformasi menjadi Bontang FC yang kini sedang vakum. Sambil berolahraga
ringan di area stadion, saya meromantika kiprah Fachri Husaini yang menjadi
jagoan legendaris Pupuk Kaltim. Kompleks Stadion Mulawarman ini juga menjadi arena latihan Marching Band Bontang Pupuk
Kaltim yang langganan juara nasional. Kalau saya datang di sore hari, performa
magis latihan sang juara pun bisa saya saksikan.
Satu lagi bukti Bontang
seperti baik-baik saja sebagai kota berstandar tinggi adalah saat saya berada di
kawasan PT Badak NGL. Dibandingkan PKT, PT Badak memiliki penjagaan yang lebih
ketat. Saya masuk ke kawasan karena hendak ke Bandara Bontang untuk menuju
Balikpapan. Bandara Bontang dimiliki oleh PT Badak NGL, selain untuk
operasional perusahaan juga untuk transportasi masyarakat umum. Dalam sekilas,
kawasan PT Badak begitu rapi dan tertata. Kecepatan kendaraan pun dibatasi
dengan pengawasan yang ketat. Rasanya saya tidak sedang berada di Indonesia
dengan keteraturannya, walaupun PT Badak dimiliki oleh Pertamina.
Dengan mesin
baling-baling, pesawat ini tak terbang tinggi. Makanya, lanskap yang menemani
perjalanan hingga Balikpapan berupa bopeng-bopeng tanah pun terlihat gamblang. Hanya
muara Sungai Mahakam berbentuk kipas yang tampak menjadi panorama variatif dan
bergizi.
“Begitulah
Kalimantan, kalau tak ada tambang mungkin akan sepi tak berkembang, kalau ada
tambang, pembukaan lahan hutannya keterlaluan “ tutur penumpang di samping saya,
seorang warga Bontang yang hendak mencari keramaian di Balikpapan.
5 komentar
terima kasih atas informasinya mas.
BalasHapusSangat menarik informasinya..
Saya akan kunjungi tautan yang diberikan.. :D
Sekarang sudah support fitur webmention. Kita bisa membalas, menyukai, repost, mention, bookmark, dengan blog seperti Twitter. Konsepnya sudah dibuat SEO meski postingnya lewat hape.
BalasHapusOkaaay. Terima kasih informasinya..
Hapus"Begitulah Kalimantan, kalau tak ada tambang mungkin akan sepi tak berkembang, kalau ada tambang, pembukaan lahan hutannya keterlaluan"
BalasHapusAku seneng sama kalimat ini. Sebuah realita yang terjadi di dunia ini. Bagiku yang anak teknik, tentu adanya pembangunan adalah bentuk pengembangan diri. Tapi sayangnya yang dikorbankan adalah lahan-lahan hijau. Karenanyalah pembangunan industri sering ditentang karena dianggap merusak. Padahal ya tidak juga nyatanya.
Bontang dan Balikpapan ini masuk kota termahal di Indonesia kalo nggak salah ya? Gajinya sih besar tapi harga makanannya juga lebih tinggi dari Jakarta. Cuma kalo aku ditanya "kamu mau nggak kerja di Bontang (khususnya Badak)" oo ya jelas mau lah. Wkwkw
Kerja aja di Bontang. Badak adalah impian bagi orang teknik.. hahaha.. Ngirit hidup di Bontang bisalah. Terus investasikan duitnya di Jogja buat kos-kosan.. sangat menarik kan.. haha..
HapusDinamika di lapangan, gak hanya trkait pelaku industri, tetapi juga pejabat2 pemerintah pemburu rente yg memanfaatkan alihfungsi lahan. Padahal peruntukannya sudah jelas.. hahaha.. Itu tipikal di daerah2 Kalimantan makanya lahan hijau sering dikorbankan..
Btw, terima kasih Galan udah membaca tulisan panjang saya.. :D