Renjananya melestari buah endemik nan langka telah melampaui pekerjaan dan gelar akademik. Andai dulu menyerah pada minimnya dukungan, tak akan pernah ada baginya raihan penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup: Kalpataru.
Namun, itu belum cukup. Perjuangan meyakinkan lebih banyak masyarakat untuk giat melestarikan buah lokal khas Kalimantan itu masih terus berlanjut.
Pohon-pohon itu
jangkung menjulang lebih dari 20 meter. Jika Hanif tidak menjelaskan, saya tak
akan paham bahwa pepohonan tersebut adalah pusaka tak ternilai Pulau
Kalimantan. Bukan sekadar tanaman hutan tropis, pepohonan ini menghasilkan
buah-buah endemik Kalimantan yang kini keberadaannya makin langka. Sepetak
tanah yang tak begitu luas di punggung Pegunungan Meratus ini menjadi etalase
alami keanekaragaman hayati Bumi Borneo. Sekaligus, contoh upaya untuk mengiktikadkan
masyarakat lokal melindungi sumber daya hutannya.
“Pak Hanif
memberitahu masyarakat kami kalau di Marajai ini begitu banyak buah-buah lokal.”
ungkap Adi Setiawan, Kepala Desa Marajai. “Walaupun buah asli Kalimantan, katanya
di wilayah lain buah-buah tersebut sudah sangat langka.”
Jika mengacu pada
hubungan birokrasi semata, Hanif dan Adi seharusnya hanya bekerja sama dalam
urusan Keluarga Berencana dan kesehatan masyarakat. Hanif adalah penyuluh aktif
Keluarga Berencana yang bertugas di wilayah Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan.
Adi merupakan Kepala Desa Marajai, desa di Kecamatan Halong. Namun, keduanya
melampaui atribut dan tugas formal itu semua. Mereka punya ikhtiar agung mewujudkan
Marajai sebagai Desa Plasma Nutfah Nusantara.
Marajai dihuni oleh
mayoritas masyarakat Dayak Meratus. Ada sekitar 197 KK dengan jumlah penduduk
578 jiwa. Lokasi Marajai berada di tepian barat Pegunungan Meratus yang menjadi
jantung Kalimantan Selatan. Dari kota Paringin – ibukota Kabupaten Balangan,
Marajai dapat ditempuh dengan berkendara selama 2 jam dengan kondisi jalan
makin mendekati Marajai makin rusak. Ketika saya berada di sana, sinyal
telekomunikasi ‘blank’. Namun, di balik segala keterbatasan itu, Marajai menyimpan
pusaka biodiversitas yang dijaga oleh kearifan masyarakat Dayak Meratus.
Buah silulung menunggu matang. |
Mohammad Hanif Wicaksono bersama Adi Setiawan. Penggerak Marajai. |
Hanif Wicaksono menerangkan kepada masyarakat Marajai tentang konservasi buah endemik. |
Di hutan Marajai itu, Hanif menunjukkan saya buah silulung (Baccaurea angulata) langsung dari pohonnya. Bagi saya, inilah perjumpaan pertama kali yang mengagumkan. Bagi Hanif, silulung di Marajai memberi kenangan istimewa.
Alkisah, selama
mengeksplorasi buah-buah endemik di hutan Kalimantan Selatan, Hanif begitu mendamba
bisa menemukan silulung, baik buah maupun pohonnya. Puluhan kali masuk-keluar hutan,
hasilnya nihil. Ternyata, di Marajai ia bisa menjumpai begitu banyak pohon
silulung. Tampak, gerombolan buah dengan warnanya ungu gelap menempel pada
batang pohon.
“Jika sudah matang,
warnanya berubah jadi merah darah yang bersinar. Daging buahnya putih bening
dan rasanya asam manis. Sungguh, buah yang cantik.” jelas Hanif memuji silulung.
Kami menelusur
hutan lebih lanjut. Tak perlu begitu dalam sesungguhnya, karena keanekaragaman pohon
buah langka itu memadat berkelompok di petak lahan seluas sekitar 1 ha. Dengan
antusias, Hanif menunjukkan berbagai buah yang menggantung di pohon. Saya harus
jitu mengikuti arahan Hanif karena sebagian buah berada pada batang dan ranting
yang tinggi. Dari semua tanaman buah itu, saya hanya familiar pada durian dan
manggis.
“Di sini kita
bisa menemui beberapa spesies durian. Yang durian terkenal seperti Monthong,
Musang King, dan Petruk itu hanya termasuk jenis varietas durian Durio zibethenus saja” jelas Hanif. “Kita
lebih kaya ragam duriannya.”
Seperti praktik
di lapangan, Hanif menyebutkan spesies durian kekayaan Marajai seperti lahung –
durian kulit merah (Durio dulcis),
mahrawin - durian berduri panjang (Durio
oxleyanus), mantaula atau lai – durian daging kuning (Durio kutejensis), trako – durian daging merah tua paling langka di
Kalsel (Durio graveolens), dan masih banyak jenis
durian lainnya (misal: varietas durian kalih – silangan alami D. dulcis
& D. kutejensis). Selama ini sebenarnya Marajai sudah dikenal
sebagai sentra durian terbesar di Kabupaten Balangan, yakni jenis durian
umum (Durio zibethenus). Menyimak
penjelasan Hanif, saya sebagai penggandrung durian sungguh tercerahkan dan
senang sekali.
Lahung bisa ditemukan di Marajai. |
Bunga dari lahung. |
Maritam, sejenis rambutan. |
Buah endemik yang bernama manja |
Buah-buah lokal dan langka asal Kalimantan lain
yang bisa diidentifikasi di Marajai, di antaranya: manja (Xanthophyllum
amoenum), kuranji (Dialium indum l.), pelajau (Pentaspadon
motleyi), kapul
(Baccaurea macrocarpa), kalangkala (Litsea garciae), gitaan/tampirik
(Willughbeia angustifolia), kumbayau (Dacroydes rostrata),
maritam (Nephelium ramboutan-ake), bumbunau (Aglaia laxiflora),
babuku (Dimocarpus longan subspecies malesianus), luing (Scutinanthe
brunnea). Jujur, nama-nama buah tersebut sungguh asing bagi saya. Selama
tinggal di Jawa saja, saya mengetahui buah kepel, sawo jawa, kawis, menteng,
gowok dan buah endemik Jawa lainnya, tetapi sangat jarang menjumpai buah-buahan
itu.
“Kita bersyukur, Desa Marajai tidak dibuat
sebagai kebun karet, kebun sawit atau tambang batu bara. Begitu tahu betapa
kayanya Marajai, untungnya masyarakat desa sadar melakukan pelestarian dan
mulai mengembangkan buah endemik.” terang Hanif.
Bermula dari Hijrah
Pada suatu pagi di
tahun 2011, Hanif berkunjung ke pasar di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan, Kalimantan Selatan, tak jauh dari rumahnya. Di pasar itu, ia menjumpai
buah-buah unik yang tak pernah ditemuinya di Jawa. Dia merasa asing dengan
buah-buah itu. Dia bertanya kepada pedagangnya perihal lokasi asal pohon
buah-buahan ini dan bentuk tanamannya. Tak ada yang bisa menjawab dengan
memuaskan. Warga lokal sekitar rumahnya juga pun jarang ada yang paham.
Saat itu, Hanif adalah
orang baru di Kalimantan. Dia belum lama pindah ke Kandangan, kampung halaman
istrinya, Dewi Ratna Hasanah. Dia hijrah dari Blitar, Jawa Timur selepas ayah
mertuanya wafat. Sebelumnya ia adalah seorang guru SMP di Batu, Jawa Timur. Perantauan
dirinya adalah perjuangan tak gampang karena ia harus meninggalkan pekerjaannya.
Sementara itu, di Kandangan dia belum mendapatkan pekerjaan tetap.
“Rasa buah-buah
lokal Kalimantan itu enak dan segar, tapi kok
mayoritas tak banyak yang tahu bentuk pohonnya. Kesannya buah-buah lokal
seperti diabaikan.” cerita Hanif mengungkapkan kegelisahan.
Rasa penasaran yang
besar menggerakkan dia untuk aktif mencari tahu keberadaan buah-buah unik nan
endemik yang baru ditemuinya di Kalimantan. Sejak kecil, dia memang memiliki
hobi dan minat di bidang pertanian. Kehidupan masa kecilnya akrab dengan dunia
agraris. Dengan ketersediaan waktu yang cukup luang, dia mulai menjelajah ke daerah-daerah
sekitar Kandangan untuk menemukan pohon buah-buahan lokal Kalimantan.
Menyandang gelar
sarjana komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Malang, tak membuat Hanif canggung
untuk mengakrabi urusan tanaman dan buah-buahan. Pria kelahiran Blitar, 18
Agustus 1983 malah memanfaatkan kompetensi akademiknya untuk memudahkan
berkomunikasi dengan warga lokal. Dia pun sering masuk ke hutan dengan dikawani
masyarakat lokal yang sukarela membantu. Namun, tak jarang dia menjelajah hutan
sendirian.
Menelusur hutan Marajai yang menjadi bagian Pegunungan Meratus. |
Kondisi hutan di Marajai |
Ketika menemukan buah langka, Hanif akan mengobservasi. |
Hanif menunjukkan jenis pohon. |
Tak terasa saking asyiknya mengulik buah endemik Kalimantan, penjelajahan Hanif semakin jauh menjangkau seantero Kalimantan Selatan. Tercatat 6 kabupaten di Kalimantan Selatan sudah ia jelajahi. Hanif juga semakin intensif masuk hingga ke dalam hutan-hutan primer tanah Borneo. Perjumpaan dengan buah-buah endemik pun makin variatif.
Dalam
penjelajahan tersebut, Hanif tak sembarangan asal keluyuran masuk keluar hutan.
Walaupun bukan berlatar peneliti buah, dia menerapkan kaidah penelitian. Begitu
menemukan buah yang menurutnya asing dan unik, dia langsung
melakukan observasi sederhana. Dia harus merekam buah, batang, daun, pohon
secara utuh, hingga bunganya. Lokasi pohon itu pun tak ketinggalan harus
ditandai. Selagi memungkinkan, ia akan membawa pulang bagian-bagian tanaman itu
untuk kepentingan budidaya.
“Saya sudah biasa memanjat pohon setinggi 25 meter.
Sebisa mungkin saya harus ambil buah itu agar bisa dicicip dan didokumentasi
dari dekat.” ungkap Hanif. “Waktu itu, kamera saya kan cuma kamera HP saja.”
Hanif mengenang sepulang dari penjelajahannya di hutan
itu sering ditanyakan istri. Pulang bukannya membawa oleh-oleh, tetapi malah
tanaman atau buah-buahan. Awalnya sang istri juga keberatan karena hobi Hanif sungguh
menyerap uang yang mengganggu keuangan keluarga. Apalagi, saat itu keluarga
kecil tersebut sudah memiliki buah hati. Namun, seiring berjalannya waktu, sang
istri mendukung dan melipatgandakan semangat Hanif untuk lebih serius menekuni
renjana atau passion pengumpulan buah
endemik Kalimantan.
Berproses dengan Tunas Meratus
Proses identifikasi nama dan kelompok buah-buahan menjadi
tantangan selanjutnya bagi Hanif. Jika mengandalkan nama-nama yang didapatkan
dari masyarakat kampung, belum tentu namanya akan sama antara kampung satu
dengan lainnya. Dia pun belajar otodidak dengan memanfaatkan majalah pertanian,
literatur ilmiah, sumber internet dan forum herbarium online internasional. Hanif
juga banyak bertanya kepada pakar biologi, ahli taksonomi atau rekan
seperjalanan dalam penelusuran di hutan.
Hanif juga menjalin hubungan intensif dengan Kebun Buah
Mekarsari dengan mentor Mochammad Reza Tirtawinata, pakar buah tropis. Hasilnya,
proses penggalangan buah-buahan endemik Kalimantan sejak tahun 2012 itu
menghasilkan buku ‘Potret Buah Nusantara Masa Kini’ (ISBN: 978-979-002).
Tercatat sudah lebih dari 170 buah langka berhasil ia dokumentasikan. Saat ini,
Hanif juga sedang menyusun seri buku “Buah Hutan Kalimantan Selatan seri 1-6
(sebuah dokumentasi dari konservasÃ)” yang mengangkat lebih detail dan spesifik
buah-buahan yang ia temui di Kalimantan Selatan.
“Melalui buku, saya ingin menjangkau lebih luas
masyarakat agar tahu betapa kayanya buah-buahan lokal di Kalimantan. Bahkan,
harapannya anak SD pun tertarik karena banyak gambarnya.” ungkap Hanif
Kondisi kebun pembibitan di depan rumahnya di Kandangan. Dok: Hanif |
Walaupun tak luas, tetapi lengkap dengan tanaman endemik Kalimantan. Dok: Hanif |
Kebun bibit di Kandangan dijadikan pilot contoh Pranaraksa ASTRA Satu Indonesia. Dok: Hanif |
Tunas Meratus diakui prestasinya. Dok: Hanif |
Hanif tak sekadar mendokumentasikan buah-buahan langka.
Ia terlibat lebih konkrit dan terstruktur dalam pelestarian buah endemik
Kalimantan melalui Tunas Meratus yang dibentuk pada tahun 2012. Kegiatan Tunas Meratus
adalah mengumpulkan, mendokumentasikan, memperkenalkan, membibitkan dan
membudidayakan tanaman buah endemik Kalimantan. Ia menyulap halaman rumahnya di
Kandangan sebagai kebun budidaya buah-buah endemik.
Walau menggunakan lahan yang tak begitu luas, budidaya
tanaman buah endemik saat ini sudah mencapai 160 jenis spesies tanaman. Tercatat
setidaknya ada 9 spesies jenis durian endemik, 20 spesies jenis mangga, 17 spesies jenis tarap (nangka) dan masih
banyak lagi seperti jenis-jenis spesies seperti duku, dan rambutan.
Tanaman hasil budidaya ini tak berdiam terus menerus di
tempat pembibitan (nursery) Tunas
Meratus. Hanif berusaha menyosialisasikan kepada masyarakat agar ditanam secara
luas. Masyarakat pun bisa secara cuma-cuma mendapatkan bibit tanaman
buah-buahan dari Tunas Meratus. Bibit yang dibudidayakan Hanif juga sudah
disebarkan ke sejumlah kebun raya agar bisa tetap dilestarikan. Tak ada niatan
baginya untuk mengomersialkan bibit-bibit tanaman, walaupun upaya mendapatkan
keanekaragaman plasma nutfah itu tak gratis.
“Peluang untuk komersialisasi bibit-bibit tanaman itu
sebenarnya sangat besar” ungkap Hanif
Malah, permintaan dari mancanegara kerap datang untuk mendapatkan
bibit tanaman buah khas Kalimantan. Mereka tertarik mengembangkan tanaman buah
hasil budidaya Hanif. Namun, Hanif menolak menjual bibit buah khas Kalimantan itu
ke pihak luar. Ia berharap pemerintah dan masyarakat setempat lah yang
memanfaatkan sepenuhnya nilai manfaat buah endemik Kalimantan.
“Selain untuk pelestarian, buah-buahan endemik Kalimantan
ini memiliki potensi ekonomi jika dibudidayakan dan dikembangkan secara luas.
Masyarakat bisa memperoleh sumber pendapatan dari buah-buah lokal” harap Hanif
atas ikhtiarnya.
“Masalahnya bagi masyarakat di sini, lha gratis saja tak banyak yang tertarik untuk membudidayakan.”
tambah Hanif mengingatkan saya bahwa proses pelestarian dan budidaya buah
langka tak semudah yang dibayangkan.
Tlaten Berimbas Panen Penghargaan
Pada tahun 2014 Hanif diangkat menjadi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) Penyuluh Keluarga Berencana di BKKBN Kabupaten Balangan. Dia
mendapatkan amanah untuk penempatan di Kecamatan Halong. Menjadi abdi negara
yang punya tupoksi urusan keluarga dan kesehatan masyarakat, tak bisa meredakan
passion Hanif untuk mengurusi
buah-buah endemik Kalimantan. Menjadi seorang penyuluh malah membuat dia punya
kedekatan lebih dengan masyarakat untuk mengeksplorasi hutan-hutan di Kabupaten
Balangan. Biasanya setelah penyuluhan selesai, dia langsung masuk ke hutan
mencari ragam buah khas yang langka.
Marajai adalah salah satu desa cakupannya. Perjumpaan
dengan Marajai seperti takdir yang digariskan antara kedua insan yang saling jatuh
cinta dan memilih hidup bersama. Pengetahuan dan semangat yang dimiliki Hanif
bertemu dengan keanekaragaman hayati Marajai yang terjaga dengan nilai-nilai
Dayak Meratus yang bijaksana. Beruntung juga, Marajai dipimpin oleh Adi Setiawan,
sosok kepala desa muda berwawasan luas yang memiliki gagasan sejalan dengan
Hanif.
Inilah aktivitas sesuai tupoksi Hanif sebagai PNS Penyuluh KB di Desa Marajai. |
Marajai selain dikembangkan Hanif sebagai Desa Plasma Nutfah, juga dibimbing sebagai Kampung KB. |
Hanif sedang meninjau rintisan nursery Desa Marajai. Ia mengembangkan Tunas Marajai. |
Ikhtiar memang tak pernah mengkhianati hasil. Pengabdian tulus
Hanif terhadap pelestarian dan budidaya tanaman khas Kalimantan mendapatkan
apresiasi tingkat nasional. Pada tanggal 27 Oktober 2018, Mohammad Hanif Wicaksono
memperoleh penghargaan Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia Awards 2018 di
bidang lingkungan. Untuk bisa meraih prestasi dari salah satu penghargaan
prestisius di Indonesia, Hanif diusulkan oleh Kantor Biro ANTARA Kalimantan
Selatan yang menyaring sosok-sosok inspiratif di daerah.
Capaian prestasi Hanif dalam SATU Indonesia Awards 2018 membukakan mata bagi pemerintah dan masyarakat di Kalimantan Selatan. Dalam
upayanya yang senyap, Hanif bisa
membuktikan bahwa ia bisa berkontribusi besar kepada masyarakat sekaligus
meraih prestasi yang membanggakan Kalimantan Selatan. Dia mengingat kalau
sebagian besar dana konservasi dan budidaya itu dikeluarkan dari kantong
pribadinya.
“Selama 5 tahun awal menjalankan program, saya hanya pernah
mendapat bantuan sekali dari pemerintah untuk membuat sebuah nursery dari Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan.” terang Hanif apa adanya.
Kesuksesan Mohammad Hanif Wicaksono meraih apresiasi SATU Indonesia Awards Tahun 2018. |
Mohammad Hanif W. saat penyerahan anuherah SATU Indonesia Awards 2018 (4 dari kiri) - Foto: liputan6.com |
Hanif mendapatkan penghargaan tertinggi lingkungan hidup Kalpataru 2019 di bidang Pengabdi Lingkungan. |
Geliat Hanif yang berprestasi ini lantas mendapat sorotan
dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Balangan. DLH Kabupaten Balangan mengusulkan
Hanif di ajang penilaian Kalpataru 2019. Hanif diusulkan dalam kategori
Pengabdi Lingkungan, karena ia telah melampaui tugas pokok fungsinya sebagai
PNS Penyuluh KB. Dia satu-satunya yang mewakili Provinsi Kalimantan Selatan dan
bersaing dengan 150 calon penerima dari provinsi lain di Indonesia.
Tanggal 11 Juli 2019 menjadi hari yang tak bisa
terlupakan bagi Hanif. Dia secara membanggakan meraih penghargaan anugerah
lingkungan hidup tertinggi di Indonesia, Kalpataru 2019 Bidang Pengabdi
Lingkungan. Dedikasinya terhadap pelestarian dan pembudidayaan buah endemik nan
langka di Kalimantan menjadi poin plus dia meraih Kalpataru.
“Saya berharapnya Kalpataru ini tak cuma jadi pelecut
semangat saya untuk makin gigih berjuang melestarikan buah langka Kalimantan.
Namun, bisa mendorong kepedulian bagi masyarakat dan pemerintah Kalimantan
Selatan untuk mengembangkan budidaya buah endemik sehingga keberadaannya tetap
lestari dan menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Jangan kalah dengan buah impor”.
begitulah harapan sederhana Hanif.
***
Alasan Hanif memilih buah sebagai sarana konservasi
sebetulnya sangat simpel tapi sarat kebijaksanaan. Ketika menanam dan merawat pohon
yang menghasilkan buah, masyarakat akan memanen manfaat dari tanaman itu dengan
cara diambil buahnya. Masyarakat tak perlu menebang pohon untuk mendapatkan
manfaat.
“Jadinya, masyarakat akan mempertahankan pohon itu selama
mungkin. Sembari memanen buah-buahan, pohon yang tadinya satu itu bisa menghasilkan
pohon-pohon yang lebih banyak lagi melalui budidaya tanaman.” ungkap Hanif. “Kekayaan
hutan kan tetap terjaga lestari
Desa Marajai punya kekayaan buah-buah endemiknya yang
luar biasa. Marajai diperkenalkan sebagai Desa Plasma Nutfah Nusantara. Saat
ini, Marajai sedang mempersiapkan diri sebagai desa wisata yang berfokus pada keanekaragaman
buah-buahan. Mungkin varian desa wisata semacam ini adalah satu-satunya di
Indonesia. Marajai bisa memberi warna berbeda bagi pariwisata Indonesia dengan berbasis
masyarakat yang mengedepankan buah-buah endemik khas Kalimantan. Akan ada
biotour untuk melihat lebih dekat pohon buah dan merasakan buah endemik dengan
kombinasi tur aktivitas di desa.
Jembatan gantung ikon Marajai yang kaya potensi wisata. |
Ecoprint menjadi produk yang dikenalkan Hanif untuk diversifikasi potensi hayati Marajai. |
Suasana Desa Marajai yang Hening. |
Hanif selaku pembimbing Marajai juga memperkenalkan potensi
lain Marajai yang berbasis kekayaan hayati. Hanif menunjukkan saya kain
ecoprint hasil bikinan warga Marajai. Ecoprint memanfaatkan potensi tanaman seperti
jelawe, tunjung dan secang yang dapat menghasilkan berbagai motif dan warna.
Walau masih tahap awal pengenalan, kain ecoprint sudah menggambarkan motif, kerapian
dan detail yang lumayan bagus.
Saya diberitahu Hanif bahwa bulan Februari mendatang
(tahun 2020) akan diselenggarakan Festival Buah Khas Kalimantan Selatan di
Marajai. Masa itu bertepatan dengan puncak panen sebagian besar buah-buah endemik
khas Kalimantan, terutama spesies dan jenis durian yang eksotis. Ini adalah
perhelatan yang kedua. Perhelatan pertama sukses membuat masyarakat Kalimantan
Selatan dan turis asal China dan Jepang hadir ke Marajai. Hanif yakin perhelatan
kedua akan jauh lebih meriah karena ekspose Marajai sebagai ikon buah lokal
Kalimantan Selatan sudah jauh lebih luas.
Hanif ingin menunjukkan bahwa ikhtiar pelestarian
buah-buah endemik Kalimantan bisa berkontribusi positif kepada masyarakat. Berbicara
tentang konservasi buah endemik bukan berarti mengabaikan pendayagunaan nilai
ekonomi. Malahan, buah lokal Kalimantan punya potensi besar untuk menjadi
sumber pendapatan masyarakat yang berkelanjutan, alih-alih menggantungkan dari
sawit atau tambang.
"Buah endemik ini harta karunnya Kalimantan. Mari utamakan peduli dulu pada pelestarian, ekonomi akan beriringan. Anugerah alam jangan sampai
dikorbankan." pungkas Hanif tegas.
#IndonesiaBicaraBaik #KitaSATUIndonesia
#IndonesiaBicaraBaik #KitaSATUIndonesia
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Anugerah Pewarta Astra Tahun 2019 - Kategori Umum
Saya berada di Marajai untuk berjumpa dengan Hanif Wicaksono sang inspirator. |