Petualangan Dasa Boga Bersahaja Kawula Jogja
Desember 25, 2018Jogja adalah semesta hidup kebersahajaan yang turut terejawantahkan dalam fasad boga keseharian masyarakatnya. Setiap impresi para pengunjung Jogja selalu dinaungi bayangan sederhana dan murah pada beraneka kuliner yang disantapnya. Kebersahajaan makanan kawula Jogja ini banyak disumbangsih oleh paduan sejarah yang melingkupi Yogyakarta sebagai keraton yang punya nilai-nilai kesederhanaan dan seringnya peristiwa penuh kemusykilan melanda Yogyakarta. Masyarakat Jogja menjadi mahir beradaptasi dengan mendayagunakan sumber daya setempat tak sekadar untuk bertahan hidup, tetapi menghasilkan boga-boga bersahaja nan lezat.
***
Sejarah Jogja merentang
panjang dalam senarai keprihatinan. Makanya, ia menuntut untuk dirupa dengan
kebersahajaan, termasuk dalam wujud boga kawula masyarakatnya. Mari kita lacak
dari situasi Jogja yang menjadi episentrum peristiwa-peristiwa akbar seperti
invasi Raffles yang memporak porandakan tatanan Keraton Yogyakarta, chaos Perang Jawa dipimpin Pangeran
Diponegoro yang menjadi perang terberat kolonial Belanda selama bercokol di
Indonesia, tanam paksa untuk memulihkan finansial kolonial dampak Perang Jawa
dan masa penjajahan Jepang yang singkat tapi membuat warga Jogja sangat
menderita. Ada juga, riwayat Perang Kemerdekaan yang memindahkan pusat
pemerintahan Republik Indonesia di Jogja dan menjadikan Jogja sebagai pusat
medan perang gerilya.
Kondisi ini lantas
berkelindan akrab dengan nilai-nilai adiluhur Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat
yang sarat dengan filosofi kesederhanaan dan harmoni dengan semesta. Kawula
masyarakat Jogja sejatinya sudah terbiasa dengan keharusan beradaptasi dengan
lingkungan dan situasi setempat. Sumber daya lokal yang mudah ditemui dan
dibudidayakan di sekitar masyarakat pun dimanfaatkan sebagai sumber pangan
lokal yang murah meriah.
Hal ini tampak
pada ragam boga Jogja yang lebih menonjolkan pada unsur tumbuhan yang gampang
didapatkan dan ditanam pada kondisi minim; ataupun hewan yang mudah diperoleh
di lingkungan sekitar. Jikalau terdapat flora atau fauna yang berharga
dipelihara sebagai tabungan hidup, masyarakat lebih memilih untuk mencari sisi
murah bagiannya dan mengolahnya menjadi masakan yang sederhana.
Benar kata
begawan boga Indonesia, Sri Owen, dalam karyanya: Indonesian Regional Food and
Cookery, “Setiap makanan mulanya adalah makanan daerah. Makanan daerah lahir
sebagai respons terhadap iklim, sumber daya dan kebiasaan setiap kelompok orang
di daerah masing-masing”. Ragam boga Jogja yang bersahaja adalah perwujudan
atas kemampuan kawula Jogja dalam menanggapi situasi, sumber daya dan kebiasaan
budaya setempat.
Pada awal datang di Jogja untuk studi sarjana pada tahun 2007, saya tahu kalau kuliner lokal Jogja hanya tentang gudeg, bakmi Jawa, soto Jogja dan sate klathak yang dihidangkan oleh beragam penjual dengan resep-resep khusus signaturnya. Selanjutnya, saya gemar mengeksplorasi Jogja dan mendapatkan berbagai jenis kuliner yang tersebar di penjuru Jogja, baik yang otentik, modifikasi sang peracik, maupun fusion dari berbagai bangsa dan etnik. Secara relatif, makanan di Jogja termasuk lebih murah dibandingkan kota-kota besar di Indonesia. Baru sejak merengkuh takdir hidup memperistri seorang gadis Jogja, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru soal aneka boga yang biasa dimasak di dapur-dapur kawula Jogja.
Dari kebahagiaan
saya bersama istri sering berkeliling Jogja, saya mendapatkan tujuan-tujuan warung
makan yang berani menyuguhkan kuliner bersahaja yang lazim disantap masyarakat
Jogja. Di zaman kini, keberadaan masakan seperti ini jadi semacam pemenuh hasrat
keingintahuan dan romantisme pada kebersahajaan hidup. Tak mudah meyakinkan
warga Jogja untuk mau berjualan kuliner yang biasa dimasak di dapur dan
dihidangkan di rumah. Jika dibandingkan dengan saudara kembar Mataramnya di
Solo, orang Jogja lebih masyhur merawat adiboganya dari dalam dapur alias
dengan memasak.
Saya hendak urun ide tentang 10 boga bersahaja Jogja yang pantas menjadi tujuan petualangan rasa di Jogja bagi pecinta kuliner paripurna. Sepuluh boga yang diampu oleh para ksatria pilihan boga lokalan Jogja ini bisa memberikan perspektif baru soal hidangan yang lazimnya dikonsumsi masyarakat Jogja dalam citra apa adanya.
1. Entok Slenget
Entok Slenget
adalah ragam boga yang tersaji di daerah Turi, Sleman, di kaki Gunung Merapi
yang permai dan berkelilingkan kebun salak yang lebat. Saya diceritakan istri, jikalau
semasa kecilnya dulu, setiap kunjungan Lebaran ke keluarga besar di daerah
Karanggeneng, Turi, selalu disajikan makanan olahan dari entok atau itik serati.
Paling favoritnya adalah osengan entok. Latar kebun salak yang lembab dengan
banyak kolam kecil memungkinkan menjadi lokasi yang cocok untuk memelihara entok.
Hewan unggas sebangsa itik dengan leher pendek dan badan gempal ini pun menjadi
jaring pengaman pangan protein hewani masyarakat Turi.
Entok slenget menjadi kreasi warga Turi untuk menyuguhkan makanan rumahan ke khalayak luas. Dengan memberikan sensasi rasa pedas yang membakar lidah, osengan entok ini berganti nama sebagai entok slenget demi lebih ‘marketable’. Keberadaan entok slenget diinisiasi oleh Kang Tanir yang membuka warungnya di Donokerto, tepi jalan Pakem-Turi. Selain Kang Tanir, ada beberapa penjual yang dijumpai di daerah Turi dan kota Jogja.
Tak seperti
bayangan daging entok yang alot, entok slenget sanggup memanjakan lidah dengan daging
entok yang empuk. Bumbu pedasnya berharmoni dengan manis gurih resep sederhana
warga: kemiri, bawang putih, bawang merah dan kecap lokal andalan. Keringat
mengucur dan lidah kepedasan tetapi tak mampu berhenti menyantap akan menjadi
tanda bahwa Anda sangat menikmati entok slenget. Yang tak gemar pedas, pilihan
entok slenget tanpa cabai juga tersedia.
Lokasi
Entok Slenget
Kang Tanir
Jl. Pakem - Turi, Pules Lor, Donokerto, Turi, Kabupaten Sleman.
-> https://goo.gl/maps/rm5HCAYfBkw
Buka: pukul 16.00 – 21.00, hari Selasa tutup
Jl. Pakem - Turi, Pules Lor, Donokerto, Turi, Kabupaten Sleman.
-> https://goo.gl/maps/rm5HCAYfBkw
Buka: pukul 16.00 – 21.00, hari Selasa tutup
2. Sego Welut
Belut (atau welut
dalam bahasa Jawa) merupakan sebuah identitas bagi daerah Godean di Sleman
bagian barat. Di kawasan Pasar Godean, jajanan keripik belut adalah kudapan
yang pamornya sudah dikenal oleh masyarakat seantero Jogja bahkan menjadi
oleh-oleh khas untuk dibawa ke luar Jogja. Belut hidup melimpah di persawahan
Godean dan sekitarnya sehingga masyarakat memanfaatkan sebagai sumber pangan.
Jika hendak dinikmati sendiri, belut dimasak menjadi sego welut. Masakan ini
biasanya lazim tersaji di meja makan masyarakat Godean. Selazimnya boga bersahaja
orang Jawa, sego welut ini dimasak mangut yang berkuahkan berbasis santan
kelapa.
Ketika ingin menikmati sego welut, biasanya saya datang ke Bu Surani di seberang Pasar Godean ketika hari mulai beranjak petang. Jangan bayangkan seperti rumah makan karena lokasinya hanyalah berbagi ruang dengan titipan parkir di kala siang hari. Rupa belut yang disajikan Bu Surani biasanya tak begitu besar, tetapi sensasi ‘crispy’ belut yang merasuk bumbu gurihnya adalah daya pikat paling utama. Sego welut ini bisa juga dipadankan dengan manisnya gudeg, krecek dan berbagai lauk lainnya yang dijajakan ramah oleh Bu Sunarti.
Lokasi
Sego Welut Bu
Surani
Depan Pasar Godean, Jalan Godean Blok 9, Jetis, Sidoagung, Godean, Kabupaten Sleman
-> https://goo.gl/maps/daxzUQNVMM22
Depan Pasar Godean, Jalan Godean Blok 9, Jetis, Sidoagung, Godean, Kabupaten Sleman
-> https://goo.gl/maps/daxzUQNVMM22
Buka: pukul 18.00
– 22.00
3. Sate Kere Kupat Sayur
Di masa lampau,
daging sapi bukanlah barang yang murah bagi warga pedesaan Jogja. Sapi
dipelihara sebagai tabungan masyarakat desa yang kelak bisa dijual sebagai
sumber pendanaan apablia ada kebutuhan jangka panjang atau mendesak. Jikalau
disembelih, biasanya ketika ada hajatan besar dalam keluarga. Namun, dalam
keseharian orang pedesaan Jogja bukan berarti tak bisa memakan daging sapi.
Terciptalah sate kere alias sate miskin sebagai buah kreasi masyarakat. Dengan
berbahankan daging sapi ‘tetelan’ dari tulang-tulang sapi yang dipadankan
dengan gajih atau lemak sapi, sate kere biasa disantap masyarakat di desa
Sidomoyo, Godean.
Lokasi
Sate Kere Mbah
Mardi
Jalan Godean KM 7, Sidomoyo, Godean, Kabupaten Sleman
-> https://goo.gl/maps/z5XbxTYKofA2
Jalan Godean KM 7, Sidomoyo, Godean, Kabupaten Sleman
-> https://goo.gl/maps/z5XbxTYKofA2
Buka: pukul 17.00
– 21.00
4. Geblek Sengek
Di lereng
perbukitan Menoreh, tepatnya di daerah Nanggulan, Kulonprogo, istri saya
memiliki leluhur yang generasi selanjutnya masih turun temurun tinggal di sana.
Makam almarhum Bapak mertua dan keluarga besar istri saya juga bersemayam di
Nanggulan. Setiap bersilaturahmi ke keluarga besar di Nanggulan, kami selalu
dihidangkan sepasang boga setempat: geblek sengek. Geblek dan sengek adalah dua
makanan berbeda yang alangkah nikmatnya disantap secara bersama seperti
kebiasaan masyarakat di daerah Nanggulan dan perbukitan Menoreh. Untuk membungkus
geblek dan sengek, tersedia beberapa penjual di daerah Nanggulan dan perempatan
Kenteng.
Lokasi
Geblek Gurih
Nanggulan
Jalan Borobudur-Sentolo, Nanggulan, Jati Sarono, Nanggulan,
Kabupaten Kulon Progo
-> https://goo.gl/maps/Aran3xeWr5s
-> https://goo.gl/maps/Aran3xeWr5s
Buka: pukul 15.00
– 21.00
5. Soto Sampah
Soto menjadi
kuliner nasional Indonesia. Soto punya keberagaman yang luar biasa sehingga
timbullah semboyan “Berbeda-beda tapi tetap soto jua”. Jogja punya gagrak soto
yang khas, yakni soto bening dengan padanan nasi putih yang bisa dicampur atau
dipisah. Saya sebagai orang daerah Panginyongan yang sesak dengan bermacam
bahan dalam semangkuk soto, menganggap soto gagrak Jogja seperti sop. Di antara
soto gagrak Jogja, yang sampai saat ini begitu berkesan adalah Soto Sampah.
Maklum harganya begitu murah Rp 6000 (5 tahunan lalu Rp 4000) yang sangat cocok
menemani masa-masa saya jadi menjadi mahasiswa dulu.
Lokasi
Soto Sampah Kranggan
Jl. Kranggan No.2, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta
-> https://goo.gl/maps/YXpwUJCgUz62
Soto Sampah Kranggan
Jl. Kranggan No.2, Cokrodiningratan, Jetis, Kota Yogyakarta
-> https://goo.gl/maps/YXpwUJCgUz62
Buka: pukul 07.30
– 03.30
6. Mangut Kutuk
Masyarakat Jogja sebagaimana
masyarakat pedalaman Jawa lebih suka mengonsumsi ikan perairan air tawar. Ingatan
masa kecil ibu mertua saya bahwa beliau suka menyantap ikan kutuk atau ikan
gabus (Channa striata), baik yang
dimasak mangut, oseng maupun goreng biasa. Hal ini serupa dengan masa kecil
saya saat yang gemar makan ikan bayong – nama populer lokal kutuk di daerah
Kebumen. Pada waktu dulu, ikan kutuk ini begitu mudah dijumpai dan dimasak
sehari-hari di dapur rumah. Tak perlu dibudidayakan, ikan ini mudah didapatkan di
kali (sungai kecil) dan sawah di sekitar pemukiman. Namun akhir-akhir ini
seiring dengan ekspansifnya pembangunan dan penurunan kualitas air sungai dan
sawah yang tercemar, ikan kutuk menjadi langka.
Lokasi
Warung Makan Iwak Kali Bu Jasman
Jalan IKIP PGRI No.403, Sonosewu, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul
-> https://goo.gl/maps/rXDuvLGbuwq
Buka: pukul 06.00 – 20.00
Warung Makan Iwak Kali Bu Jasman
Jalan IKIP PGRI No.403, Sonosewu, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul
-> https://goo.gl/maps/rXDuvLGbuwq
Buka: pukul 06.00 – 20.00
7. Mie Lethek
Kebiasaan warga Bantul
yang sejak dulu mengonsumsi singkong memberikan warisan adikarya kuliner yang membentuk
perjumpaan akrab dengan boga dari etnis lain. Salah satunya, perjumpaan itu
mewujud kreatif dalam mie lethek. Di Jogja, eksistensi mie lethek melingkup
skala lokal di Bantul, tepatnya daerah Srandakan, Pandak, dan Imogiri.
Masyarakat di sana lazim mengonsumsi mie lethek sebagai menu kesehariannya.
Terdapat beberapa pabrik mie lethek di Srandakan yang rutin memproduksi mie
berbahan tepung tapioka dan gaplek (singkong yang dikeringkan). Uniknya, ada
pabrik mie lethek Cap Garuda yang proses produksinya masih sederhana
menggunakan tenaga sapi.
Saya punya
favorit mie lethek, yakni di warungnya mbah Sur. Oleh Mbah Sur, mie lethek dipadankan
dengan balungan ayam yang dimasak dalam beberapa tingkatan pedas. Seperti
sebuah kenikmatan hakiki ketika menyantap kenyalnya mie lethek dari menggerogoti
tulang-tulang ayam kampung yang gurih hingga daging terakhir yang bisa diurai.
Jika ingin tantangan lebih menarik, cobalah pilihan pedas yang diatributkan
dengan level sekolah dari PAUD (2 cabai) sampai S3+ (50 cabai). Hanya di Mbah
Sur ini, saya tak malu hanya dikatai selevel PAUD karena tak ingin pedas
mendistorsi kenikmatan dan mengiritasi indera perasa saya.
Lokasi
Mie Lethek
Balungan Mbah Sur
Desa Tegallayang RT. 06/RW. 10, Caturharjo, Pandak, Kabupaten Bantul
-> https://goo.gl/maps/jMvkM6u6eJB2
Desa Tegallayang RT. 06/RW. 10, Caturharjo, Pandak, Kabupaten Bantul
-> https://goo.gl/maps/jMvkM6u6eJB2
Buka: pukul 17.00 – 02.00
8. Gudeg Manggar
Jogja sahih
menjadi kota gudeg. Siang malam, 24 jam, gudeg senantiasa tersedia di tiap
penjuru Yogyakarta. Namun, gudeg tak melulu sebentuk olahan gori atau nangka
muda yang manis. Di daerah pedesaan Bantul, gudeg lebih familiar sebagai olahan
manggar atau bunga kelapa yang riwayatnya konon jauh lebih tua dibandingkan
gudeg bahan nangka. Lima ratus tahun lalu, Puteri Pembayun, putri Panembahan
Senapati - pendiri Kesultanan Mataram Islam mulai mengolah manggar yang
melimpah di daerah Mangir Bantul untuk dijadikan gudeg. Gudeg manggar lantas
menjadi suguhan masyarakat Bantul, terutama pada perayaan hari raya agama,
pesta keluarga dan acara khusus lainnya. Saat musim paceklik di zaman
penjajahan, gudeg manggar menjadi makanan penyelamat masyarakat Bantul.
Lokasi
Gudeg Manggar Bu
Dullah
Jebugan RT. 5, Serayu, Bantul, Serayu, Bantul, Kabupaten Bantul
-> https://goo.gl/maps/yVkuAgvJuqp
Buka: 07.00 – 17.00
Jebugan RT. 5, Serayu, Bantul, Serayu, Bantul, Kabupaten Bantul
-> https://goo.gl/maps/yVkuAgvJuqp
Buka: 07.00 – 17.00
9. Nasi Tiwul
Gunungkidul
dikenal sebagai tlatah yang keras dan kering. Sumber pangan tak semelimpah seperti
di wilayah Jogja lainnya. Adaptasi inilah yang menciptakan tiwul menjadi
makanan keseharian warga Gunungkidul. Tanaman ketela pohon atau singkong lebih
gampang dijumpai di tanah kering daripada tanaman pangan lain. Masyarakat pun
mengolah singkong menjadi gaplek yang lantas diolah menjadi tiwul. Selama
penjajahan Jepang, masyarakat Gunungkidul bertahan hidup dengan mengonsumsi
nasi tiwul. Sayangnya, saat ini nasi tiwul sudah jarang dikonsumsi masyarakat
Gunungkidul seiring dengan kemajuan pertanian padi dan peningkatan ekonomi
masyarakat. Jikalau untuk dikonsumsi, tiwul pun lebih dibentuk menjadi tiwul ayu
yang bercita rasa manis gula jawa. Warung tiwul ayu lebih mudah dijumpai di
daerah Wonosari dan sekitarnya.
Beruntung, saya masih menjumpai nasi tiwul otentik yang bercita rasa gurih di Warung Bu Tum di Desa Wonosari, di pinggir jalan menuju Karangmojo. Saya membungkus dan menyantapnya dengan padanan lauk belalang goreng, tempe goreng dan sayur daun kates. Menyantap belalang goreng sendiri juga merupakan sebentuk ikhtiar hidup warga Gunungkidul. Masa-masa paceklik dan kondisi alam yang keras membuat warga Gunungkidul harus memanfaatkan apa saja untuk bertahan hidup. Saya santap perlahan, gurih dan renyahnya belalang goreng begitu luwes menjadi kawan kearifan dengan nasi tiwul yang lembut dan harum. Sejalan meningkatnya pamor wisata Gunungkidul, nasi tiwul pun berharap bisa naik daun lagi di mata masyarakat Gunungkidul. Keberadaan nasi tiwul semoga bisa membangkitkan lagi kekhasan-kehasan Gunungkidul yang bersahaja.
Lokasi
Gathot Tiwul Yu Tum
Jalan Pramuka No. 36, Wonosari, Pandansari, Wonosari, Kabupaten
Gunung Kidul
-> https://goo.gl/maps/YqKtq6nf4yt
-> https://goo.gl/maps/YqKtq6nf4yt
Buka: pukul 06.00
– 20.30
10. Sego Abang
Sama seperti nasi
tiwul, sebermulanya sego abang adalah dari makanan-makanan yang menjadi
keseharian masyarakat Gunungkidul untuk menyesuaikan kondisi lingkungan yang
keras dan kering. Hanya saja pamor sego abang lebih dikenal di masyarakat luas.
Hal ini bisa dilihat dengan mudah dijumpainya sego abang di berbagai warung
makan di seantero Jogja, tak hanya di Gunungkidul saja. Sajian sego abang pun
biasanya lengkap dengan seperti sayur lombok ijo, sayur gudeg pepaya, wader
goreng, empal, baceman babat iso, bahkan dengan belalang goreng.
Mula sego abang di Gunungkidul adalah dari tanaman pari gogo alias padi yang tumbuh di sawah yang kering, tidak tergenang air. Hasil tanaman ini adalah nasi merah yang biasanya dikonsumsi lazim masyarakat Gunungkidul sebagai pengganti nasi putih. Di Gunungkidul saya punya jagoan sego abang yang mumpuni, yakni di Sego Abang Jirak atau dikenal dengan Sego Abang Pari Gogo di daerah Semanu. Selain menu-menu biasa pendamping Sego Abang, di sana juga punya menu enthung/kepompong ulat johar. Di samping belalang, menu ekstrim enthung ini adalah sumber pangan hewani bagi masyarakat Gunungkidul di kala masa susah.
Untuk menikmati
sego abang yang lebih dekat dijangkau dari Jogja, saya punya alternatif lain
yakni di Sego Abang Lombok Ijo Mbah Widji di Pakem Sleman atau Warung Ijo di
Lempuyangan Kota Jogja. Secara kesehatan, sego abang ini berserat tinggi yang
bagus untuk daya tahan dan pencernaan tubuh.
Lokasi
Warung Sego Abang Pari Gogo
Warung Sego Abang Pari Gogo
Jl. Semanu RT.06 / RW.32, Wonosari, Munggi Ps., Semanu,
Kabupaten Gunung Kidul
-> https://goo.gl/maps/S6xLcH66V2r
-> https://goo.gl/maps/S6xLcH66V2r
Buka: pukul 06.00
– 16.00
Warung Sego Abang Lombok Ijo
Jalan Raya Pakem - Turi Km. 0.5, Harjobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman
-> https://goo.gl/maps/HKarMJZutcF2
Buka: pukul 07.00 – 17.00
Jalan Raya Pakem - Turi Km. 0.5, Harjobinangun, Pakem, Kabupaten Sleman
-> https://goo.gl/maps/HKarMJZutcF2
Buka: pukul 07.00 – 17.00
Warung Lombok Ijo
Buka: pukul 06.00 – 15.00, Sabtu dan Minggu tutup
***
Apa yang tersaji di warung makan barangkali telah mengalami modifikasi demi suguhan yang lebih bermartabat daripada yang terhidang di rumah untuk konsumsi pribadi. Tentunya perihal harga, cita rasa bumbu dan keberagaman lauk pauk telah ditingkatkan untuk mencipta sajian lebih baik. Namun demikian, esensi kebersahajaan dari bahan-bahan yang digunakan tampaknya tidak banyak berubah.
Saya meyakini
sepuluh kuliner di atas adalah pilihan yang harus dijajal semuanya. Namun, jika
hendak memilih mana yang paling prioritas apabila waktu terbatas, saya
menyarankan santaplah Gudeg Manggar racikan Bu Dullah asal Bantul. Dari
bermacam kuliner Nusantara, gudeg manggar adalah sebuah mahakarya otentik yang
tak akan dijumpai di daerah mana saja. Hanya di Jogja, Anda akan menjumpai
makanan lokal sebagai hasil dari proses memasak tumbuhan bersama santan, gula
kelapa dan rempah signatur yang direndam dalam jangka waktu lama. Terlebih
dengan berbahankan bunga kelapa, olahan gudeg manggar betul-betul tiada duanya
di dunia.
Kunjungan ke
Jogja barangkali adalah perjalanan biasa, tetapi sebuah petualangan untuk
mencicipi sepuluh ragam kuliner bersahaja rekomendasi saya bisa memberikan
pengalaman yang berbeda tentang Jogja. Sudut-sudut Jogja memang istimewa,
tetapi dengan berjumpa pada dasa boga bersahaja Jogja, makna perjalanan di
Jogja akan jauh lebih istimewa. Selamat bertualang rasa di Jogja yang bersahaja!
4 komentar
Akhirnya jadi tulisan blog. Mending seperti ini mas, biar sekalian tahu kalau kuliner di Jogja itu tidak sebatas area Malioboro
BalasHapusHahaha.. Kuliner Jogja di Malioboro juga bukan yang terkenal dikembangkan di Jogja, tetapi terkenal di daerah lain terus dijual di Malioboro..
HapusBaru nyoba Entok Slenget, Sego abang, mi lethek dan soto sampah sisanya belum. paling penasaran gudeg manggar
BalasHapusOn the pictures, it looks like street food. Moreover, I realize, that I have never eaten Asian dishes. I am sure, they have quite an interesting cuisine.
BalasHapus