Momen pagi itu
selalu mengikat hasrat perjalanan. Banyak orang rela melintas jarak hanya untuk
menyaksi mula mentari menyinari Bumi. Ada satu tempat di Kebumen yang sudah
saya damba sejak lama untuk bermentari pagi, yakni Bukit Indrakila. Sebagai
penikmat geowisata, saya tentu antusias menjelajahi Indrakila yang masuk dalam
(rencana) Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong. Bukit tertinggi di
Kebumen bagian timur ini sangat menarik atensi saya tentang pemandangan sumurungnya
dan misteri hikayat yang melingkupinya.
Rimbun pekarangan
bambu yang biasanya dikungkung sunyi, pagi ini ditingkahi kemeriahan ratusan
warga. Geliat interaksi kegembiraan menyebar rancak di sekujur lahan teduh di tepian
Kali Kemit yang bersejarah. Mereka sedang berpesta rakyat dalam perhelatan
Pasar Pereng Kali Kemit Desa Grenggeng. Dengan guyub rukun, mereka sedang
merajut anasir-anasir sejarah, budaya, sumber daya, ekonomi dan kebahagiaannya
dalam bingkai lokal desanya.
Sebelumnya maafkan
saya pembaca yang budiman. Tulisan ini betul berjudul “Seribu Cerita” dan
sungguh di Candi Sewu saya menggaet seribu cerita dalam bingkai tamasya ceria.
Hanya saja, di sini saya tak akan bercerita semuanya. Saya hanya menceritakan 3
intisari saja tentang momen yang paling berkesan bagi
saya, Thole dan ibunya Thole. Pertama, kami bahagia pada sore itu. Kedua, Thole
puas berlari dan berdebu di antara candi-candi dan taman sekelilingnya. Ketiga,
Candi Sewu ternyata tak berjumlah seribu.
Jogja sering
disebut sebagai kota besar paling nyaman dihuni di Indonesia. Perdaftar saja
keunggulannya: kualitas nomor wahid fasilitas pendidikan, kelengkapan sarana kesehatan,
keterjangkauan biaya hidup, keramahan masyarakat, keterbukaan pemikiran,
kekhasan pusat budaya Jawa dan multisenibudaya Nusantara, kelezatan boga,
keaktifan ekonomi kreatif hingga keragaman tempat wisata menjadikan Jogja sahih
disebut kota istimewa. Jogja selalu jadi teladan di Indonesia, perihal sebuah
kota yang diimajinasikan untuk ditinggali sebagai manusia seutuhnya.