Semusim Kemarau Jembatan Sesek Kali Progo
Juni 11, 2018
Hujan di
bulan Juni biarlah milik Sapardi dan penggemarnya. Hujan di bulan Juni barangkali
tak usah dijumpa di Kali Progo jika memirsa jembatan sesek bambu yang melintang
di atasnya. Andaikan hujan pun, biarlah “dirahasiakan rintik rindunya” pada
setiap aliran kali yang bermuara pada sungai terbesar di Yogyakarta ini.
Riwayat jembatan sesek guna menyambut perhelatan musim kemarau ini bisa disua
di batas daerah Pajangan dan Lendah yang dibentang Kali Progo.
Pagi
itu, saya cukup beruntung bisa hadir tatkala wujud jembatan sesek belum paripurna.
Bersama Hannif, travel blogger di insanwisata.com awalnya saya berniat memotret sahaja.
Namun, berkesempatan menilik proses pembuatannya adalah suatu insentif perjalanan
yang lebih berkisah.
Mentari belum juga menanjak di cakrawala ketika saya menyapa usaha Priono dan rekan-rekannya menyempurna rupa jembatan. Ternyata, sedari sehabis shubuh mereka sudah giat memasang pagar jembatan. Alas jembatan terlebih dahulu sudah terpasang mantap baru kemudian pagar disusun agar lebih memberi keamanan dan kenyamanan para pelintas jembatan.
“Jembatan
ini bisa bertahan 4-5 bulan sebelum sering turun hujan yang deras.” tuturnya.
Sekitar
sepertiga dari setahun adalah waktu yang cukup lama sebagai bahan pertimbangan untuk
dibangun jembatan sesek. Sungguhlah, jembatan sesek ini sangat berfaedah untuk
menyunat jarak dan waktu antara warga Lendah, Kulonprogo (sebelah barat Kali
Progo) dan warga Pajangan, Bantul (sebelah timur Kali Progo). Mangkus dan
sangkil bagi para pelintas batas kabupaten. Kali Progo secara alami menjadi
batas antara Kabupatan Bantul dengan Kabupaten Kulonprogo. Alhasil, warga tak
perlu memutar jauh untuk melewati jembatan permanen di Srandakan atau Sedayu.
Dengan
palu kayunya, Priono memukul pancang pagar bambu dengan kuat-kuat. Rekannya
mengukur cermat jarak antar pancang pagar bambu. Jembatan sesek Kali Progo
adalah proyek swadaya yang biasa dilakukan Kasdi dan rekan-rekannya tiap
tahunnya. Keseharian menjadi penambang pasir membuat mereka juga perlu
penghasilan tambahan. Apalagi, musim kemarau memberi dampak pasokan pasir dari
hulu tidaklah terlalu melimpah. Bagi pengendara yang melintas jembatan sesek
ini akan dipungut ongkos seikhlasnya. Itu pun kadang ada yang tak membayar.
Modal
untuk membuat jembatan sesek ini tidaklah besar. Pengerjaannya juga tak
memerlukan konstruksi yang rumit. Bahan baku bambu mudah diperoleh di
dusun-dusun sekitar. Tak perlulah membeli, paling hanya mengganti ongkos
memotong bambu sebesar Rp 10.000. Pembangunan jembatan ini membutuhkan
kira-kira 400-500 batang bambu. Waktu pembuatan bisa memakan 2 minggu
tergantung berapa banyak orang yang mengerjakan.
Giat mengangkat bambu untuk dijadikan pagar jembatan. |
Priono kuat-kuat memukul tiang pancang bambu untuk pagar. |
Pekerjaan ini perlu dilakukan cekatan, tapi tak ketinggalan untuk asyik berbincang. Ini untuk membunuh kebosanan. |
Mengangkut bambu agar lekas jembatan ini lunas untuk menyambut Lebaran. |
Sekitar
1 km ke arah selatan, ada lagi jembatan sesek yang pamornya lebih naik daun.
Kalau yang pertama tadi disebut jembatan sesek Manukan, yang kedua ini lebih
dikenal jembatan sesek Mangiran. Jembatan sesek Mangiran ini lebih dulu berfungsi
dengan sempurna. Tampak pagar jembatan sudah tersusun di kedua sisinya, lunas
memanjang di sekujur jembatan. Saya mencermati, jembatan Mangiran ini lebih
ramai dan variatif pelintasnya, walau dari segi ukuran panjang kalah ketimbang
jembatan Manukan.
Jembatan
sesek Kali Progo ini jelas punya daya pikat di dunia digital. Nuansa
tradisional dan desawi yang dibalut dengan fasad menarik nan etnik serba bambu menjadi
dalih orang mau mencari dan berkunjung ke sini. Selain kami berdua, beberapa fotografer,
pilot drone dan pengunjung awam sungguh bersenang ria dan mengabadikan realita
jembatan sesek dengan seksama. Inilah alamat popularitas jembatan sesek makin
dikenal ke penjuru nyata dan maya.
Hajatan
jembatan sesek yang membentang di atas Sungai Progo merupakan geliat lokal
masyarakat bersepakat dengan alam setempat. Andaikan ternyata ada hujan di
bulan Juni atau bulan-bulan kemarau lainnya, si pencipta jembatan sesek semacam
Kasidi tak akan kecewa jika jembatannya rusak. “Andaikan bisa diperbaiki ya
diperbaiki, andaikan hanyut ya coba dibuat lagi.” ungkap Kasidi santai.
Jembatan sesek ini sudah semacam ‘ritual tahunan’ sebagai manusia Kali Progo. “Tak
ada yang lebih tabah, lebih bijak dan lebih arif” dari pembangun jembatan sesek
Kali Progo.
Jembatan Sesek Temben menjadi andalan warga untuk memotong jarak dan waktu tempuh. |
Bocah desa sekitar menikmati suasana pagi jembatan sesek di Mangir |
Kebahagiaan seorang bapak mengajak anaknya melintas di jembatan sesek Mangir. |
3 komentar
Kemarin aku pas ke sana belum dibangun pagarnya mas.
BalasHapusJika rumahku masih di Pundong, aku akan sering-sering ke sana. Pas senja tak kalah menarik, semburat jingga mewarna horizon sisi barat, sedang lalu-lalang warga masih meramaikan sesek sederhana itu.
Semoga bertahan lama, enggak sampai hanyut terbawa arus banjir lagi :))
Terima kasih tulisannya mas :)
Jika dilihat dari sisi lain, penggunaan jembatan dari bambu cocok untuk daerah yang rawan banjir. Biaya perawatannya murah. Tapi ya gitu kalo hanyut harus bikin baru lagi.
BalasHapusJadi inget kalau nggak salah bangunan tahan gempa itu bukan yang gak roboh kalau gempa datang, tapi yang ketika gempa datang, roboh, bisa langsung didirikan lagi dengan mudah dan nggak memakan korban serta biaya yang besar. Biasanya dari bahan bakunya. Boleh dikoreksi jika salah ;)
mantap, keren tulisannya, dan mungkin bisa lebih diteliti dan dipastikan lagi untuk nama orangnya dan nama seseknya, itu yang memukul namanya priono dan itu seseknya sesek temben, kalo sesek mangir itu sesek yang satunya lagi, ada jarak sekitar 1 km dari situ ke selatan kebetulan saya asli daerah sana jadi saya tahu. fotonya juga keren keren. terus berkarya boskuuu..
BalasHapus