Mendedah Medan, Het Land Dollar
Juni 30, 2018
Di Indonesia, patron kota
yang tumbuh dari keajaiban perkebunan adalah Medan. Kota ini lahir dari kisah
tembakau Deli yang digandrungi pasar Eropa sehingga makbul mendatangkan investor
dan tentu juga pekerja profesional, kuli, budak beserta para penggembira. Kini,
tembakau Deli mungkin tak seharum seperti dulu. Namun, Medan tetap wangi dengan
kopi, karet dan sawit yang mana jutaan tonnya dikirimkan ke penjuru dunia lewat
pelabuhannya dan puluhan triliunan uangnya diputar di sekujur wilayahnya. Saya
merasakan aroma kota Medan ini tetap menguar kuat sebagai het land dollar
alias The Land of Money, sebutan masyhur Medan di masa gemilangnya, di akhir
abad 19 dan awal abad 20.
Mentari masih saja
enggan menyinari relung-relung kota. Awan mendung dari penguapan Selat Malaka
terlalu malas untuk beranjak dari langit kota terbesar Indonesia di luar Pulau
Jawa. Saya sengaja bangun pagi untuk menelusuri petak-petak hegemoni kota dengan
berjalan kaki. Flaneur saya kali ini tak punya tujuan yang gamblang. Soal mau
ke mana itu lebih didorong oleh hasrat berjumpa dengan kejutan-kejutan yang timbul
dari hubungan manusia, bangunan dan juga takdir-takdirnya.
Ketika menginjakkan kaki
di Medan yang ketiga kalinya, saya tak perlu terkejut lagi dengan realita Medan
sedari pagi. Kota ini sudah tampak luwes saja bergegas, berkencang dan bergesa
sebagaimana kota metropolitan berderap. Di Medan, saya menginap di J.W. Marriot
Hotel karena urusan perjalanan dinas. J.W. Marriot ini menjulang tinggi dengan
28 lantainya serasa sebagai justifikasi sahih Medan sebagai kota global. Tentu,
tak sembarangan suatu hotel berjejaring terkemuka di dunia ini sepuluh tahun
sudah menancapkan pondasinya di Medan.
Di sampingnya, mega blok
kepunyaan Podomoro yang jauh lebih raksasa sedang dikonstruksi siang malam
seperti tak punya jeda untuk mengaso sejenak. Di sudut-sudut Medan yang lain,
bangunan pencakar langit lainnya juga berlomba menanami tanah Deli yang subur
menjadi belantara beton kota raya. Permaklumilah, Medan hanya menjalankan
perannya sebagai kota besar yang menopang ekonomi NKRI, utamanya di Pulau
Sumatera atau khususnya di Sumatera Utara.
Hotel Grand Aston Medan. Bangunan depannya adalah bekas City Hall Medan |
Bentor menunggu rezeki di kawasan Lapangan Merdeka |
Menjadi pesepeda di Medan adalah sebuah keberanian. Berani tampil ke depan. |
Para pekerja proyek Podomoro sedang melintas untuk ganti shift. |
Saya berjalan perlahan di jantungnya kota Medan: kawasan Lapangan Merdeka yang dulu beken dengan nama Esplanade. Kantor Pos Besar Medan yang sejak tahun 1911 berada di pojoknya ini masih tutup. Namun, pedagang kaki lima di mukanya sudah dirusuh para pembutuh asupan sarapan. Kecantikan arsitektur art-deco klasik Eropa berderet Kantor Bank Indonesia (dulu De Javasche Bank) dan Aston Hotel City Hall (dulu Balai Kota Medan) begitu anggun menampilkan kepaduserasian dengan gedung modern di sekitarnya. Aneka bangunan ini sekilas sanggup menjaga kemakmuran suatu kota dari generasi ke generasi.
Saya menelusuri lebih
jauh ke Jalan Ahmad Yani di daerah Kesawan. Inilah wilayah legendaris yang
menjadi cikal bakal penggerak urat nadi ekonomi Medan. Pada peralihan abad 19,
Kesawan sudah menjadi pusat perekonomian Kota Medan dengan memiliki pasar,
stasiun kereta api, kantor pos, bank, restoran, bank, kantor pemerintahan,
hingga masjid. Saking lengkapnya fasilitas dan cantiknya arsitektur bangunannya,
Medan sampai terkenal dengan Parijs van Sumatra.
Saat ini Kesawan lebih masyhur
sebagai area wisata pusaka Medan beserta warung aneka kuliner yang memanjakan
lidah wisatawan. Meski kondang sebagai tujuan utama, di sini saya belum berjumpa
dengan kesibukan wisata. Para petugas kebersihan kota lah yang telah ripuh
melaksanakan tugasnya. Saya pun lebih masyhuk bisa mengamati fasad bangunan
Kesawan yang sangat kental dengan perpaduan formasi Kolonial Eropa, Tionghoa
dan Melayu.
***
Pagi itu, saya tak
bercakap-cakap banyak dengan Medan dan penghuninya. Bukan soal saya atau orang Medan
yang tak mau melempar keramahan, saya hanya ingin mendengarkan bangunan-bangunan
ini bercerita bisu tentang perjalanan Medan. Rupanya semua bangunan ini berkehendak
ingin menyebut Jacobus Nienhuis,
seorang Belanda, yang mengawali keajaiban Medan lewat perusahaan Deli
Maatschappijnya. Kiprahnya yang nekat menanami tembakau di tanah Deli dan mampu
menjual 189 bal daun tembakau berkualitas tinggi di Eropa dengan harga yang
tinggi menjadi permulaan Medan kelak masyhur sebagai kota perkebunan.
Sebelumnya Medan adalah kampung kecil di wilayah Kesultanan Deli yang kurang
diperhatikan dalam jalur perdagangan Selat Melaka yang meriah.
Nienhuis berhasil menarik
Badan Usaha Dagang Belanda (Nederlandshe Handel Maatschappij) milik Raja
Belanda: Willem I untuk berinvestasi besar-besaran di Deli. Selanjutnya, modal
swasta dari puluhan perusahaan lain pun berbondong-bondong masuk. Alhasil,
semakin luaslah wilayah perkebunan tembakau. Yang yadinya area hutan di Deli
adalah sarang macan, harimau dan satwa lainnya kini ekspansi keserakahan ini harus
membuat hutan alih fungsi menjadi perkebunan tembakau.
Jejak perkebunan Medan masih ada pada Kesawan saat ini. Kantor London Sumatera, salah satu perusahaan sawit terbesar di dunia memiliki kantor di Medan |
Aktivitas ekonomi masyarakat di Pasar Hindu Kesawan. Jejak ekonomi masyarakat dari masa kegemilangan tembakau Medan. |
Jalan Ahmad Yani atau yang dikenal jalan utama Kesawan. Saking indahnya fasad bangunan di sini dulu sampai punya sebutan Paris van Sumatera. |
Tjong A Fie Mansion. Kediaman Tjong A Fie di Kesawan. Sekarang menjadi Cagar Budaya yang dilindungi dan tujuan wisata andalan Medan. |
Puluhan ribu pekerja
dari Tiongkok, Batak dan Jawa pun didatangkan untuk menggerakkan roda perkebunan
Deli. Mereka mau datang karena janji kesejahteraan yang lebih idaman. Namun, sudah
jelas di masa itu, kesejahteraan pekerja adalah utopia. Kesewenang-wenangan
pengusaha dan penguasa menjadikan banyak pekerja mati dan meriang di
perkebunan. Makanya, tak usah disangkal kalau Medan itu dibangun dari lumuran keringat
dan darah pekerja yang menjalani hidup dengan penuh ketidakadilan dan
kesewenangan.
Cerita Nienhuis barangkali
tak ada artinya di Tanah Deli kalau bukan atas izin Sultan Deli. Sultan Mahmud
Al Rasyid memberi konsesi tanah untuk pembukaan kebun tembakau. Sejalan itu, berkembangnya
perkebunan menjadikan Kesultanan Deli bergelimangan penuh kekayaan dan
kemasyhuran. Diperkirakan Kesultanan Deli adalah kesultanan terkaya di Asia
Tenggara pada masa booming-nya tembakau Deli. Saking kayanya, Sultan Deli pun memindahkan
pusat kesultanan ke Medan lengkap dengan istana dan masjid baru yang jauh lebih
megah: Masjid Raya Al Mashun dan Istana Maimun.
Sayangnya, riwayat
manis tembakau Deli tak bisa bertahan sampai Indonesia mengecap kemerdekaan.
Malaise ekonomi di Amerika pada akhir dekade 30-an menyebabkan keruntuhan
bisnis tembakau Deli sampai titik nadir. Betapa tidak, lebih dari 92 % impor
tembakau cerutu Amerika Serikat berasal dari Kesultanan Deli pada masa kejayaannya.
Untungnya diversifikasi komoditas sudah sempat dilaksanakan di Medan dan
sekitarnya dengan ditanamnya kopi, karet dan sawit. Komoditas inilah yang sekarang
ini terus mendenyutkan hidup Medan untuk menjadi kota besar terkemuka di Asia
Tenggara.
***
Naluri saya terdorong untuk
melangkahkah kaki ke gang-gang kecil di selajur Jalan Kesawan. Saya ingin
mengetahui geliat masyarakat di Kesawan lebih gamblang. Saya ambil keputusan ini
setelah menjustifikasi Tjong A Fie Mansion ternyata belum buka. Biasanya, saat berkunjung
ke Kesawan, Tjong A Fie Mansion adalah primadona yang harus dikunjungi para
pejalan. Tjong A Fie sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari Kesawan. Siapa
itu Tjong a Fie? Mari menelusur gang-gang kecil Kesawan terlebih dulu untuk
mencari tahu sosoknya.
Lorong kecil yang diapit
bangunan bangunan toko bertingkat dua di kedua sisinya ini menjadi ciri khas
setiap gang. Sebuah warung yang bertuliskan “Boong Halal” di pojok perempatan menarik
atensi saya. Saya tahu, Boong ini bukan bohong, kebalikan dari jujur. Boong ini
adalah sejenis kue kudapan asal Medan. Nama lainnya disebut Kue Kosong. Bentuknya
bulat dan terkesan padat, tapi kalau ditekan atau remas ternyata isinya kosong.
Barangkali karena maujudnya demikian, tersebutlah si kue boong. Baguslah, si
kue ini sudah mengaku dari awal agar tak mengecewakan si penyantapnya. Rupanya,
warung ini perlu melabeli halal pada boongnya karena kue ini biasanya disuguhkan
warung Tionghoa yang notabene nonmuslim. Selama ini, Kesawan memang dikenal
sebagai kawasan Pecinan-nya Medan.
Di jantung pemukiman
Kesawan ini, saya bertakzim dengan Masjid Lama Gang Bengkok. Warnanya serba
kuning dan hijau dengan atap tumpang mirip klenteng ingin menampilkan
kolaborasi nuansa Melayu dan Tiongkok. Masjid Gang Bengkok didirikan tahun 1874
di atas tanah wakaf dari Haji Muhammad Ali, sang Datuk Kesawan. Uang
pembangunannya berasal dari Tjong A Fie, sang filantropis legendaris di Medan. Masjid
Gang Bengkok didirikan Tjong A Fie sebagai penghormatan langsung kepada
Kesultanan Deli dan bentuk perhatian terhadap hubungan harmonis masyarakat
Tinghoa-Melayu. Masjid ini pun nyata menjadi tengara toleransi di Medan.
Berjualan Boong yang halal, bukan Boong yang hoax. |
Masjid Lama Gang Bengkok, ada kontribusi besar Tjong A Fie di sini. Simbol harmoni masyarakat Medan |
Aktivitas warga di Kesawan di pagi hari: mengantarkan anak sekolah sambil siap mengatur strategi untuk bertahan hidup seharian. |
Tjong A Fie adalah seorang
pengusaha dari Tiongkok dan sukses membangun bisnis besar di tanah Deli yang
memiliki lebih dari 10.000 orang karyawan. Kerajaan bisnisnya meliputi
perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta
api di Medan dan sekitarnya. Ia dekat dengan Sultan Deli, pejabat Belanda dan
berbagai kalangan masyarakat.
Yang tak akan bisa
terlupa dari sosoknya adalah kedermawanannya. Kekayaannya mewujud pada pembangunan
Medan seperti sumbangan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama,
pembangunan Istana Maimun, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Buddha di
Brayan, kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan,
dan masih banyak lagi. Hebatnya, ia juga berwasiat bahwa seluruh kekayaannya diberikan
ke yayasan yang didirikannya untuk keperluan pemberdayaan masyarakat.
Ah, membayangkan
kedermawanan Tjong A Fie di jalanan Medan di masa kini tampaknya sudah tak
relevan lagi. Saat melintas di Jalan Perdana yang sesak dan sempit, saya saja
diklakson mobil untuk minggir. Lha, saya padahal sudah berada di pinggir sekali
dan harus berbagi ruang jalan dengan para pedagang. Tak hanya itu, sewaktu saya
ingin menyeberang jalan di tersedia tombol penyeberangan berwarna kuning. Saya
memencet dan tombol pun berfungsi. Hijau menyala untuk pejalan. Saya melangkah.
Namun, bagi para pengendara mobil, motor juga transportasi umum, otak dan
kedermawanannya tak berfungsi yang mana seharusnya berhenti. Mereka sama sekali
tak berhenti, membiarkan saya lewat berjalan di saat lampu merah untuk mereka.
“Bah, sialan hampir mati
aku”
“Ah, biasa saja kali. Ini
Medan Bung”
***
Romantisme kegemilangan Kesultanan
Deli rasanya sudah tidak bersangkut lagi dalam arus sejarah kekinian, selain
soal peninggalan arsitekturnya yang terus tampak terlihat megah dan arkaik.
Sebut saja tinggal Istana Maimun dan Masjid Raya Al Mahsun yang bisa merepresentasikan
Kesultanan Deli yang agung. Wisatawan pasti akan mengagendakan untuk menyambang
Istana dan Masjid Raya sebagai destinasi utama Medan. Buktinya saya dan kawan
saya di tengah keterbatasan waktu tetap meluangkan untuk berkunjung ke dua
tengara ini.
Di sisi lain masyarakat
Medan barangkali sudah mulai lupa dengan sultan dan kesultanannya. Coba tanya
saja, siapa Sultan Deli saat ini kepada masyarakat. Saya yakin namanya kalah
pamor dibandingkan walikota Medan atau gubernur Sumatera Utara. Sayup-sayup
nama Sultan Deli telah tenggelam dalam sistem demokrasi NKRI yang memuseumkan segala
kesultanan dan aparatusnya sebagai artefak budaya. Jadi, siapa Sultan Deli saat
ini? Adalah Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam, Sultan Deli XIV, yang masih muda
berumur.
Mari mengakui saja, bahwa
yang akan selalu menancap dari Medan saat ini adalah akselerasi pembangunan
ekonominya yang cepat, hebat dan rapat. Kota terbesar keempat di Indonesia ini tampaknya
terus butuh asupan-asupan mega kapital dan “kerja keras bagai kuda” demi meningkatkan
kemakmuran (atau malah memperlebar kesenjangan) masyarakatnya. Namun, tenanglah,
selama kedai kopi masih bertebaran di setiap sudut Medan, selalu ada afirmasi
bahwa Medan akan selalu jadi kota yang bisa membahagiakan warganya.
Sisi belakang Istana Maimun. Ditinggali keluarga Kesultanan yang tak punya lagi kuasa politik di Medan. |
Masjid Raya Al Mahsun. Masjid Kesultanan Deli memiliki arsitektur yang sangat kental dengan perpaduan antarbudaya |
2 komentar
Tambah ngiler ke Medan. Sepertinya 3 hari dua malam cukuplah kalau sekadar singgah di kota Medan saja hahahahha
BalasHapusArsitektur bangunannya ditambah dengan tone fotonya jadi berpikir, beneran ini masih di Indonesia? Hahaha. Apik mas.
BalasHapusPas cerita soal penjaja kaki lima itu, aku jadi membayangkan masih ada orang jual nasi uduk di pagi hari dengan sederhana sekali, tapi berlatar gedung megah. Tampaknya modernisasi tetap bisa sejalan dengan ksederhanaan.