Di Indonesia, patron kota
yang tumbuh dari keajaiban perkebunan adalah Medan. Kota ini lahir dari kisah
tembakau Deli yang digandrungi pasar Eropa sehingga makbul mendatangkan investor
dan tentu juga pekerja profesional, kuli, budak beserta para penggembira. Kini,
tembakau Deli mungkin tak seharum seperti dulu. Namun, Medan tetap wangi dengan
kopi, karet dan sawit yang mana jutaan tonnya dikirimkan ke penjuru dunia lewat
pelabuhannya dan puluhan triliunan uangnya diputar di sekujur wilayahnya. Saya
merasakan aroma kota Medan ini tetap menguar kuat sebagai het land dollar
alias The Land of Money, sebutan masyhur Medan di masa gemilangnya, di akhir
abad 19 dan awal abad 20.
Hujan di
bulan Juni biarlah milik Sapardi dan penggemarnya. Hujan di bulan Juni barangkali
tak usah dijumpa di Kali Progo jika memirsa jembatan sesek bambu yang melintang
di atasnya. Andaikan hujan pun, biarlah “dirahasiakan rintik rindunya” pada
setiap aliran kali yang bermuara pada sungai terbesar di Yogyakarta ini.
Riwayat jembatan sesek guna menyambut perhelatan musim kemarau ini bisa disua
di batas daerah Pajangan dan Lendah yang dibentang Kali Progo.