Freo dan Bon Scott - NG TRAVELMATE #7
September 14, 2016Bon Scott jadi ikon Fremantle. |
Melancong ke Fremantle, penggandrung musik rock akan bertakzim kepada Bon
Scott. Mendiang mantan vokalis AC/DC ini terjejak abadi di belantara kota
bersejarah Australia Barat. Kisahnya berkelindan manis bersama romansa kota
yang diwarnai bangunan-bangunan tua abad 19.
Saya gemar musik rock, suka AC/DC meski bukan fans garis keras. AC/DC merupakan band rock asal Australia yang
masyhur di belantika musik dunia sepanjang masa. Lengkingan suara Bon Scott mewarnai
lagu-lagu cadas AC/DC yang menggelinding di era 1974-1980 sebelum kematiannya. Bon
Scott meninggal muda di London pada 19 Februari 1980 akibat keracunan konsumsi
berlebih alkohol dan dimakamkan di Fremantle. Saya familiar dengan lagu-lagu era
Bon Scott semisal “Highway to Hell”, “High Voltage”, “Let There Be Rock”, “Big
Balls”, dan “Long Way to The Top” yang menapakkan Acca Dacca – sebutan familiar
AC/DC di Australia – ke panggung musik internasional.
Patung perunggu Bon Scott berdiri di hadapan saya dalam temaram malam yang
hening di Fremantle Fishing Boat Harbour. Namun, Bon Scott tampak penuh enerjik
bernyanyi, tangan kiri memegang mic, tangan kanan menarik kabel mic. Tampilan
bertelanjang dada yang dibalut jaket denim dan celana jins lebar seakan
menahbiskan sosok Bon sebagai superstar rock dunia.
Pematung Australia Barat, Greg James mengalasi atraksi Bon Scott dengan
amplifier Marshall yang berprasastikan nama dan kisahnya di Fremantle. Saya pun
sapa Scott sebagai pujaan dari jutaan fans AC/DC yang tak lekang oleh zaman
melintas beberapa generasi. Saya bahkan belum lahir ketika Bon tutup usia di
usianya ke-33. Malam itu, selain saya rasanya hanya burung-burung camar laut di
pelabuhan yang menjadi penonton konser sunyi Bon Scott.
Fremantle alias Freo menjadi kota Scott ditempa sebagai seorang musisi.
Lahir di kota kecil Forfar Skotlandia, pindah bersama orang tua ke Melbourne
lalu Scott menetap di Fremantle sejak usia 10 tahun. Scott remaja mulanya
belajar sebagai drummer dan membentuk band The Spektors. Scott baru menjadi
vokalis utama setelah mendirikan band Valentine. Di band inilah, Scott berkiprah
yang mulai menaikkan namanya di jagat
musik nasional. Tahun 1970, Scott pindah ke Adelaide dan bergabung dengan band
progressive rock The Fraternity. Namanya kian melambung dan beberapa kali
melakukan tur di Inggris.
Kisahnya di AC/DC baru bermula pada 1974 ketika dua bersaudara Malcolm dan
Angus Young mengajaknya bergabung untuk menjadi vokalis band asal Sydney. Sejak
itulah, AC/DC dan Ben Scott adalah satu kesatuan yang ikonik. Dimulai album
“High Voltage”, berlanjut “T.N.T”, “High Voltage (International Version)”, “Dirty
Deeds Done Dirt Cheap”, “Let There Be Rock”, “Powerage” sampai terakhir
“Highway to Hell”, Scott memberi nyawa pada AC/DC hingga sanggup dipuja sebagai
salah satu band rock terbesar sepanjang masa.
Saya coba putar lagu Highway to Hell – lagu AC/DC era Scott paling terkenang.
Nuansa Fremantle hadir di lagu ini sebagai inspirasi karyanya. Scott menyebut
Canning Highway yang menghubungkan Fremantle dengan Perth sebagai Highway to
Hell. Kebiasaan minum Scott sering mengantarkan dia ke bar yang disebutnya
Raffles di Perth. Dari rumahnya, ia akan mengendarai mobil seperti “No stop
signs... speed limits... nobody gonna slow me down."
Namun saya tak bisa membayangkan hari ini ada yang berani menapak tilas
aura nerakanya Canning Highway, sekalipun fans paling militan dari Bon Scott
dan AC/DC. Peraturan lalu lintas di Australia sangatlah ketat. Dendanya pun
sungguh bikin kecut. Siap-siap saja Anda kalau tertangkap berujung di penjara
dan menanggung denda ribuan dollar. Ada yang berani?
***
Tatkala berjalan kaki menelusuri Fremantle, sungguh jauh dari kesan glamor,
rancak dan jingkrak-jingkrak ala Bon Scott. Saya menjumpai ketenangan pada
relung-relung kota. Lanskap arsitektur bangunan yang lestari dari abad ke-19
ditemui di setiap sudut kota. Kendaraan mengalun pelan di kanal-kanal aspal.
Para pejalan tampak menikmati setiap derap langkahnya. Kota yang didirikan pada
tahun 1829 sebagai bagian dari koloni Sungai Swan ini lebih menunjukkan sebagai
kota yang anggun, ibarat sang gadis cantik di pesisir Perth.
Melintas sore hari di Cappucino Strip, saya menemui kegembiraan yang hidup
dari warga yang menyeruput kopi atau wine sambil berbincang dengan koleganya.
Ikon keramaian kota di sepenggal South Terrace juga menyuguhi kedai-kedai lokal
dan toko bermerek yang artistik. Saya kini masuk ke Pasar Fremantle yang sejak
1897 menjadi arena interaksi ekonomi sosial antara penjual-pembeli, warga
lokal-wisatawan dalam produk dagangan yang khas. Tentu panorama ini, sesuatu
yang jarang dijumpai di pasar Australia yang modern.
Sore segera pudar, tapi saya masih ingin ke Penjara Fremantle. Bangunan ikon
Fremantle yang satu-satunya terdaftar sebagai UNESCO World Heritage di Australia
Barat menyambut saya di penghujung jam bukanya. Saya tak bisa masuk untuk
melihat seluk beluk bangunan yang tak digunakan sejak 1991 ini. Terpapar saja
bangunan dingin yang jadi sisa era kolonial Australia. Dulu penjara Fremantle
dibuka pertama kali tahun 1855 dan dibangun para narapidana yang didatangkan
dari Inggris.
Namun, ihwal kedatangan saya menjenguk Penjara Fremantle ialah menengok
Scott yang pernah ditahan sebentar di sini. Karena mencuri bensin, memberi
informasi nama dan alamat palsu ke polisi, kabur dari penangkapan polisi, serta
membawa lari gadis di bawah umur, Scott berurusan dengan hukum. Perangai badung
Scott juga banyak terbawa pada lagu-lagunya. Tahukah lagu “She’s Got Ball”?
Istrinya mengeluh Scott tak pernah membuat lagu istimewa untuknya. Scott pun
membuat lagu “She’s Got Ball tapi lalu istrinya meninggalkan Scott. Liriknya
malah kontradiksi dengan permintaan sang istri.
Jalanan Fremantle makin lengang di malam hari. Saya menyusur Fremantle
Town Hall pun tinggal berjumpa dengan sisa manusia-manusia Freo yang rela
ditelan sepi. Namun, di beranda Hotel National keramaian khas Freo bergemuruh.
Sejalur itu tegukan wine, kopi, bir bersama lantunan musik memenuhi seantero.
Mungkin inilah “Pathway to Heaven” ala Fremantle yang menyenangkan warganya
hingga ujung malam.
Tapi, saya merasa ada yang kurang di kelana Freo saya. Saya
belum menjenguk Scott di tempat peristirahatan abadinya, di pinggiran kota
Fremantle.
Catatan:
Tulisan "Freo dan Ben Scott" telah tayang di Majalah National Geographic Indonesia Traveler edisi Bulan Juni 2016. Tulisan di blog saya ini sedikit berbeda dengan versi yang ditayangkan di majalah NG Traveler.
Video perjalanan di Australia Barat dalam NG Travelmate
Perjalanan di Australia Barat ini terlaksana bersama NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA - www.nationalgeographic.co.id dan TOURISM WESTERN AUSTRALIA BOARD - www.westernaustralia.com dalam tajuk acara NG TRAVELMATE. Selama 6 hari (5 - 10 April 2016), saya mengeksplorasi pesona Australia Barat. Ada 11 tulisan dalam rangkaian perjalanan ini dan sebelumnya merupakan 'assignment' dari National Geographic Indonesia. Beberapa tulisan sudah tayang di majalah NG TRAVELER dan laman www.nationalgeographic.co.id.
Berikut ini, sebelas tulisan tentang pengalaman saya merayakan pesona Australia Barat yang mengagumkan. Kamu harus membaca semuanya...
Selamat membaca dan menarik kisah perjalanan yang lebih bermakna...
5 komentar
Kalau baca tulisanmu jadi ingat waktu kami ngobrol malam minggu kemarin abreng teman-tema di Jogja, mas. Semua sepakat kalau tulisanmu itu harusnya nampang di majalah semua hehehehhe.
BalasHapushahaha.. terima kasih mas Sitam. Ikhtiar nulis yang baik.. :D Tapi aku sering banget lho dulu ngirim2 ke majalah terus ditolak. Haha.. Dari situ belajar nulis untuk lebih baik.. Mungkin karena itu style tulisanku kayak di majalah.. haha
HapusMalcolm kayak nya jadi merk kaos yang lumayan terkenal di kalangan anak sketboard ... eh itu valcolm yaaa eh apalah itu #KaesangLupa
BalasHapusskate board tuh oncom kak.. hahaha.. enak klo oncom ya kak Cum.. :D
HapusWah :D mantap kali hahaha
BalasHapus