Terios 7 Wonders #7: Pulang Kampung Wae Rebo
Juni 12, 2016Wae Rebo. Sedap. |
Apapun antusiasme orang ke
Wae Rebo: entah karena ingin takzim
pada mahakarya tradisi Manggarai yang berabad-abad lestari, entah karena ingin menyanjung
pesona kampung terindah yang didekap sayang keabadian hutan yang terhijau, entah
karena ingin melampiaskan impian di salah satu tempat berarsitektur terunik di
dunia, kali ini saya hanya ingin pulang kampung. Ya, pulang ke Wae Rebo untuk bersilaturahmi
kepada keluarga saya, Vitalis Haman.
***
Akhir April 2016, saya saling berkomunikasi dengan Vitalis. Tanya kabar,
tanya kopi, juga tanya Wae Rebo secara umum. Dia juga tanya kabar, tanya
perihal Daffa anak saya, dan pasti, menagih kapan kedatangan saya lagi ke Wae
Rebo. Saya pun menjanjikan di akhir tahun 2017, sepulang saya dari Negeri
Kangguru sekalian mengajak Daffa bertetirah ke Wae Rebo. Oh ya, berkomunikasi
dengan warga Wae Rebo bukan perkara mudah yang bisa dilakukan tiap saat. Jaringan
sinyal seluler yang seadanya hanya bisa didapatkan pada tempat tertentu, dan
waktu tertentu.
Tengah Mei 2016, Terios 7 Wonders mengajak saya ke Flores dalam perhelatan
Tour de Flores. Langsung pikiran saya tertuju, apakah perjalanan ini singgah ke
Wae Rebo? Untungnya, Terios 7 Wonders menjadikan Wae Rebo sebagai pamungkas
perjalanan. Saya kontak Vitalis. Saya ingin berkabar kalau bisa hadir ke Wae
Rebo jauh lebih awal. Sayangnya, akibat keterbatasan komunikasi, saya gagal
mengabari kedatangan. Pun, anggap saja kehadiran kali ini adalah kejutan untuknya.
Selalu, perjalanan ke Wae Rebo tak pernah gampang. Saya merasakan dari
tahun ke tahun jalan makin rusak. Makin masyhurnya Wae Rebo di panggung pariwisata
tak mendorong pemerintah daerah memerbaiki jalan akses. Selain bagi Wae Rebo, paling
tidak ‘kan’ jalan yang bagus bisa untuk kemajuan daerah di sekitarnya. Start dari Ruteng, Terios 7 Wonders
harus menaklukkan ketinggian Poco Likang dengan bonus kelokan dan tanjakan
turunan, lalu melintas sawah di daerah Iteng yang sungguh luas, lantas menyisir
pesisir sebelum tiba di Kombo.
Mungkin, inilah seninya perjalanan ke Wae Rebo. Mobil Daihatsu Terios begitu sabar untuk melibas lubang-lubang jalanan sepanjang 54 km. Dengan tarikan mesin 1500 cc yang tangguh, perjalanan di medan yang bergunung pun tetap bisa dilibas. Ketika turunan tajam dilalui, rem yang prima sanggup memberi jaminan keamanan bagi pengendara. Bagusnya pula, Daihatsu Terios tetap awet bahan bakar di medan semacam ini.
Di dalam mobil, dengan tempat duduknya yang cukup lapang, saya pun merasakan tiga jam perjalanan tetap nyaman sambil asyik menyaksikan panorama di sepanjang jalan. Seperti biasa, kawan semobil di perjalanan, si travel instagramers hits itu tetap saja bisa tertidur pulas.
Kami tiba di Kampung Kombo saat siang sudah memudar. Kombo adalah kampung kembaran Wae Rebo dimana semua penduduknya adalah warga Wae Rebo yang tinggal agar mendapatkan akses kesejahteraan lebih mudah.
Melintasi Poco Likang, Tangguh di tanjakan dan turunan, prima di kelokan. Foto: Rynol Sarmond @rynolsar |
Tangguh Terios. Melahap medan daerah Iteng. Foto: Rynol Sarmond @rynolsar |
Di pesisir Dintor |
Pesisir pantai menuju Wae Rebo. Di kejauhan Pulau Mules. |
Saya pun mampir di rumah Vitalis dan berjumpalah dengan Eman, bungsu
Vitalis. Darinya saya tahu kalau Vitalis baru pulang hari ini dari Wae Rebo.
Katanya, jika beruntung saya akan berjumpa dengannya di tengah perjalanan saat
saya naik dan dia turun. Sejak kedatangan dua tahun lalu, rumahnya tetap saja
sederhana dengan lantai tanah dan dinding tembok tanpa pelester.
Terios 7 Wonders berhenti di Denge, di rumahnya Blasius – aktivis wisata
Wae Rebo pada tahap awal sekaligus pemilik penginapan. Inilah kampung terakhir sebelum berjalan kaki ke Wae Rebo. Di
sinilah, kami menjemput Aloysius, pemandu yang membawa kami ke Wae Rebo.
Ternyata Denge bukan lagi jadi titik start melangkahkan kaki. Kini di Wae
Lomba, kami memulai menembus rimbunan hutan ke Wae Rebo. Dulu Wae Lomba dikenal
sebagai Pos 1. Akhirnya terealisasi sudah harapan warga Wae Rebo untuk memotong
sejauh 3 km jarak jalan kaki mereka. Sekaligus, memenuhi keinginan pelancong
untuk menyusutkan waktu tempuh yang rata-rata 4 jam ke kampung yang ibarat
negeri dongeng di jantung tlatah Flores.
***
Benar, Vitalis sudah menunggu di Wae Lomba. Tak ada yang lebih
membahagiakan selain akhirnya bisa berjumpa
dengannya. Kami pun saling berpelukan hangat. Perjumpaan kami langsung semarak
dengan berbincang-berbincang tentang beragam hal. Saya perlu waktu setengah jam
untuk melepas kangen dengan Vitalis. Tim Terios 7 Wonders biarlah berjalan
terlebih dulu.
Jujur, tentang Wae Rebo, dari segala memorinya, yang paling indah dan mendalam adalah kekeluargaan saya dengan Vitalis Haman. Tiga tahun lalu, saat saya pertama ke Wae Rebo, Vitalis menjadi kawan– lebih suka saya menyebutnya demikian alih-alih porter atau guide. Aturan di Wae Rebo memberlakukan setiap tamu yang berkunjung harus didampingi orang lokal.
Semenjak itu, kami menjalin kekeluargaan yang berlanjut manis hingga sekarang. Paling tidak sekali sebulan, kami pasti saling berkirim kabar. Teringat dulu jelang pamitan, saya bilang kepadanya. “Tahun depan semoga saya bisa kembali lagi ke sini.” Betul saja, semesta mendukung. Setahun berikutnya, saya datang lagi ke Wae Rebo dan berjumpa lagi dengan Vitalis.
Sekarang start pendakian di Wae Lomba. Terios mengantarkan di Wae Lumba. |
Berjumpa keluarga saya, Vitalis di Wae Lumba. |
Pombo, kampung kembaran Wae Rebo. |
Saya pun selalu merekomendasikan setiap kawan yang ke Wae Rebo agar didampinginya. Bukan sekedar perkara mengantarkan, dari Vitalis selalu ada cerita tentang keanekaragaman hutan dan perihal tradisi yang khas pada sepanjang perjalanan ke Wae Rebo. Belum lagi, suguhan kopi dari kebunnya yang nikmatnya membekas karena dia selalu menyilakan tamunya mampir di rumahnya. Kebaikan hatinya selalu jadi alasan kenapa saya selalu ingin hadirkan Vitalis dalam setiap cerita Wae Rebo.
“Syukurlah adik Iqbal bisa datang kembali ke sini. Kenapa tak kabari kakak terlebih dulu?” ungkapnya begitu senang menyambut saya. Pak Vitalis lebih nyaman memanggil saya sebagai adik. Namun, bukannya saya panggil dia Kakak, saya tetap memanggilnya Pak Vitalis.
Maklumlah, Vitalis sudah berumur setengah abad, lebih tepatnya 54 tahun. Dia merupakan generasi ke 18 dari penduduk Wae Rebo. Dari pernikahannya dengan Mama Udi, dia sudah memiliki 5 buah hati dan satu cucu dari putra tertuanya. Hidup di alam yang membahagiakan seperti Wae Rebo, membuat ia tampak selalu awet muda. Kesehariannya biasa dibagi di dua rumah, satu di Wae Rebo, satu di Kombo. Kali ini dia baru saja menghabiskan waktu sepuluh hari di Wae Rebo untuk urusan syukuran renovasi rumahnya di Wae Rebo.
Vitalis selalu antusias untuk berkisah tentang kebun kopinya. Dia curhat bahwa musim kopi kali ini mundur beberapa bulan. Hujan yang turun terlambat menjadi penyebabnya. Namun, di balik itu dia begitu optimis kalau hasil panen kali ini lebih baik. Dia paling banyak menanam Arabica, lalu Robusta dan sebagian kecil Columbia. Bagi Vitalis dan warga Wae Rebo lainnya, kopi adalah hasil bumi pembawa kesejahteraan. Vitalis tahu betul kalau saya adalah penikmat kopi paling antusias.
“Nanti mampir ke rumah ya di atas sana. Mama Udi sudah siapkan kopi untuk Adik Iqbal. Bungkus juga biji kopi, ya sekilo ada.” tawarannya sungguh menggiurkan.
Jalan kaki 2,5 jam menuju Wae Rebo. |
Panorama dari Pos II Poco Roko. |
Menembus lebatnya hutan lindung Todo Repok. |
Mentari mulai meredup tak kuat lagi menembus belantara hutan Todo Repok.
Saya pun perlu bergegas untuk melanjutkan perjalanan. Kepada Vitalis, selain
akan bertakzim ke Mama Udi dan rumah barunya,saya janji pula singgah lagi di
rumahnya di Kombo sebelum pulang ke Labuan Bajo. Awalnya, saya ingin ajak Vitalis
kembali lagi ke Wae Rebo, tapi dia menolak halus. Katanya, nanti malam ada acara
syukuran pernikahan di tetangga
rumahnya.
Menembus hutan di Wae Rebo tak perlu takut merasa sendiri. Beberapa kali
saya berjumpa rombongan warga Wae Rebo yang keluar kampung. Seperti biasa, mereka sangat ramah. Tangan
selalu terjulur tanda persahabatan setiap berjumpa. Karena jalan cepat, tak
butuh lama, saya bisa menyusul beberapa kawan saya jelang pos II Poco Roko.
Perjalanan pun sejenak rehat di Poco Roko sambil memandang Laut Sawu dan Pulau
Mules yang mulai tertutup kabut.
Semburan purnama H+1 menyambut kedatangan kami. |
Setiap tamu pertama harus ke Mbaru Tembong untuk Wae Lu'u |
Kami berjalan lagi. Kicauan burung sudah sepi pertanda malam mulai lekas
menyambut. Saat tiba di pos III Nampe Bakok, keheningan perjalanan telah berkawan dengan
gelap. Kami pun tiba di Gardu Wae Rebo saat malam sudah sempurna beranjak dari
petang. Begitu sampai di Wae Rebo, saya tak bisa lagi melihat bangunan Mbaru
Niang. Namun, bintang-bintang yang menaungi langit Wae Rebo mulai terlihat. Di ufuk
timur, sinar rembulan H+1 purnama mulai menggurat. Sebuah sambutan yang sangat
indah untuk kunjungan Terios 7 Wonders di Wae Rebo.
***
Hadir ketiga kalinya ke Wae Rebo, saya sudah tidak dianggap lagi sebagai
wisatawan. Kehadiran saya kali ini pun dianggap sebagai sebuah kepulangan. Saya
dianggap sebagai seorang anak Wae Rebo yang pulang ke kampung halamannya. Aturannya, setiap orang yang hadir ke Wae Rebo
akan diangkat menjadi anak Wae Rebo melalui Wae Lu’u.
Tetua adat Wae Rebo. |
Aloysius mengantar tamu kepada tetua. |
Wae Lu’u adalah upacara adat agar sang tamu diterima oleh leluhur Wae
Rebo. Wae Lu’u juga merupakan upacara pengangkatan tamu menjadi anak Wae Rebo,
bagian dari keluarga besar Wae Rebo. Tidak
bisa seorang tamu melakukan aktivitas di kampung Wae Rebo – misal memotret
sekalipun – sebelum menjalani Wae Lu’u.
Di tengah ruang Mbaru Tembong – rumah
utama Wae Rebo, tetua adat duduk bersila di tengah ruang. Rofinus Nompor
memimpin Wae Lu’u. Wae Lu’u diawali dengan lantunan
duka cita dan doa kepada para leluhur yang telah berjasa.
Selanjutnya, permohonan
perizinan dan perlindungan atas kedatangan tamu kepada leluhur. Beberapa kali
nama kami disebut. Asal kami dari juga
diseru-serukan. Saya yang pernah mengikuti Wae Lu’u juga merasa merinding mendengar seruan Rofinus. Bergetarlah hati
saya. Upacara
Wae Lu’u selesai. Setelah mengobrol santai sebentar, wisatawan disilakan untuk
menuju ke Niang Gena Maro, Mbaru Niang untuk tamu di ujung kampung.
Kasih memimpin obrolan persahabatan di antara pengunjung. |
Sajian kopi Wae Rebo. Pujaan di kala kedatangan. |
Mari makan malam! |
Para mama memasak untuk wisatawan. |
Mama Fina sedang menyangrai kopi. Saya beli kopinya. |
Kami bukan satu-satunya rombongan yang hadir ke Wae Rebo. Ada dua
rombongan turis asing dan satu rombongan turis domestik. Kasih – generasi muda
Wae Rebo yang cakap – memimpin obrolan hangat lintas bangsa. Kopi dan teh
menjadi perekat obrolan. Tak berselang lama, makan malam hasil masakan mama Wae
Rebo hadir. Inilah yang ditunggu. Perut saya sudah lapar.
Sebuah kemajuan, kini menu hidangan hadir lebih variatif. Dulu pertama dan
kedua datang di Wae Rebo, hidangan hanya berupa indomie dan sayur sederhana.
Baguslah, perkembangan ekowisata Wae Rebo bisa dirasakan, termasuk dari sisi
penyiapan makanan.
Malam kian larut, tapi tak ada tanda-tanda kantuk. Saya keluar menjemput
jutaan bintang yang bergantungan di langit. Ternyata angkasa mendung dan saya
perlu bersabar. Malam Wae Rebo tak sedingin yang dibayangkan. Saya dan kawan lantas
saling melarutkan obrolan kian panjang. Namun, saya tahu diri, saya jeda tidur
beberapa jam demi mengharap di bangun sepertiga malam terakhir bisa disambut
malam cerah yang berjutaan bintang.
Bulan memancar kuat di kegelapan Wae Rebo. Tak ada Milky Way. |
Bintang-bintang tetap terlihat bertaburan cantik |
Purnama menerangi gelap Wae Rebo. |
Jejak Milky Way yang samar-samar bisa ditangkap. Cukup senang. |
Saya bangun lagi. Semua lelap, gelap nan senyap. Hanya saya, mas Farchan
@efenerr, mas Rynol dan Yudha @catatanbackpacker yang mau bangun lebih dini
dari pagi. Okay, kami mendapatkan bintang dan langit cerah, tapi sinar rembulan
bersinar memutihkan angkasa. Dalam harap ingin menangkap jejak “Milky Way” di
langit Wae Rebo, tapi apa daya cukup saja bintang berkelip yang bisa didapat. Saya
tetap bersyukur, pesona malam Wae Rebo tak kalah indahnya.
***
Tentang pagi di Wae Rebo adalah manusia-manusia yang keluar dari sarang
kerucut Mbaru Niang sambil berkemulkan sarung. Selamat pagi Wae Rebo! Saya sapa
dan bersalaman dengan warga yang duduk dan berjalan dalam lingkaran tujuh Mbaru
Niang. Mentari sudah tampak menyemburat. Saya pun beranjak menujuTaman Baca. Inilah
tempat terbaik menyaksikan baskara perlahan-lahan menyinari kampung.
Berkawankan segelas kopi, saya nikmati anugerah Wae Rebo yang tampak ibarat
negeri dongeng. Bayangkanlah ada kampung yang terselinap sunyi di pegunungan
Manggarai dengan didekap hutan lestari. Usianya sudah 22 generasi, tetap
mempertahankan tradisi khas Manggarai tapi arif menerima modernitas. Untuk
mencapainya harus menempuh setapak sempit, seperti ‘lorong waktu’ sejauh 6 km. Butuh
upaya jalan kaki yang prima, paling tidak 2,5 jam harus menembus hutan untuk
tiba di Wae Rebo.
Wae Rebo dikenal dulu mendunia lalu menusantara. Tanggal 27 Agustus 2012, sejarah
besar didapat Wae Rebo. Badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO,
menganugerahi Wae Rebo sebagai peraih Award of Excellence pada UNESCO
Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation. Ini adalah penghargaan
tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya. Saya ingat pada kunjungan
pertama di 2013, orang di Manggarai pun belum tentu tahu tentang Wae Rebo. Tamu
yang hadir masih didominasi turis asing. Bagusnya, kini Wae Rebo sudah mulai
jadi salah satu destinasi impian sebagian orang Indonesia.
Semburat fajar. |
Baskara mulai menyapa Wae Rebo. |
Manusia berkemul sarung, di sarang Mbaru Niang. |
Kami - saya, bang @efenerr dan @satyawinnie bergembira di pagi Wae Rebo. Sementara Yudha @catatanbackpacker masih terlelap |
Wae Rebo yang selalu cantik di pagi hari. |
Mentari sudah meninggi, awan mulai masuk ke lembah Wae Rebo. Saya turun ke
kampung. Di Mbaru Niang, Mama Udi, istri Vitalis telah menjemput saya untuk
mampir ke rumahnya, tak jauh dari lingkungan 7 Mbaru Niang. Elin, gadis putri
ketiganya sudah menyambut kami dengan segelas kopi.
Saya masuk ke rumah keluarga saya seperti pulang ke rumah sendiri. Rumah
ini tampak baru. Kayu-kayunya masih cerah. Belum semua interior rumah ada.
Ruang tamu hanya beralaskan tikar. Tapi, yang penting bisa nyaman untuk dihuni,
bisa ampuh melindungi dari panas di kala siang, dingin di saat malam dan hujan
di waktu tak terduga.
“Butuh dua tahun untuk membangun rumah kecil ini. Apa-apa harus didapatkan
dari luar, sehingga harus sabar.” cerita mama Udi.
Saya bisa bayangkan, membangun rumah meski sederhana pun di Wae Rebo butuh
usaha yang berkali lipat. Material harus didatangkan semua dari luar, diangkut
manual jalan kaki. Belum lagi biayanya pasti sungguh mahak. Bahkan, meski
dikelilingi hutan yang menyuguhkan kayu untuk bangunan, tak bisa untuk
sembarang menebangnya. Hutan yang melingkupi Wae Rebo merupakan Hutan Lindung
Todo Repok. Harus izin pemerintah dan biasanya kayu tersebut diperuntukkan secara
komunal.
Mama Udi, mama saya di Wae Rebo. |
Saya, mama Udi, dan Ellen. |
Kopi mama untuk saya. Terima kasih. |
Rumah Mama Udi dan Vitalis di Wae Rebo. |
Mama Udi suka sekali menyantap sirih. Ia menawarkan ke saya tapi saya
lebih memilih untuk menambah segelas kopi. Kopi ini dari jenis arabica yang
langsung dipetik dari kebun, ditumbuk dan digoreng sendiri. Tetiba dia masuk ke
kamar. Begitu keluar dia membawa dua syal tenun khas Wae Rebo hasil tenunannya.
Saya terharu saking senangnya, tenun ini spesial dipersembahkan Mama Udi kepada
saya. Cantik, bertuliskan Wae Rebo dan Rumah Niang. Satu kilogram biji kopi
robusta pun turut menyertai. Saya bertambah gembira. Sungguh baik mama
kecintaan saya ini.
Satu jam obrolan ternyata tak terasa perlu diakhiri. Tentu, rasanya
sungguh kurang. Saya pun pamitan kepada Mama dan Elin. Saya bilang sekali lagi
dan sekalian minta didoakan, semoga tahun depan saya bisa kembali ke Wae Rebo
dengan membawa keluarga. Saya ingin datang saat Penti, pesta tahun baru orang
Manggarai yang dirayakan meriah di Wae Rebo. Mama Udi pun menawarkan agar
menginap di rumahnya.
“Anggap saja rumah sendiri” Baiklah Mama, sampai jumpa satu setengah tahun
lagi Mama Udi!
***
Serambi rumput di tengah Wae Rebo semarak dengan kecerian anak-anak. Satya
@Satyawinnie, Yudha @CatatanBackpacker dan mas Farchan @efenerr sedang
membagikan buku-buku bacaan kepada bocah-bocah Wae Rebo. Saya turut bergabung
ketika prosesi baru saja usai. Sungguh ini bukanlah upaya yang besar dari kami,
hanya ikhtiar sederhana untuk turut memberikan warna pengetahuan kepada
bocah-bocah Wae Rebo yang belum sekolah. Awalnya pun adalah gagasan insidental
yang langsung dieksekusi di tengah perjalanan.
Bocah-bocah Wae Rebo memang jadi salah satu daya tarik yang berkesan
setiap kali ke Wae Rebo. Saya pun panggul salah satu di antara mereka,
berkeliling rerumputan yang dikejar oleh kawan-kawannya. Sungguh seru bergabung
dengan keceriaan mereka. Bocah yang tinggal di Wae Rebo adalah yang belum
sekolah. Bocah usia sekolah akan keluar dari Wae Rebo dan sekolah di kampung
terdekat seperti Denge, Dintor dan Kombo.
Aksi bocah Wae Rebo. |
Saya menggendong berkeliling Wae Rebo. |
Terima kasih kakak bukunya. |
Nenek dan cucunya. |
Rafael Liwang dengan cucunya. |
Senangnya dapat buku baru. Ada gambarnya juga. |
Kakek Rafael bergabung dengan kami bersama seorang cucu perempuannya.
Kakek berlima belas cucu ini merupakan tetua adat Wae Rebo. Saat kedatangan
kedua, Kakek Rafael lah yang memimpin Wae Lu’u. Usianya sudah 8 dekade tapi
murah senyum dan selera humornya begitu tinggi. Kegembiraan di Wae Rebo, saya
simak menyeluruh pada seluruh lapisan usia. Alam sungguh murah hati memberikan
kebahagiaan paripurna kepada orang Wae Rebo. Menjaga tradisi pun tak perlu
khawatir akan ditelan oleh modernisasi. Cukup berkawan akrab dengan saring
penuh bijak.
Hari makin siang, saatnya berpamitan dari Wae Rebo. Kami harus sadar bahwa
masih harus melanjutkan perjalanan. Jika tak ditenggat target, tentu saya ingin
semalam, dua malam atau tiga malam lagi
menyelami kehidupan Wae Rebo. Kampung yang sudah dikerubung awan ini selalu
mendekap sayang pengunjungnya untuk betah berlama-lama. Pasti, kunjungan ke Wae
Rebo selalu kurang dan ingin kembali lagi.
Rofinus Nompor, Tetua Wae Rebo yang bijaksana. |
Hangatnya pagi, rekatnya kekeluargaan. |
Upacara Suromolas menyambut pemukim Wae Rebo. |
Menabung gendang dalam upacara Suromolas. |
Manisnya gadis Wae Rebo. Katerina dan sepupunya. |
Ada yang pergi, ada yang datang. Kami meninggalkan Wae Rebo saat ada
upacara Suromolas. Upacara keluarga ini adalah untuk menyambut orang yang akan
tinggal di Wae Rebo. Gendang dan gong ditabuh dengan iringan anggota keluarga
memeriahkan Wae Rebo. Suromolas kami tinggalkan, lalu di tengah jalan berjumpa
juga dengan turis asing dan domestik yang ingin bertakzim ke Wae Rebo. Ada yang
datang, ada yang pergi.
Mohe Wae Rebo!
***
Vitalis sudah menunggu di ruang tamu rumah di Kombo. Saya mampir dan ingin
pamit. Saya janji dulu ingin memberikannya biji kopi yang dipanggang dengan
alat roast modern. Ihwalnya, agar dia pun bisa merasakan kopi yang dirasakan
orang-orang di kota, yang menjadi gaya hidup, yang melampaui hakikatnya sebagai
minuman pengisi hari bagi Vitalis.
Saya berikan dia tak sampai 100 gram kopi arabica dari Bajawa. Saya ingin
menyemangatinya agar terus makin baik dalam merawat kopi. Harapannya, bisa
berdampak pada kesejahteraannya. Bukankah kopi terbaik berasal sejak dari
petani?
Saya bersama Vitalis dan keluarganya. |
Vitalis Haman, keluarga saya di Wae Rebo. |
Terios 7 Wonders melaju menuju
Labuan Bajo dengan hati yang lega. Misi tujuh ‘wonders’ sudah purna dikunjungi
dengan sukses dan lancar. Namun, sisa perjalanan sejauh 150 km tetap harus
tangguh dilibas Terios. Perjalanan terakhir ini tak boleh lengah, karena
kesempurnaan perjalanan juga tetap berada pada daya tahan Terios. Medan yang
buruk sepanjang jalan kabupaten dari Denge hingga Lembor sukses dilahap Terios.
Setelah itu, kelok tikungan tajam beserta tanjakan turunan curam hingga
berujung di Labuan Bajo bisa dilalui Terios dengan prima.
Terios 7 Wonders tiba di Labuan Bajo saat malam sudah pekat menyambut.
Namun, perhelatan Tour de Flores membuat ibukota Manggarai Barat ini lebih
semarak, tak sesepi hari biasa yang lazimnya sudah ditinggal pengunjung yang
lelah mengeksplorasi Taman Nasional Komodo. Di siang harinya tadi, ajang balap
sepeda Tour de Flores menyelesaikan ‘Finish’. Di Labuan Bajo pun Terios 7
Wonders malam ini menyelesaikan ekspedisi Tour de Flores. Finish….!
Terima kasih Daihatsu Terios. Terima kasih Flores!
Video perjalanan FLORES bersama Daihatsu Indonesia
Melintas pulang ke Labuan Bajo. Foto: Rynol Sarmond @rynolsar |
Terios 7 Wonders finish di Labuan Bajo. Foto keesokan paginya. Foto: Haga @hagainuansa_sembiring |
Kopi untuk Wae Rebo yang lebih berarti. |
Anak Wae Rebo. |
Menikmati Wae Rebo dari Taman Bacaan. |
Taman Bacaan Wae Rebo terletak di ketinggian. |
Air terjun di sekeliling Wae Rebo. |
Selow. |
Menenun adalah bagian dari keseharian perempuan Wae Rebo. |
Kopi menghidupi Wae Rebo. |
Bocah Wae Rebo. |
Orang Wae Rebo. |
Kasih, selalu jadi duta Wae Rebo. |
Kasih sayang antar generasi. |
Perjalanan "Overland Flores" ini disponsori Daihatsu Indonesia www.daihatsu.co.id dalam ekspedisi TERIOS 7 WONDERS - TOUR DE FLORES. Cerita perjalanannya disajikan dalam 8 seri tulisan, yakni:
1. Kendara Tangguh Tour de Flores bersama Terios 7 Wonders
2. Ziarah Kota Maria Larantuka
3. Menyapa Desa Sikka yang Bersejarah
4. Kopi John dan Avontur Kelimutu
5. Mahakarya Tenun Ikat Lio Desa Manulondo
6. Kampung Bena dan Bocah Penggemar Bola
7. Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua
8. Pulang Kampung Wae Rebo
Selamat membaca semuanya!
19 komentar
Wae Rebo, Vitalis masyarakat hutan gunung dan Pantai juga PeMDa yang belum faham cara melayani rakyatnya tulisan sangat menarik Kakak.
BalasHapusJempol pool
Terima kasih Bunda. Semoga suatu saat Bunda bisa main ke Wae Rebo dan berjumpa dengan Pak Vitalis..
HapusCobain kopinya Bun.
Suka dengan interaksinya bersama anak-anak,,,, jadi kepengen kesana mas :)
BalasHapusmas Dzul.. anak-anak Wae Rebo menurutku memang jadi pesona Wae Rebo yang berkesan.. Semoga ada kesempatan ke Wae Rebo. Ikut doakan.. :D
HapusCakep foto2mu mas. Kameramu emang idola. Apalagi orangnya. Eh
BalasHapusJadi pengen ketemu pak vitalis. haha
Wae Rebo bisa buat latihan motret. Tetap sebaik apapun foto, man behind the gun adalah kunci.. camkan itu kisanak.. :D
HapusFoto-fotomu loh mas, capek banget ahahhahahha. Jelas selain kopi, aku etrtarik menikmati pisang yang berjejeaaran tadi hahahahaha.
BalasHapusiyha ni mas Sitam.. Capek uploadnya.. haha..
HapusPisang ditanam di ketinggian di atas 1500 meter.. :D
Ayoo ke Wae Rebo.. :D
Aaaahhh salah satu wish list nih kalau ada kesempatan overland Flores ;-)
BalasHapusharus dong mas Timo.. Semoga kesampaian ke Wae Rebo dan overland Flores.. Nanti ditemeni Pak Vitalis yaa.. :D
HapusMas Iqbal.. Saya mengagumi tulisanmu yang penuh kosakata indah dengan foto-foto yang menarik :) Semoga next time saya bisa gantian menginjakkan kaki ke Wae Rebo yang indah ya ˆ_ˆ
BalasHapusmbak Dee.. terima kasih sekali atas kunjungannya.. semoga sangat menikmati..
HapusSaya turut doakan mbak Dee segera main ke Wae Rebo.. Nanti dikawani Pak Vitalis ya.. :D
Foto-fotomu selalu juara Mas.... Wuwuwwuwuw~
BalasHapusTapi ya itu lho dikoreksi lhoooo "Saya bangun lagi. Semua lelap, gelap nan senyap. Hanya saya, mas Farchan @efenerr, mas Rynol dan Yudha @catatanbackpacker yang mau bangun lebih dini dari pagi". Kan yang nggak bangun si Yudhaaaa~ Hahahahaha :p
pemandangan dimalam harinya begitu indah, bintang bertaburan..
BalasHapusHadeeeh ternyata ke Wae Rebo kudu Jalan Kaki 2.5 Jam. Ada rencana ke Kupang sih, tapi pas lihat di peta hrs ke Labuan Bajo dolu br bisa ke Komodo dan Wae Rebo (hard work) Fotonya Ciamik :)
BalasHapusmantap bang ikutan terios seven wonder, mau dong saya bang iqbal
BalasHapusSalam :)
dsukmana.wordpress.com
Sangat membantu sekali, coba liat jug nih Daftar Tarif Tol dan Jalur Mudik
BalasHapusTempatnya keren banget ya. thanks infonya
BalasHapuswaah terima kasih Riadi.
Hapussemoga menginspirasi perjalanan ke Wae Rebo..