Terios 7 Wonders #4: Mahakarya Tenun Ikat Lio Desa Manulondo
Juni 09, 2016
Tenun ikat Lio. Mahakarya penuh cinta.
|
Kalau Jawa punya batik tulis yang dibuat dengan kesungguhan hati, Flores memiliki tenun ikat yang dikriya penuh kedalaman cinta. Di setiap daerah di Flores, bersemayam tradisi tenun ikat terbaik yang dirawat secara lestari antar generasi. Meski geliatnya makin langka tapi ada juga yang tak gentar menjaganya.
Di Desa Manulondo, tenun ikat khas Lio – salah satu suku besar Flores – dihasilkan
dari tangan-tangan perempuan yang cermat. Ada makna luhur pada tiap motif dan
prosesnya. Beruntung, saya bisa menyaksikan prosesi mahakarya Flores ini sambil
berinteraksi akrab dengan mama-mama penciptanya.
***
Tlatah Flores yang melimpah keindahan menjadi inspirasi masyarakat untuk pandai
mendayagunakan cipta, rasa, karsa dalam rupa mahakarya. Tenun ikat di
masyarakat Lio melekat sebagai ekspresi kultural yang menjadi khasanah
kehidupan. Saya sangat senang tatkala ekspedisi Terios 7 Wonders menjadikan
tenun ikat sebagai “wonders” keempat. Memang, berbicara kecantikan Flores yang
paripurna tak bisa dilepaskan dari tradisi tenun ikatnya yang cantik.
Beranda sebuah rumah di Desa Manulondo meriah dengan sekelompok perempuan.
Kehadiran tim Terios 7 Wonders disambut dengan sapaan dan senyum ramah.
“Selamat datang di kelompok Kapokale.” Kelompok ini adalah salah satu kelompok
penenun yang aktif di Kecamatan Ndona, Ende. Cuaca yang mendung tak menghalangi
semarak suguhan prosesi pembuatan yang rumit beserta pameran keindahan kain
tenun ikat yang beraneka ragam.
Segelas kopi keramahan. |
Cucur khas Ende (kiri) dan panganan lain. Suguhan keakraban. |
Bocah-bocah Suku Lio di pinggir jalan. |
Ngopi dulu Ma! Biar menenunnya fokus. |
Sukanya di Manulondo adalah adanya sajian kopi yang mengantarkan
perbincangan semakin rekat. Kopi dikawani oleh Filu, cucur khas Ende dan
panganan lainnya. Saya selalu suka cerita dibalik kopi mereka. Desa mereka
bukanlah penghasil kopi, tapi mereka selalu berupaya membuat kopi yang segar. Mereka
biasanya beli biji kopi di pasar Wolowona dekat kota Ende, lalu digoreng
sendiri dan ditumbuk ketika akan diminum.
Meski sederhana, proses membuat kopi mereka sudah sepemahaman dengan cara menghadirkan
kopi yang ‘fresh’, yang tanggal roasting belum lama. Saya tak tahu ini apakah
dampak dari tren minum kopi yang ramai masyarakat kota. Tapi, rasanya mereka
minum kopi dengan cara ini sudah melintas antar generasi. Lidah mereka sudah
bisa membedakan mana kopi yang segar, mana yang lama.
“Minum kopi membuat saya lebih teliti menenun kain. Tak gampang mengantuk”
ungkap mama Rasiana Wani. Uniknya, ia biasa minum kopi sebelum menyirih pinang.
Betul, minum kopi juga membuat saya
lebih bisa menyimak proses pembuatan
tenun ikat lebih bergairah. Saya simak mama Rasiana meneguk kopinya yang kedua.
Sayangnya, kopi ini sangat manis membuat saya pikir-pikir untuk menyeruput kopi
yang kedua.
***
Hasil penelitian Romo Bosco Terwinju dari Keuskupan Agung Ende menyatakan
bahwa ada dua kategori besar tenun, yakni jenis ikat tradisional dan sulam
songket.[1] Jenis ikat
dijumpai di sisi pulau Flores bagian timur, yakni dari Ende hingga Flores Timur
lalu lanjut sampai Lembata. Jenis tenun sulam songket ditemui di Flores bagian
Barat yakni Nagekeo sampai Manggarai Barat. Suku Lio menjadi bagian dari
masyarakat yang melestari tradisi tenun ikat tradisional.
Mama Catherine yang sabar bercerita proses. |
Kelompok Kapokale. |
Menenun menjadi keseharian warga Ndona. |
Motif yang disusun pada gebang. |
Mama Catherine Dadi mengajak kami untuk lebih lanjut menyimak prosesi
tenun ikat Lio. Di Kapokale, pengrajin tenun membuat sarung dan kain penutup
ikat. Bagi masyarakat Lio, sarung untuk perempuan disebut ‘Lawo” dan untuk
laki-laki dinamakan “Luka”. Penutup ikat alias “Lesu” dibuat untuk ikat kepala
yang dipakai oleh ‘mosalaki’ atau tetua adat ketika hari biasa ataupun saat
melakukan ritual adat.
Proses pembuatan tenun ikat memerlukan tahap demi tahap. Apa yang
disuguhkan oleh Kapokale adalah gambaran ringkas yang menjadi atraksi untuk
membuka cakrawala hadirin tentang tenun ikat. Jika diikuti secara utuh,
sesungguhnya butuh waktu satu tahun untuk selembar sarung tenun ikat yang
rumit.
Pertama, seorang mama akan melakukan ‘Woo’, yakni membuat kapas halus
dengan alat serupa busur. Selanjutnya, mama lain akan memintal benang
menggunakan alat yang dinamakan ‘Ladu’. Prosesi
berpindah ke tahap ‘Ola woi’ yakni menggulung benang. Mama di sampingnya akan
melanjutkan dengan proses ‘Dao Goa’, yakni merentangkan benang lungsi.
Prosesi "Woo" untuk menghaluskan kapas. |
"Ladu" |
"Dao Goa" merentangkan benang. |
Mengikat motif pada "Mekaperu" |
Mulailah kemudian mengikatkan benang pada gebang (sejenis lontar) yang
dibentuk dalam motif-motif. Inilah yang menjadi ciri khas tenun ikat. Proses
ini disebut sebagai ‘Mekapette’. Penampang gebang untuk alat ikat dinamakan ‘Mekaperu’.
Untuk membuat motif perlu waktu yang lama.
Selanjutnya, pencelupan benang ke warna dasar yang disebut ‘Podo Nggili’
yang membutuhkan waktu 3 hari direndam. Warna dasar adalah biru yang
berbahankan daun tarum yang dicampur kapur sirih.
Tiga mama sedang sibuk menyiapkan warna-warna untuk tenun ikat. Prosesi
ini dilakukan di dalam tembikar. Satu mama membuat warna biru dari daun tarum
untuk warna dasar tadi. Di sampingnya sedang menyiapkan untuk warna
perminyakan. Celup pertama tadi lalu diminyaki dengan campuran minyak kemiri
dengan abu dapur, daun pacar, daun akar kuning, siri pinang, lombok dan garam. Proses
ini dinamakan ‘Pusi Mina’. Pencelupan dan perendaman aslinya butuh waktu satu
minggu, lalu benang dijemur hingga kering.
Satu mama lagi menyiapkan olahan akar mengkudu untuk menciptakan warna
merah. Pewarnaan merah menjadi tahapan yang mendominasi warna tenun ikat Lio. Proses
ini dinamai ‘Kekku Toro.’ Setelah warna siap, seorang mama akan melanjutkan
proses ‘Daopewa’, yakni menyusun benang yang siap ditenun. Terakhir dari
atraksi tenun ikat ini adalah proses penenunan yang disebut ‘Seda’. Alat
tenunnya disebut sebagai ‘Eleseda’.
Mewarnai dasar ikatan dengan daun tarum. "Podo Nggili" |
Menciptakan aneka warna sebagai pewarna alami. Lebih awet pada kain. |
Akar mengkudu untuk warna merah sebelum ditumbuk |
Mencampurkan adonan akar mengkudu dengan abu soda untuk menghasilkan warna merah |
Di samping para mama yang menyuguhi rangkaian proses tenun, aneka tenun
ikat paripurna dipajang berjejeran. Sungguh saya sangat terkesima dengan
keindahan setiap sarung tenun itu. Soal harga, saya sudah tak kaget lagi.
Kisaran harga 2-3 juta membuat saya hanya bisa berharap suatu saat bisa membungkusnya. Untuk ukuran sebuah mahakarya
hasil bikinan penuh cinta dari para mama, harga segitu memang mahal, tapi
rasanya masih terlalu murah dibanding waktu untuk membuatnya yang sangat lama.
Namun, para mama di Manulondo menganggap bahwa menenun adalah bagian dari
keseharian hidup yang harus dinikmati penuh gembira. Tak terbebani sebagai
proses ekonomi yang menuntut perhitungan laba produksi. Toh, sehari-hari mereka
biasa bekerja di ladang atau pasar. Mereka mafhum sudah semestinya perempuan
Lio harus bisa menenun. Selain menjaga tradisi antar generasi, menenun adalah
upaya merengkuh kebahagiaan hidup.
Saya hanya bisa mengangguk kepala. Tanda saya luruh pada kebijaksanaan
masyarakat Lio yang bisa lepas dari belenggu nilai uang yang material. Makanya,
jikalau di antara kami tak ada yang membeli tenun ikat Lio pun tak jadi
masalah. Saya rasa Mama-Mama Manulondo pun sudah memaklumi. Tapi saya minta doa
kepada Mama Theresia, ketua kelompok Kapokela.
Daopewa. Menyusun benang untuk ditenun. |
Menggunakan "Elaseda, menenun tenun ikat. |
Cantik ya. Ini harganya 2-3 juta. :D |
Cantik ya, Mama Theresia yang sangat ramah. Ketua Kapokela. |
“Mama, doakan saya bisa dateng lagi dan membungkus satu kain tenun ikat
yang sungguh cantik, seperti mama Theresia yang cantik ini”
“Tentu saja dengan senang hati. Semoga Tuhan memberikan jalan. Mainlah ke
sini kalau jalan ke Flores lagi.”doanya tulus mengiringi kepergian saya dari
Manulondo.
***
Hari ini 20/5, Terios 7 Wonders sudah sampai di Ende. Artinya setengah perjalanan
dari ekspedisi Terios 7 Wonders sudah dijalani. Mobil Daihatsu Terios rupanya
masih prima dalam melibas medan Flores yang bergunung-gunung, yang tak memberi
ampun untuk memacu optimal kecepatan di jalan lurus. Namun, inilah seninya
perjalanan di Flores. Terios bisa membuktikan tetap tangguh selama separuh
perjalanan.
Setiap berbicara Ende mau tak mau harus memberi ruang cerita kepada
Soekarno. Di manapun jejaknya, Soekarno selalu meninggalkan tengara yang
bersejarah. Selepas dari Manulondo, sore
masih menyisakan waktu untuk menapak tilas sang Proklamator di Ende. Meski
bukan sebagai ‘wonders’ dari Tour de Flores, rasanya menjelajahi jejak Soekarno
di Ende adalah sebuah keniscayaan.
“Ende, sebuah kampung nelayan
telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku. Keadaannya masih terbelakang.
Aku mendekat kepada rakyat jelata karena aku melihat diriku sendiri dalam
orang-orang yang melarat ini. Di Ende
yang terpencil dan membosankan itu, banyak waktuku terluang untuk berpikir.” kenang Sukarno yang dituliskan Cindy Adams dalam
biografinya “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia.”
Rumah Pengasingan Soekarno di Ende jelang senja. |
Lukisan asli dan Tongkat Soekarno di ruang utama. |
Sumur yang disakralkan. |
Safruddin, penjaga rumah pengasingan Soekarno. Cucu Abubakar Damu pemilik rumah pengasingan. |
Selama empat tahun, 1934-1938 Soekarno diasingkan pemerintah Belanda ke
Ende, Flores. Aktivitas politik Soekarno yang keras melawan Belanda, membuat
pemerintah kolonial tak bisa mendiamkannya dekat dengan massa pendukungnya. Saya datang ke rumah pengasingannya di Jl
Perwira kota Ende. Rumah tua ini menjadi saksi sejarah sebagai kediaman
Soekarno beserta istrinya, Inggit Garnarsih dan mertuanya, Ibu Amsih, selama
diasingkan di Ende.
Safruddin – penjaga dan perawat rumah – menyilakan saya masuk dan
melihat-lihat. Ruang kamar tampak tertata rapi: ruang tamu, ruang baca, ruang
tidur. Lukisan Soekarno tentang gadis Bali yang bersembahyang di pura menjadi
pemanis ruangan. Tersimpan pada rak kaca, koleksi naskah tonil karya Soekarno
yang dipentaskan semasa pembuangan bersama grup bentukannya: Kelimoetoe. Di
teras belakang terdapat sumur yang dipercaya sakral bagi para fans berat
Soekarno.
Saya tak lama menyelami romantika rumah bersejarah yang dihiasi taman
rumput nan asri ini.Terios 7 Wonders berpindah ke Taman Perenungan Soekarno.
Jujur, di tempat ini saya seperti menemukan Soekarno yang berbeda dari
penggambaran pada umumnya. Lazimnya, Soekarno digambarkan ‘singa panggung’ yang
berapi-api, bersemangat mengobarkan pidato kepada pemirsanya. Di sini saya menemukan Soekarno yang tenang dan reflektif.
Soekarno dan Pohon Sukun. |
Pohon sukun bercabang lima. Dianggap inspirasi Pancasila. |
Soekarno yang duduk tenang. Reflektif. |
Kota Ende pada pagi hari. |
Pada haribaan sore yang mulai berangkat petang, Soekarno sedang duduk manis. Kaki kirinya dipangku kaki kanannya. Kedua tangannya
diletakkan di atas pangkuan kakinya, saling berpegangan. Matanya tenang tapi
menatap tajam ke arah Laut Sawu yang miskin gelombang. Bung Karno tampak sebagai sosok yang
‘kalem’, diam dan sedang keras berpikir.
Di sampingnya, sebuah pohon sukun
yang menaungi perenungan Soekarno. Pohon sukun tersebut memiliki cabang pokok lima batang. Kelima tubuh pohon sukun ini menjadi ilham Soekarno
kenapa gagasan dasar negara berjumlah lima, yang kemudian menjadi
Pancasila. Namun demikian, pohon sukun yang sekarang adalah pohon sukun baru. Pohon asli telah tumbang dilapuk usia. Sekali lagi keunikannya,
bahwa pohon sukun generasi baru ini juga memiliki cabang pokok berjumlah lima.
Era Soekarno di Ende belum muncul nama Pancasila. Soekarno menyebut lima gagasannya sebagai “Lima Butir Mutiara”. Namun, kita harus jujur pada
sejarah. Tidak bisa munculnya Pancasila tidak berangkat dari
suasana Ende. Ende lantas terkenal sebagai
kota rahim Pancasila.
***
Terios 7 Wonders semalam menginap di Ende. Kota yang jadi inspirasi dasar
negara Indonesia: Pancasila sudah lirih ditelan malam. Coba bandingkan dengan
Jakarta, kota dimana Pancasila dicetuskan, dikukuhkan bahkan dipuja. Ende hanya
secuil keramaian daripada ibukota sekaligus pusat hegemoni Jawa.
Karena besok harus menempuh rute terpanjang Terios 7 Wonders: Ende –
Ruteng, saya pun tak membiarkan malam melelahkan saya. Selamat malam Ende!
Catatan kaki:
-------------------------------------------------
[1] “Tenun NTT, Bukan Tenun Biasa” pada Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Kompas.
Perjalanan "Overland Flores" ini disponsori Daihatsu Indonesia www.daihatsu.co.id dalam ekspedisi TERIOS 7 WONDERS - TOUR DE FLORES. Cerita perjalanannya disajikan dalam 8 seri tulisan, yakni:
1. Kendara Tangguh Tour de Flores bersama Terios 7 Wonders
2. Ziarah Kota Maria Larantuka
3. Menyapa Desa Sikka yang Bersejarah
4. Kopi John dan Avontur Kelimutu
5. Mahakarya Tenun Ikat Lio Desa Manulondo
6. Kampung Bena dan Bocah Penggemar Bola
7. Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua
8. Pulang Kampung Wae Rebo
Selamat membaca semuanya!
-------------------------------------------------
[1] “Tenun NTT, Bukan Tenun Biasa” pada Ekspedisi Jejak Peradaban NTT. Kompas.
Video perjalanan FLORES bersama Daihatsu Indonesia
Terios 7 Wonders di Rumah Pengasingan Ende. |
Bersama blio yang terkenal dengan band Padi dan kini Musikimia. Mas Fadli.. |
Cermat menenun tenun ikat. |
Warga melintas Desa Manulondo membawa hasil dari ladang. |
Kambing pun banyak dijumpai di Desa Manulondo. Hidup damai bersama manusia. |
Peserta Tour de Flores melintas tebing curam di km 20 dalam rute Maumere - Ende. |
Tanjakan harus dilibas pada km 12 sebelum finish di kota Ende. |
Ekspresi gembura para pekerja proyek jalan saat jalur Tour de Flores disterilkan. Sambil menunggu pembalap melintas. |
Antusiasme melihat pembalap Tour de Flores hingga menjangkau bocah-bocah. |
"Ola Woi" proses menggulung benang. |
Perjalanan "Overland Flores" ini disponsori Daihatsu Indonesia www.daihatsu.co.id dalam ekspedisi TERIOS 7 WONDERS - TOUR DE FLORES. Cerita perjalanannya disajikan dalam 8 seri tulisan, yakni:
1. Kendara Tangguh Tour de Flores bersama Terios 7 Wonders
2. Ziarah Kota Maria Larantuka
3. Menyapa Desa Sikka yang Bersejarah
4. Kopi John dan Avontur Kelimutu
5. Mahakarya Tenun Ikat Lio Desa Manulondo
6. Kampung Bena dan Bocah Penggemar Bola
7. Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua
8. Pulang Kampung Wae Rebo
Selamat membaca semuanya!
12 komentar
wah jadi tertarik melihat secara langsung proses pembuatan tenun ikat lionya mas..
BalasHapussangat sederhana sekali..pengen megang seberapa halus hasil tenunannya hehe...
semoga ada kesempatan bisa main kesana mas..aminn
harus mas.. setelah dari Kelimutu kudu main untuk lihat kerajinan tenun ikat Lio.. Semoga ada kesempatan..
HapusNumpak motor ae mas keliling Flores.. :D
Aku ngak suka kopi tapi tenun ikat nya mau banget
BalasHapuswaaah kayaknya kudu bikin kak cumi suka kopi.. harus dipikir gimana caranya.. Gyahaha..
HapusTenun ikatnya bagusss bangett
BalasHapusbetuul mbak.. Tenun ikat adalah mahakarya bagi orang di FLores. Dibikin penuh cinta..
HapusDuh. jadi pengen motret pembuatan tenun di sini. Aku g dibawain oleh2 tenun ya?
BalasHapusUang saku dari Insan WIsata kurang ee.. Gak bisa bawain tenun.. :P
HapusAmiiin, semoga terealisasi..
Kapokale, kue tradisi pewarna tenun ikat yang alami dengan gambar kece' lengkaap. Keren Kakak
BalasHapusterima kasih Bunda..
HapusWah bunda kayaknya bisa belajar tenun ikat ni. alami dan cantik..
tenun ikat yang sangat bagus, dan alami, dibuat oleh tangan-tangan orang profesional..
BalasHapusterlihat sulit juga ya menenun, apalagi kalau kita belum benar-benar bisa caranya..
BalasHapus