Terios 7 Wonders #6: Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua
Juni 11, 2016Manusia Hobbit setinggi bocah. |
Hobbit hidup di alam fantasi
sebagai manusia kerdil dalam rekaan J.R.R. Tolkien yang tertuang pada novelnya yang legendaris. Namun, di desa sepi di tlatah Manggarai, Hobbit hidup - sungguh hidup nyata - pada era 50.000 tahun lampau
sebagai Homo Floresiensis, sejenis manusia purba. Dan, kini pun, Hobbit
dianggap tetap hidup mewujud pada warga setempat sebagai manusia modern yang
kerdil. Hobbit Flores membuka ruang perdebatan yang belum terjawab hingga
sekarang.
***
Pagi itu, Ruteng dimanja cerah sinar mentari yang berselimut sejuk hawa
segar yang mengalir dari gunung-gunung di sekelilingnya. Ibukota Manggarai
rupanya siap menyambut perjalanan Terios 7 Wonders dengan penuh gembira. Ekspedisi
Terios 7 Wonders ingin berkunjung ke sebuah daerah di selatan Ruteng, berjarak
15 km, sebuah kampung yang sepi, tapi pernah mengguncang ranah penelitian
ilmiah dunia tentang seluk beluk manusia. Tersebutlah Homo Floresiensis yang
kondang sebagai ‘Hobbit’.
Dugaan awal adalah fosil Hominin atau manusia purba yang masih berusia
anak-anak. Wujudnya yang kecil dan pendek menjadi alasannya. Hasil temuan lalu
diteliti lebih lanjut oleh para pakar dalam tim tersebut, yakni tim gabungan dari
Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) dan peneliti Australia.
Hasilnya pun sungguh mengejutkan.
Kerangka yang diberi kode LB1 ini ternyata merupakan fosil dari Hominim dewasa.
Hasil konstruksi menggambarkan manusia purba ini hanya memiliki tinggi 106 cm,
berat 30-40 kg dan volume otak 400 cm. Sungguh pendek dan kecil dibandingkan
jenis Homo Erectus yang dijumpai di Jawa. Ukuran mungilnya ini lalu melahirkan
spesies baru dalam manusia purba, yakni Homo Floresiensis. Dunia populer lebih
mengenalnya sebagai Hobbit.
Liang Bua, situs dimana Homo Floresiensis pernah bersemayam. |
Flores, pulau yang menakjubkan. Tempat Homo Floresiensis tinggal hingga 10.000 tahun silam. |
Inilah Flo, si Homo Floresiensis asal Liang Bua. |
Persawahan di Liang Bua. |
Namun, tak semua sepakat dengan hasil temuan ini. Prof. Dr Teuku Jacob,
guru besar paleoantropologi UGM dan koleganya dari UGM yang juga terlibat dalam
tim tersebut, menyatakan bahwa Homo Floresiensis adalah Homo Sapiens (manusia
modern) yang terkena gangguan pertumbuhan
yang disebut mikrosefali (kepala dan otak kecil). Dinyatakan bahwa
Hobbit Flores ini masih merupakan kelompok Australomelanesoid.
Perdebatan ini terus mengusik penelitian-penelitian lanjutan. Sudah
ratusan peneliti datang ke Liang Bua serta ribuan lainnya meneliti dari
laboratorium yang berasal dari berbagai negara dan latar belakang keilmuan. Hingga
saat ini pun titik terang tentang siapa sebenarnya Homo Floresiensis masih
remang-remang. Ada banyak kesimpulan dari penelitian, tapi belum dapat terjadi
kesepakatan.
Malah baru-baru ini, muncul publikasi dari penelitian satu dasawarsa pasca
temuan Hobbit Liang Bua di Cekungan Soa, tepatnya di daerah Mata Menge, 70 km
dari Liang Bua. Ditemukan fosil enam gigi dan pecahan rahang bawah. Setelah
diukur, ternyata berusia jauh lebih tua, yakni 700.000 tahun. Jika
dikonstruksi, manusia purba ini bertubuh lebih kecil. Sementara, fosil ini
disebut sebagai moyang dari Homo Floresiensis.
Temuan baru ini memberi tantangan lebih besar untuk membongkar bagaimana
sebenarnya Hobbit Flores. Hasil penggalian di Cekungan Soa mengarah pada
jawaban bahwa Homo Floresiensis itu beda dengan Homo Sapiens.
***
Bagaimanapun juga, cerita Hobbit dengan segala dinamikanya inilah yang
menggerakkan saya untuk bersemangat datang
ke Liang Bua di Dusun Rampasasa, Desa Waemulu, Kecamatan Waeriri. Kunjungan ini
adalah kali kedua saya setelah sebelumnya di tahun 2013. Perjalanan ke Liang
Bua pun sama, tak pernah mudah. Jalan masih rusak dengan aspal yang rasanya tak
pernah diperbaiki lagi selama bertahun-tahun. Untungnya Daihatsu Terios sanggup
melahap tantangan jalan yang khas ke sebuah desa yang terpelosok.
Liang Bua yang nyaman ditinggali selama ribuan tahun. |
Situs prasejarah penting Indonesia. |
Pengunjung menikmati Liang Bua. |
Stalagtit yang menggantung di langit Liang Bua. |
Sebuah goa yang berceruk luas dengan langit-langit tinggi penuh stalagtit
menjadi penampakan Liang Bua. Goa ini tidaklah dalam. Namun, untuk hunian
manusia baik purba maupun modern dalam rentang waktu yang lama dirasa sungguh
nyaman. Selain temuan Hobbit, Tim Arkenas menyatakan terdapat temuan yang
berasal dari empat lapisan kebudayaan prasejarah, yakni paleolitik,
mesolitik,neolitik dan paleometalik (masa logam awal).
Adalah Pastor Verhoeven pada tahun 1965 yang pertama kali melakukan
penggalian arkeologis di Liang Bua. Ia menemukan beberapa kerangka manusia
modern beserta bekal kubur. Dalam penggalian selanjutnya, ditemukan pula
kerangka hewan-hewan purba seperti stegodon (gajah purba), komodo, tikus
raksasa dan bermacam jenis burung.
Mengelilingi interior Liang Bua, saya tak lagi menjumpai bekas-bekas
galian penelitian arkeologi. Rupanya, Liang Bua sudah tak intensif dijenguk
peneliti yang berhasrat untuk menambah
data pemecahan misteri Homo Floresiensis. Sekarang, wisatawan umumlah yang
tertarik untuk turut serta melihat ruang bersejarah bagi dunia arkeologi,
berangkat dari rasa keingintahuan. Siang itu, beberapa wisatawan lokal turut
menyemarakkan Liang Bua yang sejuk.
Saya berpindah ke Museum Liang Bua yang terletak sekitar 50 meter dari
Liang Bua. Seorang petugas membukakan pintu, lalu menunjukkan duplikat Homo
Floresiensis yang bersemayam dalam peti kaca transparan. Selain sebutan Hobbit,
temuan manusia purba LB1 yang berjenis kelamin perempuan ini masyhur dengan
panggilan Flo.
“Sejak dari awal ditemukan, fosil aslinya dibawa ke Jakarta, Australia dan
Belanda untuk diteliti lebih lanjut.” ungkap petugas itu.
Bekas tanah hasil penggalian ARKENAS baru-baru ini. |
Langit-langit yang meneduhkan manusia purba dari musibah yang terus menerus melanda Flores. |
Insformasi Stratigrafi Liang Bua di dalam Museum. |
Manusia modern dan Flo, si Hobbit Flores |
Di sekeliling Flo, aneka informasi dalam rupa poster yang tematik menjadi
pengayaan di dalam Museum ini. Mulai dari latar belakang lingkungan Flores,
informasi singkat tentang dunia arkeologi, proses ekskavasi di Liang Bua,
hingga aneka temuan di Liang Bua.
Saya cukup antusias ketika menyimak bahwa Flores memberikan keajaiban
arkeologis yang unik. Dengan luas pulau yang kecil dan secara geologis tak
pernah bersatu dengan daratan Asia ataupun Australia, Flores menciptakan
kehidupan yang serba terbalik. Belum lagi, Flores dilingkupi puluhan gunung
berapi yang terus menerus menimbulkan bencana. Kondisi ini disinyalir membuat
makhluk hidup mendapatkan sumber pangan di Flores begitu terbatas.
Makanya, di Flores lah, kadal meraksasa, tikus meraksasa, gajah mengecil lalu
manusia mengerdil…
***
Sebelum tiba di Liang Bua, setengah kilometer dari gua, Terios 7 Wonders
sempat mampir di Dusun Rampasasa. Kami berjumpa dengan seorang yang sering
dikaitkan sebagai keturunan Hobbit Homo Florensiesis. Namanya Viktor Dau. Usianya
sekitar 80 tahun. Tinggi Viktor hanya 135 sentimeter yang membuatnya jadi pusat
perhatian kami. Saya pun tak melewatkan kesempatan untuk berfoto bersamanya. Viktor
terlihat mungil, tak sampai setinggi dada saya.
Viktor tak bisa berbahasa Indonesia. Sudah ada warga Rampasasa yang biasa
menerjemahkan ucapannya dari bahasa Manggarai, juga sebaliknya. Rupanya tak ada
‘makan siang gratis’ untuk bisa mendapatkan fotonya. Oh ya, saya beberapa kali
melihat foto Viktor menghiasi media-media nasional dan internasional. Di
samping Flo, dia menjadi ikon pada setiap liputan tentang Hobbit. Saya menduga,
dari ‘kebiasaan’ sebagai artis Liang Bua, Viktor mematok tarif untuk bisa
mengulik keunikan dirinya.
Viktor Dau, si manusia Hobbit di sekitar Liang Bua |
Ikon Liang Bua. |
Viktor Dau sudah agak kepayahan untuk berjalan. |
Remaja putri di Rampasasa. Mereka tumbuh normal. |
Di Dusun Rampasasa, selain Viktor, sesungguhnya ada banyak warga yang ‘kerdil’
ala Hobbit. Tinggi mereka rata-rata tak sampai 150 sentimeter. Hanya mereka tak
ingin tampil dan menjadi obyek eksistensi wisatawan yang seakan-akan berjumpa
Hobbit . Sebagian kalangan menganggap mereka adalah pewaris sejati Homo
Floresiensis. Sebagian lain menduga mereka menderita kelainan kesehatan, seperti kretinisme atau gangguan pertumbuhan.
Namun inilah misteriusnya Hobbit Flores. Cerita rakyat yang turun temurun lintas
generasi di sekitar Liang Bua makin menambah misteri tentang Hobbit. Ada sosok
yang dinamakan Ebu Gogo. Wujudnya mirip manusia, pendek, perut besar, telinga
besar, rambut menutupi badan. Dia digambarkan jahat, suka mencuri makanan
mentah dari warga, bahkan bisa menculik bayi untuk dimakan. Fisik Ebu Gogo yang
pendek dikaitkan keberadaan Homo Floresiensis di masa sangat lampau dan
masyarakat bertubuh pendek di masa sekarang.
Mungkin iya, mungkin tidak tentang jawaban Ebu Gogo apakah berkaitan.
Namun, yang pasti, secara sifat, Ebu Gogo jelas jauh dari sifat dasar manusia, kan?
***
Di puncak siang, Terios 7 Wonders meninggalkan Liang Bua. Kami harus bergegas
untuk menuju Wae Rebo, ‘wonders’ pamungkas dari ekspedisi Tour de Flores. Saya pun
meninggalkan Liang Bua dengan seribu penantian tentang kelanjutan kisah siapa
sejatinya Homo Floresiensis.
Video perjalanan FLORES bersama Daihatsu Indonesia
Panorama menawan di perjalanan Ruteng - Liang Bua. |
Mama Penjaga Liang Bua. |
Daihatsu Terios dalam perjalanan ke Liang Bua. |
Liang Bua yang bersejarah. |
Pengunjung Liang Bua yang berasal dari warga Manggarai. |
Penjual tenun di Ruteng, di depan hotel kami menginap. |
Kota Ruteng yang dingin dan asri. |
Saya dan Viktor Dau si manusia Hobbit. |
Perjalanan "Overland Flores" ini disponsori Daihatsu Indonesia www.daihatsu.co.id dalam ekspedisi TERIOS 7 WONDERS - TOUR DE FLORES. Cerita perjalanannya disajikan dalam 8 seri tulisan, yakni:
1. Kendara Tangguh Tour de Flores bersama Terios 7 Wonders
2. Ziarah Kota Maria Larantuka
3. Menyapa Desa Sikka yang Bersejarah
4. Kopi John dan Avontur Kelimutu
5. Mahakarya Tenun Ikat Lio Desa Manulondo
6. Kampung Bena dan Bocah Penggemar Bola
7. Bertandang ke Sarang Hobbit Liang Bua
8. Pulang Kampung Wae Rebo
Selamat membaca semuanya!
9 komentar
Tempatnya ngeri juga ya hehhehehe; agak gimana gitu kalau masuk rasanya :-)
BalasHapuswaah mas Sitam melihat Hobbit yang tak kasat mata.. :D Mantaaap
HapusDengar-dengar manusia hobbit gini ada juga di daerah Tambora. Dengar-dengar aja sih.. tapi katanya pada kabur gitu kalau lihat orang lain..
BalasHapusEntahlah~
terima kasih mbak Andy..
HapusWah informasi menarik. Saya malah baru dengar ada kabar burung gitu. Klo ada kayaknya sgt menarik. :D
Nggak tau lagi mau ngomong apa.
BalasHapusMasteeer emang om iqbal ini \m/
terima kasih Tari Raisa sang idola.. Aku mah belajaran masih ni, newbie..
Hapusternyata gua itu bersejarah juga ya, sarang hobbit yang saya kira hobbit itu tidaklah nyata, terimakasih informasina..
BalasHapusHobbit nyata jika mengacu pada Homo Floresiensis. Klo mengacu pada manusia kerdil di Liang Bua masih jadi perdebatan lho kak.. :D
Hapuskapan-kapan main ke Gua Ebu Gogo..lokasi di Kelurahan Nageoga-kecamatan Boawae-Kabupaten Nagekeo
BalasHapus