Warna-Warni Wajah Wamena
Mei 09, 2015Meriah Wamena di Pasar Jibama. |
Seorang kawan pernah bilang, kalau belum ke Wamena, berarti belum ke Papua. Saya tahu waktu itu dia sedang ingin memanasi saya yang hanya bepergian ke Jayapura dan sekitarnya saja. Jayapura katanya sudah kehilangan aura “Papua” nya. Kotanya besar tak tampak lagi pelosok, banyak terdapat masyarakat pendatang yang notabene dari ras Mongoloid. Malah kalau malam hari cobalah liat dari ketinggian: Jayapura tampak seperti Hongkong-nya Indonesia. Penuh cahaya.
Setahun berlalu, saya akhirnya mendapatkan kesempatan ke Wamena. Saya
datang ke Wamena pun semacam ingin membuktikan, betulkah Wamena sedemikian “Papua”
nya, sehingga kalau datang ke Wamena baru bisa dianggap datang ke Papua. Stigma
Papua yang biasa melekat adalah orangnya hitam pekat, keras, terbelakang, dan
masih primitif. Wamena yang merupakan jantung tanah Papua tentu paling pas unntuk
penggambaran tersebut. Saya sih tidak suka stigma tak adil seperti itu terus dirawat, diperlakukan abadi sebagai mitos.
Kesan pertama menjenguk betapa ‘sakralnya’ Wamena adalah saat pesawat kecil saya begitu dekat dengan jajaran pegunungan raksasa nan tinggi yang berlapis-lapis. Meski tak melihat salju abadi,
saya kira pegunungan ini berketinggian di atas 4000 meter. Lerengnya pun curam
dengan jurang-jurang yang begitu dalam. Hampir tak ditemukan adanya pemukiman. Pantaslah
Wamena begitu ‘terisolasi’ sehingga satu-satunya akses ke jantung Papua ini
adalah melalui pesawat udara.
Namun apa gerangan ketika saya mau mendarat di Wamena? Wamena itu adalah
kota, bung! Memang jangan dibayangkan kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Jalan beraspal, gedung, rumah dan segala tengara khas kota lainnya sudah terbangun
begitu meriah di ibukota Kabupaten Jayawijaya ini. Wamena menempati sebuah lembah dikerumuni pegunungan tinggi
yang disebut sebagai Lembah Baliem. Wamena bisa ramai seperti ini karena menjadi pusat ekonomi dan sosial di kawasan Papua bagian tengah.
Saat itu bandara Wamena terlihat apa adanya. Maklum rusak setelah dibakar
massa. Para warga di bandara yang menyambut pun beraneka rupa. Kebanyakan sudah
berpakaian 'sopan' layaknya kita. Hanya sedikit yang masih terlihat bercita rasa etnik dengan berpakaian
asli suku-suku pedalaman Papua: berkoteka, berbaju etnis, dll. Namun, seorang
tua berkoteka datang menghampiri saya. Saya paham gelagatnya bahwa ‘eksotisme’
dirinya bisa menjadi atraksi untuk berfoto bersamanya. Setelah itu, dia akan paksa
minta uang sebagai kompensasi menikmati “eksotisme” dia.
Rekan saya tertarik berfoto dengan si tua ini. Yang tadinya si beliau
ramah, tetiba wajahnya berubah ‘keras’ ketika minta uang kompensasi. Dia minta
20 ribu untuk sekali jepret. Kawan saya coba tawar minta 10 ribu. Tetap saja si
tua ini minta 20 ribu. Akhirnya, kawan saya memberi sejumlah uang yang si tua
minta. Saya hanya tertawa dalam hati dan berujar, “Kena kau. Selamat datang di
Wamena, Bung”
Pegunungan-pegunungan yang mengisolasi Wamena. Terlihat dari perjalanan Jayapura-Wamena. |
Kota Wamena dari udara sesaat mendarat di Bandara Wamena. |
Wajah cerah bocah-bocah pedalaman Papua. |
Seorang Mama yang sedang memanen sayuran di kebunnya. Sangat ramah saat saya mampir di Honai nya. |
Namun, rasanya hanya kejadian itu yang tak mengenakkan saat di Wamena.
Selanjutnya Wamena tampaknya tak sengeri, tak semenakutkan yang dibayangkan.
Biasa saja seperti di tempat-tempat lain di pelosok Indonesia yang pernah saya
kunjungi. Saya juga banyak berjumpa dengan para pendatang. Malah, masyarakat Kebumen
cukup banyak menghiasi kota Wamena. Supir saya, Pak Tumijan adalah asli
Kebumen.
Tiga hari di Wamena, saya berjumpa dengan wajah-wajah ramah orang Papua Pedalaman,
alih-alih dengan stigma yang selama ini melekat. Dibandingkan orang Papua di
pesisir, tingkat kehitaman kulit lebih gelap di pedalaman namun tatkala senyum,
binar matanya sangat cerah. Banyak anak-anak Papua dengan ingusnya yang masih
menempel di hidung – selalu keluar, tantangan di bidang kesehatan – juga turut
mewarnai perjumpaan saya dengan senyumnya yang merekah.
Kalau ke Wamena, wajiblah ke Pasar Jibama. Saya menikmati kemeriahan Pasar
Jibama di sore hari. Kawan saya pernah menakuti, “Jangan motret orang Wamena
saat di Pasar. Bisa ditodong pisau kamu. Kamu harus didampingi tentara biar
aman” Saya pikir itu adalah anggapan yang salah jika kita tidak izin dulu untuk
memotret yang bersangkutan.
Saat saya ingin mengabadikan aktivitas ibu-ibu penjual yang menggelar
lapak di seantero pasar, mereka sangat terbuka. Bahkan, tak masalah ketika saya
tidak membeli barang jualannya. Saya malah diceritakan dan diajak untuk
mencicipi buah merah yang sangat khas pedalaman Papua. Melihat aktivitas warga membuat dan menjual noken
juga sangat menyenangkan karena dengan cerianya, para ibu-ibu ini membuat noken
sambil berkisah banyak tentang kehidupannya di Wamena. Cara mudah bergaul ini
didapat karena saya dikawani bocah setempat yang saya traktir terlebih dulu
cilok khas Bandung – ada lhoo penjual
cilok di Wamena. :D
***
Jujur, Wamena membuat saya betah, kecuali untuk urusan harga-harga makanannya
yang mahal selangit. Maklum, banyak kebutuhan semisal beras, ayam, tempe, dll
harus didatangkan lewat langit. Maksudnya, barang-barang ini ‘diimpor’ dari
luar Wamena yang hanya bisa dikirim lewat pesawat udara. Tak ada jalan darat yang menghubungkan Wamena dari dunia ‘luar’. Udara
sejuk, sepi jauh dari hingar berita ibukota yang memuakkan, pemandangan alamnya
yang luar biasa membuat saya betah tinggal lebih lama di Wamena.
Namun, ya itu. Saya datang mendekati Hari Lahir OPM alias Organisasi Papua
Merdeka: 1 Desember. Sesuatu yang dikhawatirkan banyak orang. Terlebih Wamena
dan sekitarnya dikenal sebagai sarangnya OPM. Beberapa kawan saya pun sangat
khawatir sehingga memutuskan untuk keluar dari Wamena. Padahal, masih ada waktu
dua hari yang bisa dinikmati untuk menyusuri pesona Wamena. Tampaknya, Wamena
pun sampai saat ini masih terlampau “gelap” bagi kebanyakan orang Indonesia
sehingga sering dicurigai sebagai tempat yang “asing”, “berbahaya”
Di situ kadang saya merasa sedih...
Pak Maximus, petani kopi yang darinya kopi-kopi Wamena masyhur di seantero dunia. |
Buah Holim, sejenis labu untuk bahan pembuatan koteka. Yuk cocokkan ukuranmu.. :D |
Di pinggiran kota Wamena. Jarang ada angkutan umum. Masih banyak dijumpai warga berjalan kaki. |
Semacam tren kekinian di Wamena. Meteran listrik dipasang di pohon. Ada stop kontak juga. :D |
Suasana sore di kandang Persiwa Wamena. Stadion Pendidikan. Bisa dibayangkan dinginnya malam hari bermain di sini. 1800 m di atas permukaan laut. |
Baliem Pilamo Hotel. Hotel terbaik di Wamena. Tapi tak perlu AC karena sudah sejuk. |
Kondisi Bandara Wamena yang sementara. Proses pembangunan kembali. |
Inilah bakat-bakat luar biasa dari Wamena. Amunisi Persiwa Wamena. Bermain tengah siangpun tak masalah. :D |
Panorama Lembah Baliem di pinggiran kota Wamena. Terlihat dari udara. |
Lanskap di pinggiran kota Wamena. Memesona. |
Pasir putih di Wamena. Ajaib karena jauh dari pantai. |
Beginilah ekspresi yang lazim saat berkunjung ke Kampung Kurulu. Berfoto dengan mumi Wim Motok Mabel dan masyarakat setempat adalah sebuah keharusan untuk yang wisata ke Wamena. Tidak gratis lho... |
Bocah-bocah di Distrik Asologaima, pinggiran kota Wamena. Begitu ramah. |
Bang Janolani sedang menjemur kopi. Kenal sebentar langsung akrab. Sampai kini masih jaga komunikasi. |
Abang di belakang saya pasti berpikir. "Ini kok bocah kayak gak pernah naik pesawat ke Wamena. Di dalam pesawat gini selfie gak jelas. Coba saya diajak." |
11 komentar
Cerita yang menarik dan membuka imajinasi saya akan Wamena. Semoga suatu saat bisa membaur dengan kearifan lokal warga di sana. :)
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan dan apresiasinya kak Abang Nhee.. Semoga suatu saat bisa ke Wamena yah,..,
HapusCerita yang menarik dan membuka imajinasi saya akan Wamena. Semoga suatu saat bisa membaur dengan kearifan lokal warga di sana. :)
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan dan apresiasinya kak Abang Nhee.. Semoga suatu saat bisa ke Wamena yah,..,
HapusFotomu kereennnn kerennnn. Wamena ini wish list banget. Sudah pernah ke Jayapura berbulan-bulan tapi belum sempat ke Wamena itu rasanya kok gimana hahaha.
BalasHapusTernyata orang Jawa banyak yang merantau di Wamena ya, sampai-sampai ketemu dengan driver asal kotamu sendiri :-)
Kak Jejak Bocah Ilang.. yeaaay terima kasih sudah mampir ke Blog saya.. Wamena memang Menawan.. Yaah, sayang sekali ke Jayapura lama g masuk ke Wamena.. :D
HapusSaya pas kesempatan pertama juga pingin banget ke Wamena. Eh, pas kedua akhirnya ke Wamena juga mas.. :D
Memang orang Kebumen dulu salah satu org Jawa yg dikirim ke Wamena..
Hanomotok!
BalasHapusNayak :)
Nayak bang.. :D
Hapuswah wah wah...
terima kasih ya atas kunjungannya..
Ahahaha.....nice story. Lain kali klo ke Papua bawa Kaos yang banyak siapa tahu bisa barter dgn barang bagus disana dengan Kaos (di Jakarta Kaos kan murah) :D
BalasHapuskeren banget pasir putih di wamena padahal jauh dari pantai tapi ada pasir putihnya, keren..
BalasHapusInfonya mantap, jangan lupa kalo butuh rental / Sewa mobil khususnya di wamena, silahkan kunjungi Sewa Mobil Wamena
BalasHapus