Petualangan Kematian Tana Toraja
April 19, 2015Pesona mistis di Tana Toraja. |
Percaya atau tidak! Hanya di Tana Toraja, aroma kematian bisa harum menggembirakan jiwa. Karena, di setiap lekuk-lekuk bumi Toraja, bau
kematian menguar bukan hadir dalam bentuk
yang menakutkan. Ia mewujud manis pada
tradisi-tradisi kematian Toraja yang begitu ‘indigenous’ - yang khas, yang spesial hanya ada di Tana Toraja.
Sebut saja, upacara kematian Rambu Solo yang sarat nuansa mistis tapi
eksotis. Ada juga beraneka ragam kubur yang mengukir manis tebing, batu raksasa, goa, dan pohon di setiap tempat di Toraja. Tak kalah khasnya, Tongkonan,
rumah adatnya yang penuh dengan makna kematian tapi cantik fotogenik menghiasi tiap penjuru Toraja.
***
Malam baru saja menjelma
pagi. Langit masih berselimut mendung. Sesekali
kabut coba
melintas menghijab puncak-puncak bukit.
Hawa dingin senantiasa setia bersarang. Tana
Toraja terletak tepat di jantung Sulawesi. Dikelilingi oleh pegunungan tinggi yang
bersesak-sesakan memeluk Toraja.
Saya mencapai Toraja
dari kota Makassar, pintu gerbang Sulawesi, sejauh 350 km dan 8 jam dengan perjalanan darat yang berkelok-kelok. Kata Toraja
sendiri berasal dari orang Bugis yang menamakan penduduknya sebagai "Riaja" yakni orang yang
mendiami daerah pegunungan.
Saya memulai petualangan wisata kematian Toraja
dengan memburu Rambu Solo. Rambu Solo adalah upacara penguburan orang Toraja
yang sangat khas dan mencerminkan budaya Toraja.
“Kematian bukan untuk
berduka, tetapi harus dirayakan dengan pesta senang-senang.” terang Basho,
pemandu saya. “Orang
Toraja akan merayakan pesta kematian lebih meriah daripada pesta kelahiran,
bahkan pesta pernikahan.”
Pada Rambu Solo, dilakukan penyembelihan kerbau dan babi yang
jumlahnya mencapai puluhan ekor. Upacara Rambu Solo pun menjadi semacam pesta
rakyat
bagi masyarakat Toraja. Ah, sayangnya
saya hanya
menjumpai upacara yang telah berakhir. Sehari yang lalu upacara dilangsungkan. Hanya tersisa bangunan
bekas upacara, ceceran darah hewan kurban dan kepala kerbau. Jujur, saya cukup
kecewa karena gagal menjumpai upacara yang mampu menarik wisatawan dari seluruh
dunia untuk datang ke Toraja.
Suaya King's Grave. Ada pekuburan muslim di bawah tebing. |
Bekas ritual Rambu Solo yang terlewatkan. |
Baiklah, mari tinggalkan kekecewaan! Suaya King’s Grave kini menjadi destinasi
selanjutnya. Sebuah tebing granit berlubang-lubang berisikan patung-patung
boneka yang berjejeran. Patung boneka
ini dikenal sebagai “Tau-tau” yang menjadi
simbol dari orang yang dikuburkan di
tebing batu itu. Adapun para jenazah diletakkan di belakang Tau-tau
tersebut. Saya menjumpai para Tau-tau ini merentangkan tangannya, seakan Tau-tau hendak menyambut saya di kawasan yang
menjadi kompleks pekuburan raja-raja
Sangalla’ dan keluarganya.
Uniknya, di sini terdapat sebuah kuburan yang terletak di tanah, tidak di batu. Ini adalah kuburan
muslim. Tertulis di nisan putih: Haji
Puang Lai Rinding. Padahal, tanah adalah elemen suci bagi masyarakat Toraja. Makam di atas tanah ini menjadi wujud sebuah komunikasi yang mengedepankan toleransi di Tana Toraja. Masyarakat Toraja bisa menghormati agama yang dianut oleh Haji Puang Lai
Rinding, sang bangsawan itu, meskipun berbeda dari tradisi leluhurnya, yakni: Aluk Tadolo. Salut untuk toleransi masyarakat Toraja!
Tidak jauh dari Suaya, saya menuju ke Kambira. Sebuah pohon Tarra tua tegak menjulang. Berfungsi
sebagai tempat kubur bayi bagi
masyarakat Toraja. Namanya
‘passiliran‘. Bayi yang belum tumbuh giginya dikuburkan pada passiliran. Orang Toraja menganggap bayi seperti ini masih suci. Pohon Tarra‘ dipilih karena pohon ini
memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Kambira
Baby Grave terletak di tengah rerimbunan hutan bambu yang membuat matahari tak
bisa menembus untuk menghangatkan suasana. Ini menambah aura mistis.
Toraja tidaklah sekedar manis
untuk
dinikmati dalam kacamata budaya kematiannya. Bumi Toraja juga menawarkan alam yang memesona.
Selepas dari Kambira, saya melewati alam pedesaan Toraja yang masih asri dan
alami. Jejalanan masih kasar belum beraspal. Menembus hutan dan persawahan.
Di perjalanan ini, imajinasi seperti
leluasa keluar dari ruang mimpi. Bebas dan dalam tanpa mengenal pembatasan.
Hamparan padi yang menguning sangat memanjakan mata. Di kejauhan, perbukitan
granit memanjang, seperti menjadi pembatas setia cakrawala. Kadang saya
berjumpa dengan kerbau yang nikmat menyantap rerumputan di tengah ladang. Atau
berjumpa juga dengan senyum tulus nan ramah dari warga pedesaan Toraja. Tak terlupa,
beberapa kali saya berjumpa dengan anak-anak Toraja di jalanan sepulang sekolah
yang turut mewarnai manis Toraja.
Sungguh sebuah momen yang mendamaikan hati.
Persawahan manis dan bukit karstnya yang eksotis di Toraja. |
Tersenyum bersama nenek yang suka berfoto di Kampung Karuya yang cukup terpelosok. |
Kemudian saya singgah di Karuya,
sebuah desa di pelosok pedalaman Tana Toraja.
Deretan Tongkonan beserta Alang Suro berdiri kokoh di atas hamparan rerumputan
hijau. Tongkonan adalah rumah adat Toraja yang berbentuk panggung dan sangat khas.
Alang suro merupakan lumbung padi masyarakat Toraja dan biasanya diletakkan di
hadapan Tongkonan. Saya begitu asyik
memandangi bentuk atap tongkonan yang seperti kapal dengan tanaman liar yang merambat di atasnya.
Tiba-tiba seorang nenek tua yang berpakaian khas Toraja
dengan passapu (penutup kepala) datang
menghampiri saya dan langsung meminta berjabat tangan.
“Selamat
datang”. Ternyata dia ingin
mengatakan kata sambutan kepada saya. “Dari mana?”, lanjut dia sambil menawarkan senyum merekah yang coba menyamarkan usianya.
“Dari Jawa, nek” jawab saya.
Kami lalu saling berkomunikasi dengan bantuan pemandu saya.
Ternyata, hal ini lalu menarik perhatian para cucunya untuk bergabung bersama
kami. Saya lantas
diajak untuk masuk ke dalam salah satu tongkonan yang ada di sana. Percakapan
dengan sekelompok masyarakat Karuya memantapkan pandangan saya bahwa orang
Toraja adalah masyarakat yang sangat ramah terhadap siapapun.
Terance W. Bigalke dalam bukunya a
History of Tana Toraja (1981) menyatakan bahwa Tana Toraja adalah museum
hidup dari tradisi nenek mooyanng yang berlangsung selama berabad-abad. Orang
Toraja merupakan suku yang masih memegang tradisi asli ras Austronesia. Mereka
termasuk pada Proto Melayu yang mendiami Nusantara pada 2000 – 1500 SM.
Saat
ini, kekhasan Tana Toraja bisa menjadi contoh dari harmonisasi akulturasi
antara tradisi nenek moyang dengan agama. Mayoritas orang Toraja adalah
penganut Kristen, namun pada setiap tradisinya masih berdasarkan Aluk Tadolo,
kepercayaan nenek moyangnya.
Manis bersama Tulang Belulang
Saya beranjak ke Kete’ Ketsu, sebuah destinasi wisata yang telah populer di Toraja seiring terkenalnya Toraja ke penjuru dunia. Kawasan
ini
tentu ramai dengan wisatawan asing dan
domestik. Kete’ Ketsu bisa menjadi semacam
potret lengkap kepada siapa yang ingin menikmati
Toraja secara singkat.
Kete’ Ketsu menawarkan rumah
Tongkonan berusia ratusan tahun lengkap dengan Alang Suro di hadapannya. Ada
juga kubur gantung Toraja tua yang bernuansa mistis. Di sekitar Kete’ Ketsu, lengkap pula terdapat menhir-menhir
yang tegak menjulang di dataran rerumputan hijau.
Potret budaya masyarakatnya tak kalah lengkapnya. Masyarakat Kete’ Ketsu dikenal
sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan istiadat warisan leluhurnya.
Serangkaian ritual dan upacara adat masih teguh dipertahankan oleh kampung yang
berada pada Kelurahan Tikunna Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara.
Dari sisi kerajinan, Kete’ Ketsu terkenal dengan seni ukiran bambu, seni pahat,
seni lukis dan kerajinan tradisionalnya. Kerajinan pahatan Kete’ Ketsu begitu
unik dan rumit yang diwariskan turun temurun.
Bagi saya, momen paling bermakna di Kete’ Ketsu adalah saya bisa berfoto
bersama dengan tengkorak dan kerangka tulang manusia. Tadinya saya ragu dan
setengah takut. Aroma mistis memang sangat
terasa karena begitu banyak serak-serak tulang yang telah berusia berabad-abad.
Kete Ketsu. Ikon Toraja yang paling dikenal. |
Manis bersama tulang belulang. Tak ada ngeri sekalipun. |
Namun, bukankah ini di Toraja, di mana kematian adalah sesuatu yang menyenangkan? Malah
untuk berpesta-pesta? Dan, wisatawan tertarik ke Toraja salah satunya untuk
menyaksikan wujud-wujud kematian pada kemasan yang tak menakutkan. Wisata
Toraja itu jelas tentang wisata kematian. Saya pun tak
canggung lagi untuk berfoto manis dalam
suasana mistis bersama
tengkorak-tengkorak Kete’ Ketsu.
Tengah siang berarti lapar
mencapai puncaknya. Saatnya saya mencoba Pa’piong, kuliner paling khas Toraja. Pa’piong dimasak
menggunakan bambu yang dibakar dengan isi lauk
berupa babi, ayam atau ikan ini dicampur sayuran dan bumbu. Adapun bumbu
Pa’piong menggunakan parutan kelapa, daun bawang, serai, telor, merica, bawang
putih, dan bawang merah. Saya pun menikmati sesuwir pertama daging Pa’piong.
Rasa pertama di lidah begitu ‘spicy’
nan gurih. Mantap dan maknyuuuus!
Perut kenyang berarti
petualangan dilanjutkan. Saya menuju ke Bori Kalimbuang di daerah Sesean. Saya menyaksikan batu-batu
menhir tegak berdiri pada hamparan hijau tanah rumput. Batu-batu berusia ratusan
tahun ini tinggi memanjang menyembul dari
daratan. Konon jumlahnya ada 102 buah.
Terdiri dari 54 menhir kecil, 24 sedang dan 24 batu berukuran besar.
Tempat kumpulan menhir ini
juga berkaitan dengan aroma harum kematian. Bori Kalimbuang digunakan sebagai lokasi Rambu
Solo oleh masyarakat setempat. Selain itu, untuk membangun menhir-menhir ini harus
melalui
suatu upacara adat Rapasan Sapurandanan. Paling tidak, kerbau yang dikurbankan sejumlah 24 ekor pada upacara ini.
Di Bori Kalimbuang, terdapat Balakkayan,
panggung di tengah-tengah menhir untuk membagi-bagikan daging hewan yang
disembelih saat Rambu Solo’. Ada juga Lakkian
di pinggir kompleks menhir. sebagai tempat
jenazah disemayamkan selama upacara Rambu Solo’ berlangsung. Bangunan lainnya
adalah Langi’, yaitu tempat usungan
jenazah. Usungan ini berbentuk atap Tongkonan. Ketika berjalan agak masuk ke
hutan, saya menemukan Liang Pa’, sebuah
batu besar berbentuk oval yang dilubangi sebagai tempat peletakkan jenazah.
Menhir-menhir di Bori Kalimbuang. |
Batu besar yang berbentuk bulat yang dijadikan makam. Disebut Liang Pa. |
Tak terasa, sore telah
mencengkeram bumi Toraja. Saya pun kembali ke
Rantepao, kota pusat Tana Toraja. Dalam
perjalanan pulang, saya sempat berhenti di
samping pohon beringin besar. Basho mengajak saya untuk menunjukkan sebuah
jembatan bambu. Ya, sebuah arsitektur dari bambu yang saling mengikat dalam
simpul-simpul yang kuat. Tanpa paku. Berbentuk segitiga meruncing ke atas di
tepiannya. Melintas di bawahnya, sebuah sungai mengalir tenang. Diapit bebatuan
granit yang berkotak-kotak. Bertingkat-tingkat. Eksotis. Saya coba melintas
jembatan penuh hati-hati. Saya bisa merasakan sensasi seperti terlempar
pada suasana masa lalu di Tana Toraja.
***
Matahari makin memudar ketika
saya tiba di Rantepao. Senja kian menjelang. Kini
saatnya berburu oleh-oleh di kawasan Pasar
Rantepao. Meski sore, pasar yang menjadi pusat ekonomi masyarakat lokal ini begitu riuh dengan para wisatawan yang ingin pulang
dengan membawa oleh-oleh khas Toraja.
Saya pun membungkus kain
tenun khas Toraja yang bermotifkan bunga-bunga dan dedaunan. Tak tertinggal, saya juga memborong bubuk Kopi Toraja. Kopi Toraja adalah specialty coffee yang kaya dengan
keharuman aroma. Senang rasanya bisa
membeli kopi yang telah terkenal di seantero dunia ini di tempat asalnya.
Menyongsong larut malam, Rantepao telah berubah sunyi. Suasananya seperti sebuah
kota yang diliputi horor. Saya pun tinggalkan
Toraja dengan kesan mendalam tentang mistis dari Tana Toraja. Terlebih ketika
mengingat saya berfoto bersama tengkorak dan tulang-belulang di Kubur Gantung
Kete’ Ketsu tadi siang.
Untungnya Basho menenangkan, “ Walaupun berfoto bersama tengkorak, para
arwah mereka tidak akan mengganggu kita. Mereka telah tenang di alam baka sana
karena telah melalui upacara kematian Toraja. Jadi, tenang saja.”
Catatan:
- Tulisan ini sebelumnya ditampilkan di http://www.djarumsuper.com/articles/trip/sulsel/cultural_trip/view/1633#sthash.AB7YII1K.dpbs
dan diikutkan pada Blog Competition Djarum Super 2014. Alhamdulillah, masuk 10 besar artikel favorit.
- Versi panjang dari setiap destinasi di Tana Toraja bisa disimak di
Pa'ppiong, kuliner teristimewa Toraja. Ini ayam yang dimasak di dalam bambu. |
Persawahan dan Tongkonan yang merajut manis di Kete' Ketsu. Hal yang biasa dijumpai di Tana Toraja |
Tedong. Kerbau ini harganya lebih mahal daripada mobil semisal Honda Jazz lhoo.. :D |
Kambira Baby Grave. Kuburan bayi di Pohon Tarra. |
3 komentar
Mas iqbal kok ganteng banget
BalasHapus*salah fokus hahaha...
heeeei mbak Wulan, perlu periksa ni ke dokter mata.. :D
Hapusini foto tiga tahun lalu.. :D
tebing, batu dan pohonnya itu terlihat mistis sekali ya, mungkin karena dijadikan kuburan, jadi agak serem aja lihatnya..
BalasHapus