Negeri Sawai yang Permai | TELUSUR MALUKU #4
Maret 09, 2015Pulau Sawai yang menghadap langsung ke Negeri Sawai di daratan utama Pulau Seram. |
Siang telah menyambut datang,
Fabio “Kribo” mengajak untuk makan siang di Pulau Sawai, sebuah pulau kecil
yang tak berpenghuni. Dari Pantai Ora, perjalanan menuju Pulau Sawai melintasi
perairan tenang ditempuh selama 20
menit. Saking dikelilingi pasir putih yang luas, perahu kami pun harus merapat
100 meter dari garis pantai.
Lanskap nyiur yang semampai
menyambut kami. Saya berkeliling ke sebagian pulau yang terletak persis di
hadapan kampung Sawai ini. Pulau Sawai bertetangga dengan Pulau Raja yang lebih dikerumuni oleh rimbunan hutan bakau. Dua pulau inilah yang
menjadikan perairan di negeri Sawai sangat tenang. Ada beberapa pulau lain di
kejauhan yang dikenal sebagai Pulau Tujuh. Puas berkeliling, saya pun kawani Fabio yang daritadi membakar ikan segar
dengan cara tradisional.
Tujuan kami selanjutnya
adalah Tebing Hatusupun. Sebuah perairan jernih berada tepat di samping tebing
tinggi. Terdapat sebuah lorong goa yang merekah sempit di antara tebing. Kata Fabio, jika
pasir di tebing itu digali, maka akan menemukan lubang untuk masuk ke dalam goa
di balik tebing. Namun, harus dipastikan ada yang menunggui galian pasir
tersebut. Terumbu karang di Tebing
Hatusupun juga tampak cantik yang dimanfaatkan kami untuk snorkeling.
Namun, mendung gelap dengan
cepat datang sehingga nuansa kejernihan pun meredup. Kata Fabio, paling bagus
datang di kawasan Pantai Ora adalah bulan Agustus-September. Waktu itulah saat
musim tak ada hujan dan langit cemerlang sepanjang hari. Saat cerah terik
mentari, perahu yang berada di Tebing Hatusupun bisa tampak melayang dialasi air berwarna hijau
tosca.
Hujan mulai mengucur dari
langit, kami pun berlekas pulang. Semestinya, kami masih memiliki satu
destinasi, yakni menjelajahi Sungai Sawai untuk melihat hamparan hutan sagu
sekaligus menyaksikan pembuatan makanan sagu tradisional. Perjalanan pulang
kami akhirnya disambut hujan deras. Kami tak kecewa malah bersuka ria. Air
hujan membasuh asinnya badan kami yang dari tadi mandi air laut. Dan, yang
membuat kami paling bahagia adalah munculnya pelangi yang bagaikan ikut
mengiringi perahu kami.
“Pelangi menyempurnakan
perjalanan kita di Ora dan Sawai.” ungkap Mega yang sangat gandrung kepada
eloknya pelangi.
Malam terakhir di Sawai dihabiskan
dengan pesta durian bersama. Turut bergabung pula pasangan fotografer dan traveller
@dwibagusmartono dan Shinta yang baru tiba di Sawai pada sore tadi. Fabio Kribo
tak ketinggalan untuk meramaikan dengan canda tawanya yang khas. Malah, saya gampang
berbincang dengan Fabio. Lelaki yang berkuliah di Universitas Darussalam Ambon ini
punya impian besar untuk mengembangkan kampung halamannya dari aspek budaya dan
sejarah rempahnya.
***
Yang tidak boleh dilewatkan
saat di Sawai pagi hari adalah mendaki bukit karst Kaitita untuk menjemput
surya terbit di ufuk timur. Saya punya rencana untuk menunaikan keindahan itu.
Namun, alangkah sedihnya, cuaca yang cerah sepanjang malam ketika melangkah
fajar tetiba mendung gelap memayungi Sawai. Pupuslah rencana itu dan saya
nikmati pagi terakhir di Sawai sekedar bersantai ria di beranda dan seputaran
kampung.
Berjalan-jalan di gang-gang Kampung Sawai saat pagi, bagi saya pun sudah
cukup sebagai sebuah keasyikan tersendiri. Sapa ramah menghiasi sepanjang perjumpaan
dengan masyarakat lokal Sawai. Aktivitas warga dan riuh para bocah cukup jadi
suguhan yang menyenangkan. Meskipun cukup terpelosok,Negeri Sawai ternyata didiami
lebih dari 2000 orang. Rumah-rumah tampak berhimpitan padat layaknya susunan rumah
di perkotaan.
Ada alasan kenapa rumah-rumah di Sawai dibangun begitu memadat. Cara ini
dilakukan untuk menciptakan rasa aman. Konon, di masa lalu, suku-suku pedalaman
Pulau Seram di Hutan TN Manusela suka memotong kepala. Tiap kali suku ini ganti
atap rumah atau ada laki-laki beranjak dewasa, mereka harus memotong kepala
orang. Biasanya kampung-kampung sekitar jadi sasaran. Meski kini sudah tidak
lagi ada ritual seperti itu, masyarakat Sawai tetap memilih membangun rumah
saling berdekatan. Ketika lahan di darat di antara cekungan karst sudah habis,
lebih baik diakali dengan membangun rumah di atas air.
Kami mampir di sebuah rumah yang menjual jajanan, seperti semacam fla pisang. Orang
Sawai menyebutnya . Rasa pisang begitu terasa manisnya. Memang Negeri Sawai
terkenal sebagai salah satu penghasil pisang terbaik di Maluku. Pisang-pisang
Sawai dikirim ke Masohi untuk diolah jadi kuliner pisang khas Seram. Tak puas
hanya mencicip dua buah, saya pun membungkus untuk dibawa pulang ke penginapan.
Namun, rintik hujan mengiringi saya kembali ke penginapan.
Perahu harus menepi jauh-jauh dari pulau. Karena sedang surut dan pasir sangat panjang di Pulau Sawai. |
Kejutan besar, banyak kerang di Pulau Sawai. Tampak sedang berkerumun makan buah kelapa. |
Santap siang yang menyenangkan di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Surga dunia. |
Hello.. Kami di Sawai lhoo. Terima kasih kepada Maria yang sudah memfotokan kami. |
Fabio sangat suka bercerita tentang potensi negerinya. Menuju Tebing Hatusupun. |
Tempat Hatusupun menjadi tempat menyenangkan untuk berenang, snorkeling. Sayangnya mendung. Jika cerah, perahu akan tampak melayang. |
Desfinna menikmati kebebasannya di Tebing Hatusupun. Sayangnya vandalisme menyedihkan membuat ia tidak maksimal menikmati suasana. |
Pelangi menyertai perjalanan kami menembus hujan deras. |
Setelah kehujanan, menikmati kopi segar racikan sendiri di Sawai. Minuman surga. |
Pagi yang tidak tampil maksimal. Membuyarkan impian naik ke Tebing Kaitita. Tapi cukup menyenangkan. |
Ekspresi bocah-bocah Sawai. Masyarakat lintas etnis. Ada keturunan Papua, Maluku, Arab, dll. |
Ekspresi sumringah seorang ibu di Sawai yang berjualan jajanan di pagi hari. Suka dengan ekspresinya. |
Rasa pisangnya mantep sekali. Favorit saya di Sawai. Semacam Fla Pisang. |
Suasana permai di Negeri Sawai pagi hari. Rindu Sawai. |
Tampak Negeri Sawai yang sangat memadat. Dilingkupi karst tinggi dan lautan tenang. Damai dan Permai. |
Tebing Hatusupun memiliki rekahan goa. @Megahanda difoto Maria dari WVI |
Lanskap menawan di Tebing Karst Hatusupun. |
6 komentar
Indah sekali. Saya pasti ke sini, deh!
BalasHapusHaruuus kak.. dan pas musim cerah, pasti jauh lebih indah lagi..
Hapusmelihat senyum masyarakatnya, di tengah negeri yang elok berlimpah matahari ini, kadang berpikir : mereka terus menerus bahagia, ya? karena mungkin bahagia buat mereka ketika berada di tengah keindahannya, bukan berpergian ke mana-mana. :)
BalasHapusSemoga mereka terus bahagia kak. Alam telah melingkupi mereka dgn kebahagian.. Semuanya ada di sekitar mereka.. :D
HapusTebing Hatusupun sangat indah sekali, recomend banget untuk liburan..
BalasHapusBetul kak. Indonesia memang selalu memesona..
Hapus