Ambon yang Ramah Menyambut | TELUSUR MALUKU #1
Maret 09, 2015Bandara Pattimura Ambon yang manis di pagi hari. Pintu gerbang menjelajahi Maluku. |
Perjalanan ke Maluku memberikan
sebuah
tantangan tentang sebuah stigma perjalanan.
Dianggap sebagai destinasi yang dipenuhi momok ‘keras’, ‘bekas konflik’ ditambah ‘jauh’dan ‘mahal’, tak menyurutkan hasrat saya untuk menjelajahi Maluku.
Saya percaya di balik stigma itu, kejutan-kejutan kontradiktif akan berkesan ditemukan. Dalam perjalanan empat hari
di Maluku, saya bersama istri menjumpai banyak pengalaman yang memantapkan
pandangan saya kalau Maluku itu sangat indah, damai, luar biasa dan berharga.
Saya menulis tentang perjalanan di Maluku, yakni di Ambon ibukota Maluku di Pulau Ambon, serta di Negeri Sawai dan Pantai Ora di Pulau Seram. Perjalanan di Maluku saya beri tajuk bernama TELUSUR MALUKU. Catatan perjalanan ini dibagi dalam sembilan tulisan. Tulisan 1 - 8 adalah cerita tentang perjalanan itu sendiri. Tulisan ke-9 adalah cerita tentang Muhammad Ali asal Sawai yang menurut saya sangat inspiratif untuk kisah manusia Indonesia dari tempat yang 'lain'. Perjalanan ini dilaksanakan bersama istri saya tercinta @megahanda. Kami berdua memang sangat suka beperjalanan untuk memetik beragam cerita dari Indonesia yang luas dan sangat penuh kejutan.
***
Tiba di Pulau Ambon pada pagi
hari adalah sebuah anugerah yang sangat disyukuri. Betapa tidak, pesawat tepat
mendarat di Bandara Internasional Pattimura, Ambon
saat semburat jingga mulai melukis angkasa. Begitu kaki memijak tanah, baskara
yang bulat sempurna muncul dengan sangat indahnya dari balik pegunungan di
Teluk Ambon. Dan pastinya, yang saya sukai dari langit Indonesia Timur adalah
langit yang begitu bersih. Bintang-bintang tampak masih menyisakan cerianya
yang dipanglimai oleh rembulan sabit meski pagi segera merekah.
“Selamat datang di Ambon Manise!” Saya
dijemput oleh Pak Lukas Ferdinandus, warga asli Ambon yang sangat ramah. Hari ini agendanya adalah langsung menuju ke Negeri Sawai di Pulau Seram, tetangga Pulau
Ambon.
Kami pun menuju Pelabuhan Tulehu yang berjarak sekitar 36 km
dari Bandara. Hari Minggu membuat jalanan
kota Ambon sangat lengang. Sebagian masyarakat Ambon yang Nasrani mulai
berdatangan ke gereja dengan jalan kaki. Sebagian lain yang Muslim menghormati
dengan tidak beraktivitas sedari pagi.
Sebuah sambutan yang ramah dari
Ambon yang selama ini dikenal akibat konflik SARA nya. Tak terlihat lagi puing-puing
konflik satu setengah dasawarsa silam yang memporak-porandakan Ambon. Ambon
telah berubah menjadi kota yang damai, penuh harmoni, penuh toleransi. Masyarakat
Ambon sangat sadar bahwa kedamaian jauh lebih indah.
Seperti yang dikatakan Semuel Waileruny dalam bukunya “Membongkar
Konspirasi Di Balik Konflik Maluku” (2011), konflik Maluku bukanlah diciptakan orang pribumi sendiri. Melainkan didesain sebagai
konspirasi dari orang luar Ambon yang
ingin menghancurkan Ambon. Orang Ambon yang jumlah populasi Muslim dan Nasrani-nya
hampir seimbang, sejak ratusan tahun lamanya telah hidup secara berdampingan.
“Malah setelah konflik, sekarang
ikatan pela gandpng makin tumbuh kuat.” ungkap
Pak Lukas. Pela adalah sistem hubungan sosial dalam masyarakat Maluku, berupa
perjanjian hubungan antara satu negeri (desa) dengan negeri lainnya, dan kadang
juga menganut agama lain di Maluku
Kami pun singgah menyesap pagi
di tengara tulisan “Ambon, City of Music”. Ambon sedari dulu juga dikenal
sebagai kota yang masyarakatnya gandrung menyanyi dan bermusik. Lagu-lagu merdu
dari para penyanyi Ambon terkenal menguasai jagat musik Indonesia Timur. Banyak
juga diantaranya yang muncul sebagai
penyanyi nasional, seperti Glenn Freddy, Melly Goeslaw, Andre Hehanusa
dll. Lengkingan suara manis lagu-lagu Ambon di mobil Pak Lukas pun meramaikan
sepanjang perjalanan di Pulau Ambon.
Hari yang masih pagi, kami
lantas mampirdi pantai terkenal di Ambon, Pantai Natsepa. Semestinya saya
ingin jajal juga Rujak Natsepa yang tersohor itu, tapi alangkah sedihnya belum ada warga yang berjualan. Hanya saja, kami sudah cukup terhibur dengan lanskap pasir putih
Natsepa dengan dikawani nyiur-nyiur semampai. Sesekali sampan warga melintas di
perairan Natsepa yang tenang dan burung beterbangan makin membuat pagi saya di
Ambon sangat indah.
|| Baca kisah selanjutnya dari Telusur Maluku bagian 2 : Membelah Pulau Seram
|| Baca kisah selanjutnya dari Telusur Maluku bagian 2 : Membelah Pulau Seram
Sambutan sangat indah dari baskara sebelum mendarat di Ambon. |
Tengara Ambon City Of Music. Singgah dulu sebelum menjelajahi Ambon. |
Baskara yang merona khas Indonesia bagian Timur. |
Jalanan yang lengang di hari Minggu. Umat Nasrani beribadah. Umat Muslim menghormati. |
Wefie bersama Pak Lukas yang sangat ramah. |
Pantai Natsepa yang masih sepi di pagi hari. |
Sampan warga anggun melintas di pantai terkenal di Ambon |
Suasana Pelabuhan Tulehu menjelang penyeberangan ke Pulau Seram |
2 komentar
saya suka paduan narasi dan dokumentasinya, dua-duanya keren :D tunggu saya, Ambon! *msh baca bagian 1, berarti kurang 8 lagi.wkwk* salam kenal, mas :D
BalasHapusSalam kenal Freakpals.. siiip makasih sekali., memang saya biasanya suka nulis untuk menarasikan sebuah perjalanan dengan bahasa yang manis dan melengkapinya dengan foto terbaik.. selamat membaca bagian selanjutnya.. :D
Hapus