Penyesalan Watu Lumbung
Oktober 11, 2014Watu Lumbung di Gunungkidul. |
Yang saya sesali selama tinggal di Yogya adalah kenapa setelah tujuh tahun ini saya baru datang ke Watu Lumbung. Dalam hati ini terasa perih,
ketika membuncah pernyataan penyesalan. “Selama ini kamu kemana saja, Bal,
sampai tidak mau meluangkan sejenak waktumu datang ke Watu Lumbung.”
Padahal, selama tujuh tahun ini saya sering pergi ke daerah Wediombo dan
sekitarnya sampai tak bisa dihitung lagi oleh jemari tangan. Sungguh, saya
menyesal baru sekarang bertakzim di Watu Lumbung.
Sebenarnya, mendengar kata Watu Lumbung bagi saya sudah akrab sedari
setahun lalu. Sayup-sayup kisah Watu Lumbung lirih terdengar seikat dengan
cerita Gunung Batur di kawasan Wediombo yang dibingkai dalam narasi Geopark
Karst Gunung Sewu, Gunungkidul. Maklum, Gunung Batur dan Wediombo menjadi salah
satu titik yang diandalkan pemerintah dan masyarakat Gunungkidul sebagai daya
tarik Geopark Karst Gunung Sewu.
Di antara gundukan-gundukan bukit karst yang membentang luas, menyesaki
daratan kering Gunungkidul, adalah sebuah fenomena geologis yang unik ketika terselip
kawasan vulkanik di Wediombo. Gunung Batur pun menahbiskan diri sebagai lanskap
vulkanis paling vulgar di antara bentang kawasan geopark Gunung Sewu di
sepanjang pantai selatan. Watu Lumbung ini terselinap mungil di ruang kecil di
bawah kaki Gunung Batur yang besar nan hitam perkasa menghadap samudera.
Perjalanan menuju Watu Lumbung ibarat perjalanan menuju penyesalan. Tapi,
tentu bukan penyesalan tentang jejalanan yang tak ramah untuk ban motor dan
pantat saya. Semakin mendekat, semakin besar rasa sesal itu menyeruak. Saya
merasa semakin bersalah karena kenapa sampai
sebegitu lamanya mengabaikan keistimewaan lanskap unik geoiogis ini.
Betul saja, seketika melihat batuan tunggal yang dipeluk oleh gulungan
ombak dari dua sisinya, saya tak bisa untuk tidak memaki diri sendiri. “Kenapa
baru sekarang melihat ke Watu Lumbung, j**g**?” Penyesalan lantas selanjutnya
berpindah pada adegan-adegan ketakjubkan.
Sore selalu menciptakan ragam panorama yang meriah warna. Ada biru, ada
ungu, ada biru, ada hijau, ada merah, ada warna apa saja. Sore itu, di Watu
Lumbung, warna-warna ini muncul sebegitu murah nan ramah yang menimpa aneka
bebatuan yang rela berselingkuh dengan gulungan ombak yang tak sekalipun ramah.
Formasi bebatuan di Watu Lumbung ini mengingatkan saya pada formasi batuan
di Tanjung Karangbata, Kebumen, kampung halaman saya. Perbukitan batu hitam
vulkanik yang kekar dan berserakan dalam wujud bulatan dan kotakan.
Beruntungnya, di kawasan Watu Lumbung terdapat pantai berpasir putih yang uniknya
bukan memanjang tetapi menusuk ke dalam perbukitan. Beruntungnya juga, di Watu
Lumbung akan digairahkan sebagai kawasan geopark karst Gunung Sewu, sedangkan
di Tanjung Karangbata, cita-cita sebagai geopark Karst Gombong Selatan masih
jauh dari angan.
Menuju Watu Lumbung melewati gundukan perbukitan karst dan ladang warga. |
Salah satu rupa batuan vulkanik di badan Gunung Batur. |
Watu Lumbung begitu terlihat. Bagi saya melihatnya adalah penyesalan. |
Untunglah saya masih beruntung tiba di Watu Lumbung masih terang. |
Lanskap yang ikonik. |
Seperti biasa perangai saya, setiap senja, saya selalu menyingkir cukup
jauh dari panggung utama agar bisa damai menikmati senja. Saya tinggalkan
@linggabinangkit yang sedang mesra menggerayangi panorama Watu Lumbung untuk
diabadikan dengan teknik long exposure-nya.
Saya biarkan dia ber-orgasme ria dalam
kenikmatan mencumbu spot-spot ikonik
khas Watu Lumbung yang sepertinya belum banyak diabadikan.
Di tempat ini, di atas karang, di kolong langit cerah, di haribaan tebing
vertikal, diperciki deburan ombak, disemiliri angin samudera, ditimpa aneka
resah dan dipukuli berjuta masalah, tetiba saya lantas teringat “Kamu”. Ah, makhluk kesayangan saya ini rasanya saat
itu sedang sibuk bercengkerama dengan muramnya kesibukan di ibukota. Sedangkan
saya malah bermain-main di tempat yang sepi nan indah ini dalam rangka menyesap
senja istimewa. Saya pun merasa menyesal kenapa hadir di Watu Lumbung saat
“Kamu” tak ada. Malah saya ditemani lelaki ganteng yang beramunisi kamera gahar
yang membuat siapapun wanita akan rela antri menjadi istrinya.
Ingin rasanya saya menjadi seperti Seno Gumira Ajidarma yang lihai dan
romantis memotong senja lalu mencuri senja dan mempertahankannya mati-matian dari
kejaran polisi untuk diberikan kepada Alina, kekasihnya. Namun, bagaimana saya bisa
memotong senja untuk “Kamu”? Saya tak punya pisau, gunting atau silet
romantisme kata untuk mencipta narasi indah senja untuk dihadiahkan kepada
“Kamu”.
Saat senja itu lah, saya pun menyesal sesesal-sesalnya kalau hanya
menikmati senja yang menakjubkan ini tanpa dikawani “Kamu”. Kalau “kamu”
kesayangan saya pulang ke Yogya, pasti akan saya antarkan siap sedia ke Watu
Lumbung sebelum tempat menakjubkan ini ditelan gemuruh wisata. Saya berjanji
kepada “Kamu”! Saksinya berupa karang-karang diam tapi tetap tegar dihantam
gelombang.
Senja menggelap, malam menyambut datang, saya pulang tepat saat pentas
Watu Lumbung menutup tirai pertunjukan. Bukannya pulang dengan penyesalan yang
menghilang, saya berjumpa dengan sebuah rasa kesal. Penyesalan berganti kesal. Sampah
berupa botol air mineral, bungkus rokok dan plastik berserakan. Saya pun
punguti dan bawa sampah itu hingga membuangnya di bak sampah di desa Jepitu.
Jujur, saya kesal dengan serombongan orang yang datang bersamaan dengan
saya, yang tidak menjaga kebersihan di Watu Lumbung. Dan juga kepada orang yang
datang tetapi tak mau membawa pulang sampahnya. Tentu di sana belum tersedia
tempat sampah. Saya sangka orang yang
datang bersama sore itu adalah oknum mahasiswa yang kuliah di Yogya, seperti
saya juga meski saya ini adalah mahasiswa kadaluarsa masa studinya. Dari
plat-nya yang berhuruf luar daerah, mereka bukan berasal dari Yogya.
Sungguh jika benar, tidakkah ini patut disesalkan jikalau orang yang
dianggap intelektual yang akan membentuk peradaban bangsa ini telah melacurkan
dirinya ke dalam kehinaan membuang sampah sembarangan. Sungguh saya menyesal
ada orang berpendidikan yang berperilaku demikian. Memalukan nan memilukan.
“Tolong ya, jaga kebersihan di Watu Lumbung dan juga dimanapun kalian berada.” Itu
pun jika kalian membaca cerita penyesalan saya kepada kalian.
Catatan:
-
Diinspirasi oleh salah satu cerpen legendaris Seno Gumira
Ajidarma yang berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku”. Cerpen ini terbit di
Harian Kompas pada Minggu, 9 Februari 1992. Saya baca cerpen ini di http://duniasukab.com/2007/05/31/sepotong-senja-untuk-pacarku/
Berjumpa dengan warga setempat. Lemparkanlah senyum ramah. |
Hantaman ombak kencang yang disambut oleh karang yang tegar. |
Fotografer kesayangan dan idola saya. |
Ruang kecil yang menyisakan pantai berpasir di antara kerumunan batuan. |
6 komentar
keren om :D
BalasHapushttp://cafevixion.blogspot.com/2015/03/pesona-air-terjun-kedung-kandang.html
teruma kasih, sudah berkunjung mas.. salam kenal.. blog yang bagus.. mantaaaap..
Hapustempat-tempat di indonesia memang sangat indah sam seperti di watu lumbung.
BalasHapusLuar biasa eloknya pantai Watu Lumbung, formasi alaminya ikonik banget. Terima kasih ikut menikmati postingan apiknya. Salam kenal
BalasHapusKeren bangat foto-fotonya mas
BalasHapusaku nyesel baru baca sekarang :(
BalasHapus