Negeri Laskar Kubangan Pelangi | Belitung #1
Oktober 30, 2014'Kawah pelangi' di Pulau Belitung. |
Setiap daerah yang hidup dari
pertambangan mau tidak mau akan ‘merelakan’ wilayahnya untuk
diporak-porandakan. Tak terkecuali Belitung. Sebuah pulau di lepas laut Pulau Sumatera ini dikenal
menjadi daerah penghasil timah utama di Indonesia selain Pulau Bangka, sahabat karib
sekaligus tetangganya. Hikayat pertambangan timah selama ratusan tahun telah
mencipta lanskap Pulau Belitung penuh dengan kubangan-kubangan yang bercerita sedih tentang kelestarian lingkungan.
Saya datang ke Belitung dalam rangka sebuah pekerjaan survey di Kabupaten Belitung Timur.
Kabupaten yang beribukota di Manggar ini menjadi satu dari dua kabupaten yang menghampar
di Pulau Belitung. Kabupaten satunya
adalah Kabupaten Belitung yang beribukota di Tanjung Pandan. Perjalanan di
angkasa mengantarkan saya pada panorama sebuah pulau yang tak terlalu besar
tapi telah ‘dipahat’ sebagian besar wilayahnya oleh ‘kerajinan tangan’ manusia
atas nama penyediaan kebutuhan ekonomi timah dunia.
Hikayat pertambangan timah di Belitung mulai ada sejak abad 17. Penduduk
membuat paku, kapak dan parang yang dilapisi timah sebagai barang tukar menukar
dan upeti kepada Sultan Palembang dan perdagangan internasional di Selat Malaka. Cerita timah ini menggantikan
kisah lada putih yang telah dulu masyhur melekat pada bumi Belitung sebagai
negeri rempah.
Kisah tambang timah selanjutnya berubah secara drastis sejak Belanda
‘menemukan’ dan mendirikan perusahaan timah di Belitung. Biliton Maatschappij
yang didirikan John Francis Loudon merintis perusahaan tambang timah di
Belitung setelah penelitian panjang pada abad ke-19. Semenjak itulah timah
ditambang besar-besaran dan mengubah lanskap Belitung menjadi penuh kubangan.
Ketika Indonesia merdeka, pertambangan timah di Belitung diambilalih dan
dikuasai oleh PT Timah (Persero). Saat
ini PT Timah memang sudah tidak beroperasi lagi. Namun, tambang timah tetap berlangsung
yang diusahakan oleh masyarakat setempat secara pertambangan rakyat. Beredar
kabar, PT Timah berencana akan kembali mengeksploitasi timah di Belitung.
Selama beberapa tahun ini cerita timah di Belitung telah memudar. Berganti
dengan kisah Laskar Pelangi yang muncul akibat kecakapan Andrea Hirata, orang
asli Belitung yang didukung promosi akbar pada tetralogi novel Laskar Pelangi.
Latar tempat indah pada novel Indonesia yang sukses berpredikat ‘kelas dunia’
berupa pantai pasir putih nan halus, bebatuan granit raksasa dan lautan biru
yang menyenangkan membuat Belitung menjadi sebuah pulau destinasi impian di
Indonesia.
Belitung lantas berkembang menjadi pulau wisata. Belitung pun dikenal
sebagai negeri Laskar Pelangi. Belitung dikunjungi ratusan ribu turis,
backpacker, flashpacker, traveller atau apalah istilahnya, baik dari dalam
negeri maupun mancanegeri. Mereka menikmati pantai berpasir putih, snorkeling di pantai-pantai Belitung
pesisir barat, berkunjung ke SD Laskar Pelangi dan Museum Kata Andrea Hirata
serta sebagian menikmati sensasi kopi di Manggar yang dikenal kota 1001 Warung
Kopi.
Hanya saja, saat dipersepsikan Belitung sebagai pulau yang indah,
identitas itu harus diakui mengandung dilema begitu melihatnya dari angkasa.
Bagaimana bisa bagus jika lanskap hijau banyak ‘berhias’ dengan lubang putih
yang luas dan tersebar di berbagai penjuru
pulau? Tidakkah ini tanda
kerusakan lingkungan yang parah? Bagi orang seperti saya yang suka duduk di
kursi dekat jendela, kesan pertama hadir ke Belitung sungguh tertanam bahwa
pulau ini sebetulnya pantas untuk diratapi.
“Kalau Flores punya Kawah Tiga Warna di Kelimutu, Belitung punya ribuan
‘kawah’ yang berwarna-warni seperti pelangi.”
Apakah ‘sanjungan’ demikian yang nanti akan diungkapkan tatkala Belitung
didatangi lebih banyak wisatawan dari penjuru dunia ? Apakah sisa kerusakan
lingkungan itu bisa dijadikan apologi saat orang datang ke negeri Laskar
Pelangi? Timbul pada benak saya, pantasi Belitung mendapat julukan baru: Negeri
Laskar Kubangan Pelangi.
Saya pernah dengar reklamasi bekas tambang timah diusahakan di Belitung.
Reklamasi dilakukan demi menutupi kubangan ‘beracun’ yang selanjutnya ditanami pohon-pohon
untuk memulihkan kelestarian Belitung. Namun, di mana kah proses reklamasi?
Andaikan ada, saya yakin reklamasi hanya dilakukan sepersekian persen dari
tambang timah yang sudah sedemikian parah mendegradasi lingkungan. Malah,
reklamasi mungkin hanya impian belaka saja untuk memulihkan alam Belitung.
Tepat sore hari saya tiba di daratan Belitung. Menuju Manggar, berarti
dari Bandara melalui ‘jalan tengah’ yang membelah Belitung sejauh 80 km. Selain
saya jumpai kubangan bekas timah di mana-mana, di pinggir jalan, saya melintasi
perkebunan sawit. Belitung mulai menghijau di daratan. Beberapa perkebunan
sawit berada di kawasan sekitar bekas tambang timah, sebagian lain berada di
kawasan hutan. Oh, saya berprasangka rasanya di Belitung sedang marak terjadi
fenomena “habis timah, terbitlah sawit.”
Padahal di seberang pulau yang mengapit Belitung, Kalimantan dan Sumatera,
saya saksikan sawit terbukti sebagai biang keladi kerusakan lingkungan…
Bekas tambang timah yang mendestruksi Belitung. |
Aneka warna-warni 'kawah' timah dan kaolin. |
Hamparan kebun sawit yang menghampari Belitung, Primadona baru Belitung. |
Jalanan lengang memotong hamparan sawit. |
Perkebunan sawit di jalan tengah penghubung Manggar - Tanjung Pandan. |
Bandara Belitung. Pintu gerbang wisata Negeri Laskar Pelangi. |
3 komentar
wuiihh jelajahnya ams Iqbal keren mantap euuyy josh mas sampe belitung....
BalasHapusMakasih mas.. ayoook mas Angki juga main ke Belitung.. Biar nanti liat kubangan bekas tambang timah yang berwarna-warni. Liat itu indah tapi bikin miris. Tanda kerusakan lingkungan yang parah.. :(
Hapuspemandangan dari atasnya sangat indah..
BalasHapus