Teladan Pantai Nelayan Pedalen
Agustus 12, 2014Nelayan Pantai Pedalen siap berangkat. |
Tiga nelayan muda terduduk mengaso begitu memesrai batas daratan dan
lautan Pedalen. Sungguhpun panorama ini sudah jadi santapan harian, mereka tampaknya
senantiasa menikmatinya. Di samping perahu yang bersandar paling depan
‘menantang’ lautan, mereka awet menyembunyikan diri dari sengatan terik sang
surya. Mereka sembari masyhuk menyambut sepoi angin khas pantai. Para nelayan
asal Desa Argopeni, Ayah, Kebumen ini sedari tadi sedang menunggu satu rekannya yang belum jua datang. Mereka hendak melaut.
Sore itu, mereka lah yang paling bersemangat akan mengarungi lautan Hindia,
lautan penghidupan mereka. Di saat puluhan perahu hanya terparkir istirahat
beroperasi menghabiskan momen Lebaran, mereka mau memberangkatkan perahu biru
bertuliskan Wisnu Group ke samudera raya. “Demi menafkahi keluarga” begitu
ungkap salah satu dari mereka.
Namun, tak ada salahnya menikmati Pantai Pedalen sebagai destinasi ‘berwisata’.
Saya malah suka berkunjung ke tempat yang tidak dimaksudkan sebagai lokasi
wisata tetapi menyuguhkan panorama yang menyejukkan mata dan jiwa. Saya rasa
Pantai Pedalen pantas menjadi lokasi ‘hiburan’ bagi saya atau bagi orang-orang
yang mendamba sebuah tempat indah tapi tanpa embel-embel ‘lokasi’ wisata.
Pantai Pedalen yang sepi. Tapi kaya dengan pesona. |
Mengaso dulu. Menunggu satu kawan sebelum berlayar. |
Sedari lima tahun lampau, saya baru berkunjung lagi ke Pantai Pedalen. Tampaknya,
sudah jauh lebih baik perihal infrastruktur
di Pedalen. Hanya saja untuk menemukan Pedalen, saya harus mengandalkan
ingatan karena ketiadaan papan petunjuk arah. Hmm… Apakah memang Pantai Pedalen
sengaja disembunyikan? Apakah karena Pedalen hanya Pantai Nelayan sehingga
tiada perlu diungkapkan? Bagaimana kalau ada orang yang ingin berkunjung untuk
membeli ikan di Pedalen?
Kali ini saya bertemankan Erfan Apriyanto, anak muda asli Kebumen yang
berniat bersemangat untuk mempromosikan wisata Kebumen. Barangkali setelah
melihat langsung realitas potensi Kebumen, dia makin bergegas merealisasikan
mimpinya. Setelah mengajaknya ke Pantai Menganti sekaligus menyambut Dya
Iganov, traveller asal Bandung, saya ajak Erfan ke Pedalen.
Secara lanskap alam, Pantai Pedalen menawarkan sebuah pantai yang
menghampar pada teluk sempit tapi tak pelit dengan suguhan keindahan.
Saksikanlah sebuah teluk hijau toska yang tampak menjadi ciri khas paling mulia
di pantai yang menghadap condong ke barat. Bebukitan karst Gombong Selatan dengan
tegakan pepohonan gagah melingkupi Pedalen sambil berpadu dengan karang lautan.
Jika tiada maniak pada pakem “pantai indah itu berpasir putih”, saya rasa hamparan
pasir coklat berhias bebatuan kerikil ungu bisa menjadi alas yang syahdu
menikmati Pantai Pedalen. Untuk sekedar bermain air pun Pedalen cukup santai
menyediakan ombaknya yang relatif pelan pasca diredam oleh karang-karang di
mukanya.
Tapi, bagi saya, keindahan Pedalen hanya ilusi jika tiada memaknai realita
hidup para nelayannya. Boleh saja menikmati keindahan Pedalen tapi harus sadar
dengan hakikat asli Pantai Pedalen. Ingat Pantai Pedalen lebih melekat
identitas sejati sebagai pantai nelayan.
Perahu-perahu nelayan yang terparkir. Libur melaut. |
Panorama hijau toska adalah pemandangan mulia dari alam Pantai Pedalen. |
Cobalah kita membayangkan tentang perjuangan nelayan. Cobalah bayangkan
bahwa nelayan mencari ikan ke tengah samudera seperti melakukan pertaruhan atas
peruntungan. Tiada yang menjamin mereka akan pulang dengan berlimpah-limpah
ikan. Belum lagi badai terkadang membuat mereka beradu di antara kehidupan dan
kematian. Atau paling sederhananya, tiada yang bisa menjamin kalau biaya bisa
lebih kecil dari pendapatan dari melautnya.
“Ya meski rugi, ya tetap saja melaut. Tetap saja ada waktu-waktu dimana hasil tangkapan bisa cukup menutupi kerugian. “
ungkap seseorang dari mereka.
Ketidakpastian hasil dan hidup nelayan ini membuat kaum yang menjadi
perwujudan negeri bahari ini berada di kelas kesejahteraan paling rendah.
Sebagian besar nelayan hidup belum jua merangkak melampaui garis kemiskinan.
Ironi bukan? Negeri yang dua pertiganya
lautan ini tidak mengantarkan masyarakat yang hidupnya bergulat di lautan bisa
lekas sejahtera. Ada apa? Meski belum menjanjikan, tapi tetap saja laut telah
mendarah daging bagi sebagian besar warga Argopeni untuk ruang berkarya. Tetap
saja laut tiada bisa dipisahkan dari hidup mereka.
Seseorang yang dinanti itu akhirnya datang. Sepertinya kehadirannya menjadi alarm untuk
bergegas. Ketiga nelayan yang dari tadi mengaso ini lantas bangkit
mempersiapkan keberangkatan. Perahu lekas didorong mencumbu bibir pantai. Erfan
jua turut membantu. Perahu pun dinaiki dan mulai dia melintasi gulungan ombak
yang menusuk Pedalen sambil menghindari bebatuan karang. Tiga nelayan berangkat
dan satu nelayan tinggal di daratan hanya untuk mengantarkan.
Saat itu, mulailah narasi kecil petualangan nelayan Pedalen melintasi penghidupan di lautan raya. Mereka akan semalaman berkarya di lautan. Setitik kecil perahu
biru itu pun perlahan tertelan cakrawala biru yang menyela lautan biru dan
langit biru. Sebuah perpisahan yang mengharu biru. Sampai jumpa para nelayan
Pedalen…
Siap mengarungi lautan raya semalaman. Menuju penghidupan. |
Sisi lain Pedalen. Bisa melihat Pantai Logending yang lebih terkenal sebagai pantai wisata. |
Lanskap dari atas kawasan sekitar Pantai Pedalen. Di Desa Argopeni, Ayah, Kebumen. |
1 komentar
Saya berniat mempromosikan & memasarkan kegiatan wisata Kebumen melalui Sustainable Tourism. Adakah anak muda, kelompok atau individu, warga masyarakat, LSM yg mau berpartisipasi aktif?
BalasHapus