Monumen Cinta Masjid Tua Sultan Amay
Juli 02, 2014Masjid Sultan Amay, tertua di Gorontalo |
Di masjid ini, saya merasakan
romansa cinta yang abadi. Saya temukan sewujud jejak dari kisah kasih seorang
raja yang mencintai seorang putri dari kerajaan seberang. Masjid ini berdiri sebagai
mahar dari pernikahan suci sang raja kepada istri idamannya. Sekaligus, masjid
ini juga menjadi prasasti yang menandai mula kepemelukan Islam secara luas di Gorontalo.
Masjid Hunto Sultan Amay membuka narasi perkembangan Islam di Gorontalo.
Pukul 09.00 WITA di Gorontalo
berarti saya sudah merasakan mentari yang menerik. Maklum, Gorontalo terletak
dekat dengan garis khatulistiwa, di tengah ‘kepala’ Pulau Sulawesi. Tiba di
Masjid Sultan Amay membuat saya merasakan sebuah kesejukan. Saya semacam
menemukan oase sejarah tentang Islam di Gorontalo.
Lebih dari lima abad berdiri
sudah pasti masjid ini mengalami renovasi berkali-kali. Saya melihat rupa
bangunan yang bercat putih berpadu hijau ini telah terpoles dengan sentuhan
arsitektur lebih modern. Ada kubah masjid, ada menara, ada lantai dua dan yang
pasti semua bangunan sudah bertembok. Namun, saya tetap saja tertarik untuk menengok
sejarah sekaligus menyempatkan untuk sholat Dhuha di masjid Sultan Amay.
Nuansa tua dari masjid ini
sangat terasa tatkala berjumpa dengan sebuah sumur ketika saya berwudhu. Sumur
ini berusia sama dengan usia masjid. Seperti khas pendirian sebuah masjid, dimana
dibuat juga sumur sebagai sumber air untuk bersuci. Konon, pembuatan sumur ini
menggunakan telur burung maleo sebagai campuran kapur untuk melekatkan
batu-batu. Saya coba menimba air, ternyata air sangat jernih, tidak berbau dan
tentunya menyejukkan.
Memasuki ruang utama masjid,
saya terkesima dengan interior ruangan. Begitu indah. Begitu romantis. Hiasan
kaligrafi bertebaran di mana-mana. Ruangan asli masjid yang berukuran 12 x 12
meter ini juga dipenuhi dengan sentuhan cat emas di berbagai ornamennya. Ada
yang unik dari keenam pintu masjid di sisi kanan kiri. Rupa pintu ini klasik
seperti berbau pintu model Tionghoa. Saat itu masjid sangat sepi. Selain saya,
hanya ada seorang yang sedang khusyuk sholat dan membaca Al Quran.
Sumur Masjid Sultan Amay. Umurnya sama dengan masjid. Airnya jernih dan tak pernah kering. |
Ruangan utama Masjid yang masih asli. Penuh dengan kaligrafi dan hiasan. Cantik. |
Tulisan kaligrafi yang ada di langit-langit masjid. Penuh ukiran. |
Setelah sholat, tetiba saya
didatangi oleh dua orang ibu. Satunya memperkenalkan diri dengan nama Ibu Nur
Mahmudah dan satunya saya lupa, keduanya merupakan warga sekitar masjid. Aha..
Sepertinya mereka paham kalau saya
adalah orang ‘asing’ sehingga mereka aktif menawarkan bantuan. Saya pun diajak
berkeliling sekaligus diceritakan sejarah tentang masjid Sultan Amay.
“Dimanakah makam Sultan Amay?”
tanya saya paling tertarik dengan makam sosok Raja di Gorontalo yang pertama
kali beragama Islam.
Rupanya makam Sultan Amay
berada tepat di mihrab berbatasan dengan tempat posisi Imam berdiri. Untungnya
sudah dikondisikan dengan adanya batas antara kuburan Sultan Amay dan tempat
posisi Imam berdiri. Mihrab putih yang berukiran cantik dengan hiasan cat emas
ini rupanya juga berusia sama dengan usia Masjid yang telah lebih dari 5 abad.
Ada satu lagi yang setua dengan masjid, yakni bedug dari kulit kambing yang
terletak di sudut kanan depan di dalam ruangan masjid.
Sebuah kisah tentang berdirinya
masjid selalu menarik bagi saya. Bu Mahmudah sukarela mengisahkan bagaimana masjid
ini didirikan Sultan Amay sebagai bukti keislaman dia sekaligus sebagai mahar
pernikahan kepada permaisuri. Masjid Sultan Amay menjadi monumen cinta yang
berlimpah dengan dakwah Islam.
Alkisah Sang Raja Amay,
penguasa Gorontalo yang tampan tapi masih lajang, jatuh cinta kepada putri Boki
Antungo, putri Raja Palasay dari Moutong, Sulawesi Tengah. Tatkala ada
pembicaraan pinangan, Raja Palasay yang telah taat memeluk Islam, mengajukan
satu syarat. Raja Amay boleh menikahi putri asalkan Raja Amay memeluk Islam
dengan bukti membangun sebuah masjid. Raja Amay menyepakati tawaran itu, lalu dibangunlah
Hunto yang kini dikenal dengan Masjid Sultan Amay.
Pada saat jelang pernikahan,
Raja Amay mengumpulkan rakyatnya sebagai upacara pendeklarasian diri memeluk
Islam. Langkah memeluk Islam lantas diikuti
oleh seluruh rakyatnya.
Uniknya, sebelum rakyat
diminta memeluk Islam, Raja mengadakan pesta rakyat besar-besaran dengan
hidangan daging babi. Dalam pesta ini, disertai pengucapan sumpah adat yang menyatakan rakyat terakhir memakan daging
babi. Baru setelah itu, Raja Amay meminta rakyatnya
untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat.
Tak cukup hanya mengajak rakyatnya berislam, Sultan Amay lalu mendatangkan ulama
dari tanah Arab, yakni Syekh Syarif Abdul Aziz untuk memperkuat ajaran Islam. Masjid Sultan Amay pun menjadi pusat penyebaran Islam
di Gorontalo. Ulama-ulama dari Nusantara juga didatangkan untuk berdakwah. Saat
ini, di belakang masjid, terdapat beberapa makam ulama yang dulu
menyebarluaskan Islam di Gorontalo.
Pintu masjid di samping. Unik. Mirip bergaya Tionghoa. |
Mimbar masjid. Setua dengan masjid. Masih asli. |
Pintu depan masjid. |
Bagi saya, Masjid Sultan Amay telah membuka cakrawala tentang sejarah
panjang Islam di Gorontalo. Bersama Ternate, Bone dan Makassar, Gorontalo menjadi
pusat dakwah Islam di kawasan Indonesia Timur. Gorontalo punya sebutan sebagai
Kota Serambi Madinah. Islam juga masuk dalam filosofi budaya masyarakat
Gorontalo, yakni "Adat bersendikan syarak; dan syarak bersendikan
Kitabullah (Al-Quran)”
Saya jujur terkesan dengan keberislaman masyarakat Gorontalo yang kuat.
Nuansa keislaman di penjuru kota begitu kentara. Setidaknya, di permukaan, bisa
dilihat hampir semua perempuan yang saya
temui di ruang publik mengenakan jilbab. Atau, agak mendalam, saat waktu sholat
tiba, masjid cukup ramai untuk berjamaah. Semoga memang sesungguhnya demikian,
tak sekedar seperti apa yang saya lihat.
Sejam cukuplah untuk menyigi khasanah Masjid Sultan Amay. Di ujung
kunjungan di Masjid Sultan Amay, saya
cukup kaget dengan pertanyaan Bu
Mahmudah.
“Sudah menikah mas?” tanyanya semangat. Dia sepertinya tak sekedar
bertanya karena dia meneruskan bahwa dia
punya anak perempuan sedang kuliah semester akhir di sebuah perguruan tinggi di
Gorontalo. Saya kira ini bercanda.
Haduuuh, Bu. Saya maksud pertanyaan ini. Saya harus jujur namun perlu
berdiplomasi agar tidak menyinggung beliau. Saya jawab saja. “Belum Bu, tapi
sudah ada yang menunggu di Jawa.”
Aha, romansa cinta di Masjid Sultan Amay itu benar ada. Saya pun
merasakannya langsung. Untunglah, saya tak mengabadikannya. Cukuplah saya
bertakzim saja di Masjid Sultan Amay untuk beribadah dan mengenang sejarah.
Tampak depan Masjid Sultan Amay yang menjadi monumen cinta abadi Sultan Amay dan permaisurinya |
Bentuk pintu. Gaya klasik. |
0 komentar