Menengok Masjid Kesultanan Bima
Juli 01, 2014Masjid Kesultanan Bima, pusat syiar Islam di Bima |
Hampir tiga abad Masjid
Kesultanan Bima berdiri melintas zaman. Tetap teguh menjadi pusat syiar agama
Islam meski saat ini kesultanan tengah terbenam. Ya, seperti itulah ciri khas
sebuah jejak peradaban dari kesultanan Nusantara di masa kini. Tengara ibadah tetap bertahan, tapi hanya tersisa
sedikit kuasa kesultanan yang bertahan. Seperti di Bima ini, kota di ujung
timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Kumandang adzan Sholat Jumat
membahana di seluruh penjuru kota. Bagi saya dan kawan saya, Lingga, suara
nyaring itu berarti panggilan untuk datang ke masjid yang terletak di sebelah
selatan Lapangan Sera Suba, alun-alun Kota Bima. Bersama dengan ratusan
masyarakat daerah yang dikenal juga sebagai Dou
Labo Dana Mbojo, kami menunaikan ibadah Sholat Jumat di Masjid Kesultanan Bima.
Tapi, ada satu hal lagi yang
lebih akrab di memori saya. Arsitektur Masjid Kesultanan Bima sangat mirip
dengan masjid-masjid yang ada di Jawa. Apalagi kalau atapnya berupa atap
tumpang. Ada juga menara yang berada di sisi kanan dan kiri teras masjid.
“Menurut Tome Pires yang
berkunjung ke Bima pada tahun 1513 Masehi, pada masa itu pelabuhan Bima ramai
dikunjungi pedagang Nusantara. Pedagang Bima pun sudah berlayar menjual barang
dagangannya ke Ternate, Banda, dan Malaka, serta singgah di setiap pelabuhan di
Nusantara. Pada saat inilah, kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima,
selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam,” kata sejarawan dan
Indonesianis Prancis Henry Chambert-Loir dalam bukunya, Bima dalam Sastra dan Sejarah.
Persinggungan Bima dengan Jawa terjadi karena Bima berada di jalur
pelayaran perdagangan Nusantara. Dari situ, pedagang dan mubaligh dari Jawa
datang ke Bima menyebarkan Islam. Atau juga, bisa jadi orang-orang Bima pergi
berdagang ke Jawa lalu pulang dengan membawa ajaran Islam.
Kondisi dalam masjid. Menyejukkan di tengah kota Bima yang terkenal panas. |
Melihat Kota Bima dari Bukit Dana Taraha. Terpandang keramaian kota di ujung timur Sumbawa. |
Masjid Kesultanan Bima
dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Zilullah Fil Alam, sultan ke-VIII pada tahun
1770 M. Pembangunan disempurnakan oleh putranya, Sultan Abdul Hamid, yang
mengubah bentuk atap rumah ibadah itu menjadi atap bersusun tiga, mirip atap
Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah. Namun, Masjid Kesultanan hancur dibom oleh
pasukan Sekutu pada tahun 1943 M, saat Bima diduduki Jepang. Hanya tersisa
mimbar masjid yang selamat dari kehancuran itu.
Sultan Bima ke-XV, Sultan Muhammad Sallahuddin (1915-1951) membangun
kembali masjid yang merupakan satu kesatuan erat dengan Kesultanan Bima. Pada
tahun 1990 M, Hj. Siti Maryam, putri Sultan Sallahuddin memugar Masjid
Kesultanan Bima serupa kembali dengan wujud aslinya dahulu sebelum hancur. Sekarang,
masjid yang berwarna dominan putih ini memiliki nama Masjid Sultan Muhammad
Salahuddin.
Sepertinya, penyematan nama masjid ini bisa jadi adalah ungkapan rindu masyarakat Bima
teruntuk keberadaan lagi Kesultanan Bima.
Adanya sebuah kesultanan sekiranya bisa
mengembalikan kejayaan Bima sebagai pusat
dakwah Islam yang dirasa kini mulai memudar. Sejarah menyatakan Kesultanan Bima yang memeluk Islam telah berdiri sejak abad 17. Sebelumnya, telah berdiri
juga Kerajaan Bima yang konon berkaitan dengan sejarah Majapahit.
Seperti tertulis dalam salah
satu bo atau kitab catatan kerajaan,
pada tahun 1640 Ruma Ta Ma Bata Wadu, Raja Bima ke-27, menikah dengan perempuan
bernama Daeng Sikontu, adik istri Sultan Makassar Alauddin yang Islam. Karena
perkawinan itu, Sang Raja memeluk agama Islam. Ia pun mengganti gelar dan nama
menjadi Sultan Abdul Kahir. Ialah sultan Bima pertama yang beragama Islam.
Selesai sholat, saya mengulik beberapa titik yang ada di masjid ini.
Seperti biasanya masjid kesultanan, ada juga makam-makam dari raja dan keluarga
kesultanan. Salah satunya, makam dari Sultan Abdul Kadim yang membangun masjid
ini. Saya lihat, beberapa warga setelah Sholat Jumat mengunjungi makam,
berziarah. Pemandangan ini seperti khas yang ada di kawasan Pantura Jawa.
Beberapa bulan kemudian, tanggal 4 Juli
2013, saya dengar ada penobatan Sultan
baru Bima. Bertahtalah Sultan Bima ke 16, Jena Teke H. Ferry Zulkarnain. Tapi, harus diakui bahwa legitimasi kesultanan atau
kerajaan sejak berdirinya Republik Indonesia tiadalah kuat. Hanya pengayom adat
dan agama. Seperti itulah mungkin yang juga dialami Kesultanan Bima saat ini.
Catatan:
Perjalanan saya ke Bima dilakukan pada 4-6 April 2013 dalam satu rangkaian
Kembara Nusa Tenggara (bisa dibaca di sini prolog kisahnya). Bima menjadi salah
satu kota yang kami singgahi. Terima
kasih kepada Dian Pratiwi sekeluarga yang sudah banyak membantu kami saat di
Bima.
Di Masjid Kesultanan Bima, juga terdapat makam-makam Sultan Bima dan keluarganya. |
Tengara sejarah di Masjid Kesultanan Bima. Pernah dibom oleh Sekutu pada PD II. |
Atap tumpang dan menara. Bangunan beraksitektur seperti di masjid-masjid Jawa. |
Suasana Kota Bima. Panas menyengat dan tidak terlalu ramai. Kota kedua terbesar di Nusa Tenggara Barat. |
4 komentar
Saya pernah juga jum'atan disini. Yg menarik mimbar buat khatib, ada tombaknya kalo gak salah.
BalasHapusSeingetku sih ada juga.. waktu itu lupa gak motret, krena khusyuk menyimak khatib.. #eh..
Hapuswah...sipp daerah asalku..
BalasHapussiiip bang m13r.. senang bisa turut menceritakan ttg Masjid kebanggaan masyarakat Bima.. salam kenal..
BalasHapus