Wae Rebo, Kopi dan Tenun
Mei 14, 2014Wae Rebo, kampung dipeluk mesra oleh awan. Eksotis |
Kabut mulai turun dari
puncak-puncak perbukitan yang mengelilingi kampung Wae Rebo. Negeri kecil ini
pun tersaput oleh panorama serba putih. Sesekali gerimis menyapu ringan yang
membawa hawa sejuk di tengah siang. Tapi, tak berarti realitas Wae Rebo lantas
sepi tersibak muram. Kemeriahan geliat warga pun dengan mudah ditemukan di
setiap penjuru kampung yang telah terkenal di seantero jagat.
Kampung Wae Rebo adalah
realitas sebuah kampung mini yang mendunia baru menusantara. Letaknya yang
sangat terpencil ternyata sudah bergaung ke berbagai penjuru dunia. Betapa
tidak, kunjungan wisatawan mancanegara lebih dulu mendominasi beberapa tahun
lalu dibanding wisatawan domestik.
Pada tanggal 27 Agustus 2012, sebuah sejarah besar untuk Wae Rebo tercipta. Badan PBB
untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menganugerahi Wae Rebo sebagai peraih
Award of Excellence pada UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage
Conservation. Sebuah penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan
budaya. Wae Rebo mengalahkan pesaing-pesaingnya di Asia yang tak kalah
berkualitas. Sejak saat itu gaung Wae Rebo mulai nyaring terdengar di negeri
sendiri, di tingkat internasional Wae Rebo juga makin masyhur.
Adalah Mbaru Niang yang
menjadikan Wae Rebo terkenal dan mendapat penghargaan. Mbaru Niang merupakan
rumah khas orang Manggarai berbentuk kerucut raksasa. Meski begitu,
keberadaannya di Manggarai telah digantikan mayoritas rumah ‘generik’ yang
berbentuk persegi dan beratap seng.
Hanya di Wae Rebo, konstruksi Mbaru Niang
dapat lestari dan berjumlah lengkap, yakni tujuh buah. Saat ini, Wae Rebo telah
menjadi tujuan wisata unggulan di Flores. Perlahan tapi pasti aktivitas ekonomi
masyarakat setempat pun bergeliat.
Khusyuk menenun. |
Menenun menjadi rutinitas hidup bagi Lena dan perempuan Wae Rebo lainnya. |
Di kolong lantai salah satu Mbaru
Niang, Lena (32) tampak khusyuk memainkan benang-benang di alat tenun
tradisionalnya. Dia menyibukkan sepanjang hari ini untuk menciptakan kain tenun
khas Wae Rebo. Setiap perempuan di Wae Rebo memang mesti ahli dalam menenun.
Menenun menjadi salah satu kesibukan perempuan Wae Rebo sekaligus untuk menambah penghasilan
keluarga.
“Kain ini kalau terus menerus
dikerjakan bisa jadi dalam waktu seminggu.” ungkap Lena. Satu kain tenun setidaknya jika dijual bisa
berharga mulai dari Rp 500 ribu. Tapi, sebagian juga dipakai untuk keperluan
pribadi. Saya mengamati kain yang sudah jadi memang begitu indah nan anggun.
Saya kini berpindah ke lokasi di luar kampung utama Wae Rebo. Saya mencoba
mengulik kehidupan kopi Wae Rebo. Mama Sisca tampak sedang menumbuk kopi
beserta putrinya. Dia menumbuk kopi yang langsung dipetik dari kebun kopi di
sekitar rumahnya. Kopi menjadi penghasilan utama bagi masyarakat Wae Rebo.
Masyarakat menanam kopi arabica dan robusta. Tatkala saya memasuki kampung Wae
Rebo tadi, saya sudah disambut dengan hamparan kebun kopi. Andai saat itu
sedang musim panen kopi pasti meriah dengan aktivitas warga memetik biji kopi.
Kopi Wae Rebo memiliki kekhasan yang sangat baik. Betapa tidak, ditanam di
ketinggian di atas 1.500 meter, kopi Wae Rebo menjanjikan kualitas tanaman kopi
yang terjaga oleh iklim sejuk. Selain itu, yang paling penting adalah kopi Wae
Rebo sangat organik. Tak ada bahan kimia yang tercampur pada tanah tempat
tumbuh kopi Wae Rebo.
Di Kampung Wae Rebo, saya menikmati tiga gelas kopi dalam jangka waktu
yang hampir bersamaan. Jelas saya tak berani menjajalnya jika meminum kopi
sampai tiga kali ini di kota di Jawa. Pasti perut saya akan mual. Tapi di Wae
Rebo, saya begitu enteng menjajalnya. Saya teringat dengan ucapan Bang Ary
Suhandi, seorang direktur eksekutif INDECON yang masuk ke Wae Rebo secara
bersamaan dengan saya setahun lalu. INDECON adalah salah satu LSM yang
menggiatkan ecotourism di Wae Rebo.
Sisca menumbuk kopi. Kopi adalah lahan hidup andalan masyarakat Wae Rebo |
Biji kopi Arabica yang sudah matang memerah. Kopi Wae Rebo sangat organik. |
“Manusia mengalami adaptasi penuh di lingkungan yang alami seperti Wae
Rebo. Alam mendukung aktivitas apapun yang harmonis dengannya. Termasuk kopi
yang diminum, orang luar akan merasa berlaku seperti apa yang orang Wae Rebo
lakukan.” ungkap Ary yang sudah diangkat menjadi warga istimewa di Wae Rebo.
Kabut masih awet menunggui Wae Rebo. Ya sudah pasti karena banyak yang
bilang Wae Rebo adalah negeri yang diselimut kabut. Misty Wae Rebo, begitulah
sebutan populernya. Sambil menunggu kabut pergi, saya lantas mengakrabi
bocah-bocah kecil Wae Rebo. Mereka banyak berkeliaran di lingkaran Mbaru Niang.
Yang membuat saya begitu suka dengan bocah-bocah Wae Rebo adalah mereka begitu
suka difoto. Ekspresi polosnya menyiratkan ketentraman jiwa yang jauh dari
modernitas peradaban. Senyum manisnya memberi saya kegembiraan sejati di Wae
Rebo.
Saya paham beberapa jam di Wae Rebo tak kan mungkin membuat saya tahu
seluruh pesona Wae Rebo. Namun ketika mengakrabi mahakarya Mbaru
Niang,keindahan kain tenun, kenikmatan kopi, dan kelucuan bocah-bocah di Wae
Rebo, saya serasa menangkap intisari kampung yang begitu eksotik ini. Sekalipun
sudah pernah menikmati Wae Rebo, saya tak akan ragu jika suatu saat nanti
pulang kembali ke Wae Rebo. Selalu ada ruang unik cerita yang menghinggapi Wae
Rebo.
Mohe Wae Rebo! Hidup Wae Rebo!
Catatan:
- tulisan ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya
mengikuti Adira Faces Of Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang
diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014
- tulisan ini juga bisa ditemui di https://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2936/Mengakrabi-Wae-Rebo
Membuat bubuk kopi dengan cara tradisional. Ditumbuk dengan alu. |
Kopi yang sedang ditumbuk. Harus dilakukan berulang-ulang sampai halus. |
Hampir di setiap pekarangan warga ada tanaman kopi. Kopi ini masih hijau belum matang. Tunggu seminggu lagi. |
Mama Sofia menjajakan tenun dan kopi khas Wae Rebo. |
Edo menjadi sekelumit bocah Wae Rebo yang menyemarakkan kehadiran kami saat itu. Polos sekali. |
Pak Rafael Liwang dan sekeluarga yang menghuni salah satu Mbaru Niang. |
Seorang nenek sepuh di Wae Rebo. Dia bingung saat kami datang. Tak bisa bahasa Indonesia. |
Wae Rebo beranjak disaput kabut. Makin dingin, makin eksotis. |
1 komentar
cara membuat kopinya sangat tradisional sekali, rasanya mungkin akan sangat berbeda dengan kopi yang di olah dengan cara modern..
BalasHapus