Pulang ke Wae Rebo
Mei 12, 2014Prosesi Wae Lu'u untuk mengangkat tamu Wae Rebo menjadi anak dan keluarga Wae Rebo. |
Hadir kedua kalinya ke Wae Rebo, saya tidak dianggap lagi sebagai
wisatawan yang berkunjung ke kampung yang menjadi jantung tradisi etnis
Manggarai. Kehadiran saya kali ini dianggap sebagai sebuah kepulangan. Saya
dianggap sebagai seorang anak Wae Rebo yang pulang ke kampung halamannya.
Setiap orang yang hadir ke Wae Rebo akan diangkat menjadi anak Wae Rebo. Tak
peduli dia berasal dari suku Manggarai, orang Indonesia bahkan para turis-turis
mancanegara.
Setiap orang yang pertama kali ke
Wae Rebo, ia harus mengikuti Wae Lu’u. Wae Lu’u
adalah upacara adat agar sang tamu diterima oleh leluhur Wae Rebo. Wae Lu’u
juga merupakan upacara pengangkatan tamu menjadi anak Wae Rebo, bagian dari
keluarga besar Wae Rebo. Setiap tamu yang
datang ke Wae Rebo harus diterima secara adat. Tidak bisa seorang tamu
melakukan aktivitas di kampung Wae Rebo – misal memotret sekalipun – sebelum
menjalani Wae Lu’u.
Martinus Anggo menjadi pendamping
kami dalam upacara Wae Lu’u. Saat itu selain kami, ada tamu seorang perempuan dari Jakarta yang
hadir bebarengan kami. Dia dipandu oleh Martinus Anggo. Martinus adalah
penggiat wisata Wae Rebo yang biasa mengantarkan turis asing masuk ke Wae Rebo.
Keempat kawan saya dari Adira FOI duduk bersebelahan di atas tikar, segaris
dengan Martinus Anggo. Sedangkan saya di duduk di sebelah Vitalis, di
pojok depan. Saya tak perlu mengikuti
Wae Lu’u. Kali ini saya hanya mengamati
saja.
Di tengah ruang Mbaru Tembong – rumah
utama Wae Rebo, dua orang tetua adat telah duduk bersila di tengah ruang.
Rofinus Nompor dan Rafael Liwang dari
generasi ke-18 Wae Rebo. Para tetua ini akan
memimpin Wae Lu’u atas kehadiran kami di Wae Rebo.
Dalam bahasa Manggarai, Martinus Anggo lantas memperkenalkan kami. Disebutlah siapa kami,
maksud kedatangan kami, dan harapan agar kami dilindungi selama di Wae Rebo. Martinus juga
menerjemahkan kepada kami makna perkenalan kepada para tetua. Martinus lalu maju menemui tetua sembari memberi uang adat dari kami sebagai tanda permisi ke Wae Rebo.
Martinus Anggo sedang menjelaskan budaya dan sejarah orang Wae Rebo |
Ayam sebagai simbolisasi penerimaan anak Wae Rebo. Tamu diminta memegang sebagai tanda izin ke leluhur. |
Pemberian uang adat harus
dilandasi rasa sukarela dan ikhlas. Rofinus menerima dan menganggukkan kepala.
Itu tanda persetujuan dan terima kasih darinya mewakili leluhur Wae Rebo. Martinus lalu mundur kembali. Rofinus lalu berseru-seru dalam bahasa lokal. Dia merapal keras
doa-doa Wae Lu’u.
Wae Lu’u diawali dengan
lantunan duka cita dan doa kepada para leluhur yang telah berjasa. Selanjutnya,
permohonan perizinan dan perlindungan atas kedatangan tamu kepada leluhur.
Beberapa kali nama kami disebut. Asal kami dari Jawa, Makassar, Palembang
dan Lombok juga diseru-serukan. Saya yang pernah mengikuti
Wae Lu’u juga merasa merinding mendengar
seruan Rofinus. Bergetarlah hati saya. Terkenang lagi pada sakralitas upacara Wae Lu’u setahun lalu.
“Sekarang Anda telah menjadi
anak kandung Wae Rebo. Bukan lagi tamu dari luar Wae Rebo. Leluhur sudah kenal ” ungkap Rofinus sesudah
melantunkan doa-doanya sambil memangku ayam yang dijadikan simbol bahwa sang anak
telah diberi lindungan oleh para leluhur.
Upacara Wae Lu’u selesai. Sekarang dari tim Adira FOI tak hanya saya saja
yang telah menjadi anak Wae Rebo. Ketiga kawan saya juga menjadi anak Wae Rebo
plus Pak Bosco – guide kami yang meski dia orang Manggarai tapi baru pertama
kali ke Kampung Wae Rebo. Kini kami dipersilakan menuju Mbaru Niang yang khusus
untuk diperuntukkan kepada para tamu. Suguhan kopi dan hidangan makan siang
sebentar lagi tersaji.
Catatan:
- tulisan ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya
mengikuti Adira Faces Of Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang
diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014
- tulisan ini juga bisa ditemui di
http://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2935/Pulang-ke-Wae-Rebo
Santap sederhana tapi meriah tamu-tamu Wae Rebo dengan petinggi adat. |
Perempuan Wae Rebo sedang mempersiapkan makanan untuk tamu Wae Rebo. Kompak dan akrab. |
Menu yang sederhana tapi sangat berharga di Wae Rebo. Dimasak oleh ibu-ibu Wae Rebo. |
Mengintip realitas pengunjung dan masyarakat Wae Rebo |
0 komentar