Merawat Mbaru Niang
Mei 16, 2014Mbaru Niang. Berasap ketika dapur sedang mengepul.. Rumah yang sangat penuh makna. |
“Pemahaman akan kebutuhan
bersahabat dengan alam itu bagi masyarakat perlu diturunkan kepada generasi
berikutnya sejauh pengalaman cara berhubungannya pernah membuahkan hasil
gemilang yang membahagiakan semua anggota.”
- Prof. Gunawan Tjahjono, Guru Besar Arsitektur UI dalam buku “Pesan dari Wae Rebo”
Sejarah lisan masyarakat Wae Rebo menyebutkan bahwa Mbaru Niang telah ada sejak ratusan tahun. Empo Maro, sang pendiri
kampung Wae Rebo yang dilanjutkan keturunannya
mewarisi teknik pembangunan Mbaru Niang. Bangunan Mbaru Niang menggunakan
teknologi ikat pada sambungan struktur bangunan. Rotan menjadi pengikat bambu
dan kayu. Hasilnya menciptakan bangunan yang kokoh tapi fleksibel.
“Bangunan Mbaru Niang
diteliti oleh peneliti ITB bisa tahan gempa. Sejak ratusan
tahun lalu, leluhur sudah hidup harmonis dan tahu kondisi alam Manggarai yang
rawan gempa, sehingga diciptakanlah Mbaru Niang yang bisa tahan gempa.” ucap Martinus Anggo yang sering mendampingi berbagai peneliti yang
melakukan penelitian di Wae Rebo.
Saya memahami karakteristik tanah Flores yang memang rawan dengan
aktivitas tektonik dan vulkanik. Flores adalah bagian dari jalur Cincin Api dimana aktivitas vulkanik dan tektonik dunia berpusat
di dalamnya. Leluhur Wae Rebo tahu betul
karakteristik tanah Flores khususnya Manggarai yang ‘aktif'.
Arsitektur Wae Rebo pun menyediakan
sebuah pelajaran penting tentang
kearifan arsitektur tradisional Nusantara yang bisa bertahan berabad-abad. Wae
Rebo bisa menjadi contoh komunitas yang terbukti bisa bertahan seribu tahun dalam
lingkungan rawan bencana. Pembangunan di
Indonesia harus belajar banyak dari kearifan orang Wae
Rebo.
Di atas Mbaru Niang yang paling utama: Mbaru Tembong ada Ngando, sebentuk tanduk kerbau |
Pak Rafael Liwang, tetua Wae Rebo penjaga tradisi Mbaru Niang. |
Mbaru Niang secara pokok
memiliki lima tingkatan. Tingkatan pertama disebut tenda. Lantai dasar ini
menjadi tempat berlangsungnya kegiatan para penghuni Mbaru Niang. Tenda dibagi
dua yakni nolang dan lutur. Nolang
merupakan zona privat tempat aktivitas keluarga, terdiri kamar tidur dan
tungku. Lutur adalah zona publik tempat tamu beraktivitas.
Tingkat kedua hingga kelima
disebut berurutan, yakni lobo, lentar, lemparai dan hekang kode.
Tingkat-tingkat ini berfungsi untuk menyimpan bahan makanan, meletakkan
peralatan rumah dan kayu api. Lalu, di tempat paling pucuk ada ruang bernama
kilikiang untuk menaruh langkar atau peranti sesaji.
Ada sembilan tiang yang
menjadi penopang beban bangunan pada Mbaru Niang, disebut hiri mehe. Pada Hiri
mehe paling tengah lalu diteruskan dengan mendirikan Ngando dari kayu worok
yang akan menembus atap. Untuk membentuk topi kerucut pada Mbaru Niang
dibuatlah rangka dari bambu, yang disebut buku. Lalu, atap Mbaru Niang yang
berasal dari alang-alang dan ijuk diikatkan pada buku. Atap alang-alang ini
disebut Wehang.
Di Wae Rebo, ada dua jenis
Mbaru Niang, yakni satu rumah utama disebut Mbaru Tembong atau Niang Gendang
dan enam rumah biasa disebut Niang Gena – masing-masing tiga di sisi kanan dan
kiri Mbaru Tembong. Mbaru Tembong
berdiameter 14 meter dengan tinggi 14 meter. Adapun Niang Gena berdiameter 11
meter dengan tinggi 11 meter. Pada Ngando Mbaru Tembong berbentuk seperti
tanduk kerbau.
Mbaru Tembong dihuni oleh
delapan keluarga yang merupakan semua utusan keluarga keturunan moyang Wae
Rebo. Penghuni Niang Gena adalah pemekaran keluarga di Mbaru Tembong yang
jumlahnya enam keluarga. Seiring berkembangnya penduduk Wae Rebo, banyak yang
mendirikan rumah di sekitar Wae Rebo atau keluar di daerah Denge dan Kombo.
“Mbaru Niang di Wae Rebo
memiliki nama masing-masing. Dari sebelah barat, Niang Gena Mandok, Niang Gena
Jekong, Niang Gena Ndorom, Mbaru Gendang, Niang Gena Karo, Niang Gena Jintarn
dan Niang Gena Maro yang untuk wisatawan.” jelas Martinus
Di tengah ketujuh Mbaru Niang
itu, terdapat gundukan batu yang disebut compang.
Compang merupakan tempat di tengah-tengah halaman Mbaru Niang. Berfungsi
sebagai pusat pelaksanaan upacara adat dan tempat persembahan di Wae Rebo. Compang terbentuk dari gundukan tanah
dipagari tumpukan batu yang dibentuk melingkar. Di tengahnya, terdapat sebuah
tiang kayu sebagai tugu pusat peringatan.
Setiap kali saya menikmati Wae Rebo, saya paling senang duduk di atas compang.
Di sinilah saya bisa
menyaksikan ketujuh Mbaru Niang
merekat mencipta setengah lingkaran.
Seperti saya dipeluk oleh ketujuh bangunan yang menjadi tradisi
kebanggaan orang Wae Rebo. Di sinilah
saya seperti merasakan kehadiran leluhur Wae Rebo yang begitu cantiknya
mendesain Mbaru Niang yang bisa berharmonis dengan lingkungan sekitar.
Catatan:
- tulisan ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya
mengikuti Adira Faces Of Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang
diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014
- tulisan ini juga bisa ditemui di https://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2938/Merawat-Mbaru-Niang
- tulisan ini juga bisa ditemui di https://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2938/Merawat-Mbaru-Niang
Konstruksi atap kerucut Mbaru Niang yang bertingkat-tingkat. Dilihat dari dalam. |
Mbaru Niang dalam selimut kabut. |
Kucing kini menjadi hewan penghuni Mbaru Niang. Belum lama didatangkan ke Wae Rebo. |
Eksis dulu di Wae Rebo dengan Mbaru Niangnya yang berjumlah tujuh. |
3 komentar
Menarik sekali ya bisa bersahabat dengan alam yang masih keliatan alami... saya sendiri yang hidup di kota selalu senang jika main ke tempat dimana alam masih alami
BalasHapusmas Adi Pradana, makasih sudah berkunjung ke blog saya.. :D
Hapusalam menawarkan persahabatan yg bisa meredam gundah kehidupan. :D
kampungnya terhalang oleh kabut yang begitu tebal, sangat menarik..
BalasHapus