Jumpa Lagi Pak Vitalis, Saudara Wae Rebo
Mei 09, 2014
Sunrise dari belakang rumah Vitalis di Kampung Kombo. G. Inerie dan G. Ebulobo
Foto: A. Mei Harmawansah
|
Tahukah Anda, bagaimana perasaan saya ketika saya tahu akan kembali lagi ke Wae Rebo? Sudah pasti saya sangat girang gemilang. Seperti saya akan pulang ke rumah di kampung halaman. Ekspedisi Adira Faces of Indonesia: Ubek Negeri, Copa de Flores memberi saya kesempatan untuk hadir lagi di Wae Rebo.
Bagi saya, Kampung Wae Rebo telah memberi pesan mendalam bagi perjalanan saya
memaknai kekayaan budaya di bumi Nusantara. Kampung yang terselinap sunyi di
jantung pegunungan Manggarai ini secara sempurna menawarkan keluhuran budaya,
panorama alam dan keramahan manusia. Inilah kenapa kenangan Wae Rebo begitu
membekas di sanubari saya. Saya begitu menyukai khasanah yang disediakan Wae
Rebo.
Dari segala memori tentang Wae Rebo, yang paling indah adalah persaudaraan
saya dengan Vitalis Haman (52). Setahun lalu, dia adalah partner – lebih suka saya menyebutnya demikian
alih-alih porter atau guide – saat saya memasuki Wae Rebo. Kami menjalin
persaudaraan yang berlanjut hingga sekarang. Paling tidak sekali sebulan, kami
pasti saling berkirim kabar. Teringat jelang pamitan dari rumahnya yang berada di
Kampung Kombo, kampung kembaran Wae Rebo, saya bilang kepadanya. “Tahun depan
semoga saya bisa kembali lagi ke sini.”
Ucapan itu pun jadi kenyataan. Allah Maha Pemurah mengantarkan ucapan itu menjadi nyata bagi saya.
Ucapan itu pun jadi kenyataan. Allah Maha Pemurah mengantarkan ucapan itu menjadi nyata bagi saya.
Tanggal 16/03/2014, belum lima menit lepas dari pukul 04.00 WITA,
rombongan Ekspedisi Adira FOI Ubek Negeri tiba di Kampung Kombo.
Saya datang
bersama rekan terbaik saya, A. Mei dan tim lain Astari – Anshari, serta guide Pak Bosco dan supir Bang Robi.
Kampung Kombo saat itu sangat sepi. Penduduknya masih terlelap pada sunyi
kampung yang listriknya hanya menyala sampai pukul 12 malam. Dalam linangan
rembulan jelang purnama yang remang, saya coba mengingat dimana rumah Pak
Vitalis.
Saat itu, kondisi kami benar-benar sempurna lelah. Betapa tidak, kami
melakukan perjalanan panjang dan berliku-liku menyisir daratan Flores. Berangkat
dari Kelimutu pagi hari sampai Kampung Kombo pukul 4 pagi hari berikutnya.
Salut untuk Bang Robi atas staminanya yang luar biasa. Jarang-jarang ada sopir
yang mau rela ‘bersusah payah’ menempuh medan ‘gila’ Flores seperti ini. Dengan
mata setengah mengantuk saya mengetuk pintu rumah Pak VItalis. Tok.. tok..
tok..
Bersama saudara Wae Rebo: Pak Vitalis Haman dan putranya |
Disambut dengan sarapan karena kebaikan hati keluarga Pak Vitalis. Sarapan mie instan tapi sangat berharga. |
Seketika pintu rumah terbuka, saya langsung memeluk Pak Vitalis.
“Syukurlah adik Iqbal bisa datang kembali ke sini.” ungkapnya begitu senang
menyambut saya. Pak Vitalis lebih nyaman memanggil saya sebagai adik. Namun,
bukannya saya panggil dia Kakak, saya tetap memanggilnya Pak Vitalis. Maklum,
beliau sudah berumur setengah abad. Dia merupakan generasi ke 18 dari penduduk
Wae Rebo. Dia mempersilakan kami masuk untuk duduk di kursi kayunya yang
sederhana. Ah, tiada yang berubah dari suasana rumah ini. Masih sama selayak
tahun lalu.
Kami lalu mengobrol deras. Apalagi kalau bukan yang diobrolkan pertama
kali adalah tentang kabar kami. Saya cukup senang mendengar kabar dia
sekeluarga sekarang sehat. Meski belum lama ini putri perempuannya sehabis
sakit hingga menginap di rumah sakit. Lalu, saya pun menjelaskan maksud
kedatangan tim Adira FOI ke Wae Rebo. Sekalian saya meminta dia menjadi
‘partner’ lagi saat masuk ke Wae Rebo.
Suguhan kopi lalu datang dibawakan oleh istri Pak Vitalis. Seperti biasa,
orang Wae Rebo dan Flores pada umumnya sangat senang menyambut tamunya dengan
suguhan kopi. Kopi hitam ini diambil langsung dari kebunnya, ditumbuk sendiri
dan senantiasa ditawarkan kepada tamu yang datang. Ini adalah sebuah romantika
pagi bagi saya yang mnegaskan kehangatan Pak Vitalis dan sekeluarga makin
sempurna bersama secangkir kopi asli dataran Wae Rebo. Ternyata tak cukup satu,
saya menyeruput kopi yang kedua.
Langit di luar rumah mulai terang. Saya pun keluar rumah menikmati
realitas pagi Kampung Kombo yang mulai bergeliat. Tampak berjalan tenang di
jalan kampung, si Dela, bocah kecil berambut gimbal yang mengingatkan seperti
bocah gimbal Dieng. Ah, tapi dia anak asli Wae Rebo tapi kelahiran Kalimantan.
Semburat jingga di ufuk timur lalu memantik saya dan kawan-kawan saya ke area
belakang rumah Pak Vitalis dan tetangganya.
Kami pun syahdu menyambut detik-detik baskara muncul dari cakrawala timur.
Raja siang ini terbit dari sela Gunung Inerie dan Ebulobo yang membatas manis
dengan lautan. Disongsong merah langit lalu surya muncul membulat merah. Siapa
yang berani mendustakan keindahan ini?? Ah, sebuah pagi yang sempurna untuk
mengawali perjalanan sempurna ke Wae Rebo.
Mari bergegas, kami pun lekas bersiap untuk berjalan menuju Wae Rebo.
“Eh tunggu dulu, mari makan dulu. Ibu sudah masak. Kita mesti sarapan dulu
agar kuat jalan masuk. Empat jam lho kita nanti jalannya.” ajak Vitalis.
Sungguh begitu murah hati Vitalis sekeluarga. Keluarga yang hidup
sederhana ini sampai rela pagi-pagi menyiapkan menu sarapan kepada tamunya yang
datang jauh-jauh untuk berpetualang. Meski
menunya sederhana, sekedar indomie goreng dan sayur labu, sarapan ini sangat
penting bagi kami sebagai energi kami untuk masuk ke Wae Rebo. Sejujurnya juga,
sarapan ini adalah penyelamat bagi kami yang memang lapar dari tadi ‘dimakan’
perjalanan semalaman.
Catatan:
- tulisan
ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya mengikuti Adira Faces Of
Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang diselenggarakan Adira Finance dan
Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014
- tulisan
ini juga bisa ditemui di
http://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2933/Awal-Pagi-yang-Hangat-Kampung-Kombo
- Terima
kasih atas izin foto dari A. Mei Harmansah untuk foto sunrise dan bocah gimbal.
Dia adalah fotografer penggiat PERFORMA (Perkumpulan Fotografer Makassar)
sekaligus rekan setim Eksepedisi Copa de Flores
Wae Rebo, kehadiran kedua saya ke kampung yang eksotis ini. |
Masyarakat Kampung Kombo melepas perjalanan kami ke Wae Rebo. |
Dari kiri ke kanan: Roby, Vitalis, saya, A. Mei dan Toliq Anshari |
Eman, putra paling kecil Pak Vitalis |
Dela, bocah gimbal Kampung Kombo yang meramaikan pagi kami. Foto: A. Mei Harmawansah |
0 komentar