Empat Jam Menuju Wae Rebo
Mei 10, 2014Pos Poco Roko, pos kedua menuju Wae Rebo |
Wae Rebo adalah kampung yang terpelosok di dalam hutan pegunungan. Siapa saja yang ingin mendatanginya mesti berjalan kaki paling tidak sekitar 4 jam. Menembus rimbunnya hutan, mengikuti setapak yang berbatas tebing dan jurang. Bagi yang suka petualangan, perjalanan ini seperti mendatangi sebuah kampung yang tersimpan rapat-rapat dari peradaban luar.
Pagi itu begitu cerah. Sebuah pagi yang tak disaputi oleh awan sekalipun
saat kami mulai melangkah keluar dari rumah Vitalis Haman. Vitalis mengajak
anaknya Eman yang masih kelas 5 SD sebagai teman perjalanan kami. Waktu itu,
jam HP saya menunjuk pukul 06.15 WITA. Kami lalu diantar
mobil untuk ke Kampung Denge, gerbang awal perjalanan menuju Wae Rebo. Tepat di
depan SD Katolik Denge yang telah berdiri sejak 1929, kami mulai berjalan kaki.
Perjalanan ini melalui jalanan tanah yang telah dilebarkan, semacam jalan
rintisan yang dibangun oleh pemerintah. “Pemerintah rencananya akan mengaspal jalan dari SD
Denge hingga ke Pos I di Wae Lumba. Tapi, sampai sekarang masih saja jalan tanah seperti ini.” terang Vitalis.
Adanya akses jalan sebenarnya
dinantikan sejak lama oleh masyarakat Wae Rebo. Namun, akses jalan tidak
diharapkan sampai tepat di depan Wae Rebo agar tidak mematikan eksklusivitas
wisata Wae Rebo. Warga Wae Rebo
menginginkan adanya jalan yang bisa mengurangi jarak tempuh jalan kaki mereka.
Bukankah sungguh berat harus berjalan kaki dari Denge ke Wae Rebo sejauh 9 km, naik turun gunung? Terlebih apabila membawa barang-barang? Sampai sekarang, bahan logistik pokok di Wae Rebo sangat bergantung dari daerah luar Wae Rebo.
Pada akhir 2012, akhirnya Pemerintah Manggarai menjawab penantian warga Wae Rebo. Dibuatlah rintisan jalan tanah sepanjang 3 km sampai Wae Lomba. Tahun 2013 dianggarkan dibuatkan jalan aspal. Tapi, ketika kami menyusuri jalan rintisan ini, jalanan terkesan dibuat asal-asalan sehingga rawan longsor saat hujan lebat. Janji aspal pun juga tidak terealisasi.
Bukankah sungguh berat harus berjalan kaki dari Denge ke Wae Rebo sejauh 9 km, naik turun gunung? Terlebih apabila membawa barang-barang? Sampai sekarang, bahan logistik pokok di Wae Rebo sangat bergantung dari daerah luar Wae Rebo.
Pada akhir 2012, akhirnya Pemerintah Manggarai menjawab penantian warga Wae Rebo. Dibuatlah rintisan jalan tanah sepanjang 3 km sampai Wae Lomba. Tahun 2013 dianggarkan dibuatkan jalan aspal. Tapi, ketika kami menyusuri jalan rintisan ini, jalanan terkesan dibuat asal-asalan sehingga rawan longsor saat hujan lebat. Janji aspal pun juga tidak terealisasi.
Tidak terasa, satu jam telah
dilalui untuk sampai ke Pos I, Wae Lomba. Pos ini sesungguhnya adalah tepi
sungai yang berserakan batu-batu besar. Air segar mengalir masih murni asli
pegunungan. Kami sejenak beristirahat.
Mendinginkan ‘mesin’. Tak segan kami juga menenggak air sungai. Kesegaran dan
kemurniannya menghapus dahaga yang dari tadi mendera. Kami juga mengambil air untuk
menjadi bekal perjalanan selanjutnya.
Perjalanan dilanjutkan. Dari
Pos I ke Pos II akan menjadi perjalanan terberat. Jalanan naik terus. Hanya
sedikit jeda untuk sekedar jalan mendatar apalagi turun. Etape ini juga butuh
kewaspadaan ekstra. Jalanan berubah menjadi tanah liat yang licin. Selain itu,
jalanan juga sempit. Hanya cukup satu orang melewati. Pada beberapa bagian,
jalanan ini terletak di tepian tebing. Bisa dibayangkan, kami pun harus berjalan sambil berpegangan pada
batang-batang tumbuhan.
Memasuki jalan ke Pos II juga
berarti memasuki kawasan Hutan Lindung Todo Repok. Hutan ini luasnya sekitar
10.500 Ha yang menghampar di bumi Manggarai. Wae Rebo berada di dalam kawasan
hutan ini. Vegetasinya masih lebat. Banyak pohon liar yang tinggi menjulang.
Suara-suara burung pun bercicit bersahut-sahutan. Mereka meramaikan sunyinya
hutan saat itu. Kami pun seperti memiliki kawan penyemangat untuk terus
melangkah sampai ke Wae Rebo.
“Kayu-kayu untuk membangun rumah di
Wae Rebo berasal dari hutan ini. Kami harus izin ke pemerintah pusat karena statusnya adalah hutan lindung. Meski butuh waktu lama, pemerintah
mengerti bahwa upaya kami adalah untuk menjaga kelestarian tradisi leluhur. Sayangnya saat itu malah
Pemda kurang mendukung” ungkap Vitalis.
Sebelum mulai jalan pendakian, jangan lupa menyapa dulu |
Perjalanan yang tak kenal lelah. Eman tak terasa lelah tapi saya cukup lelah. Melintasi jembatan bambu. |
Pos II Poco Roko yang
terletak di tepi tebing sudah terlihat, seakan melambai-lambai memanggil kami.
Semangat melangkah pun kian tinggi. Ah, tapi namanya jalan melingkari bukit
tentu tak semudah mata memandang. Baru setengah jam kemudian kami bisa sampai
di Poco Roko. Benar, etape Pos I ke Pos II adalah yang terberat dan terlama.
Total 1 jam 15 menit kami butuhkan. Berkali-kali tadi di tengah perjalanan kami
mengaso. Menata nafas yang tersengal-sengal.
Pagar semen menjadi tengara
di pos Poco Roko ini. Pagar ini berfungsi untuk menjaga keselamatan para
pejalan. Maklum, letaknya di atas ketinggian, di tepi tebing, dengan panorama
menakjubkan ke arah Laut Sawu, bisa membuat
lengah wisatawan. Saat itu, kami beristirahat cukup lama untuk mengisi kembali
tenaga. Tapi kami cukup ‘sedih’. Awan putih mulai menyelimut rerimbunan perbukitan
hijau. Momen langit biru yang memayungi Wae Rebo pun terancam.
Eh, lihat, Pak Vitalis sibuk
mengangkat-angkat HP. Tampaknya dia sedang berburu sinyal. “Ini tempat untuk mendapatkan sinyal bagi masyarakat
Wae Rebo.” ungkapnya. Dia berhasil menelpon Mega, kawan seperjalanan saya
setahun lalu saat masuk ke Wae Rebo. Dia ingin kasih kabar bahwa saya telah
kembali ke Wae Rebo sekaligus mengharap agar Mega segera hadir lagi ke Wae
Rebo.
Setengah jam cukup untuk
beristirahat. Hanya 200 meter saja selepas Pos II yang medan jalannya naik.
Setelah itu, jalan mendatar yang diselingi dengan turunan. Ini cukup
mengasyikkan karena tak perlu bersusah payah mengatur nafas. Kami pun bergegas
menambah kecepatan. Pada sebuah titik menjelang Pos III, saya mendapati kaki
saya terkena lintah. Sambil istirahat sejenak, saya rusak pesta makan darah
sang lintah. Daerah hutan yang masih rimbun memungkinkan tanah lembab
sehingga lintah pun bisa hidup.
Tak sampai sekitar 45 menit dari pos II, kami sudah sampai di Pos III, Pos Nampe Bakok. Di sinilah
seperti keajaiban datang bagi yang pertama melihatnya! Jajaran Mbaru Niang Wae Rebo sayup-sayup terpandang.
Awan putih menggantung di atasnya. Misty Wae Rebo dari kejauhan. Bukan kah ini
seperti kabar yang didambakan? Segaris optimisme menjelang ujung perjalanan.
Apa yang dicitakan untuk dapat hadir kembali di Wae
Rebo tinggal sedikit lagi.
Di Pos III kami tak perlu
beristirahat. Tak sabar rasanya ingin lekas sampai di Wae Rebo. Dari pos III ke
Wae Rebo, jalanan tinggal menurun. Kami pun setengah berlari demi menjemput
impian di Wae Rebo. Tepat empat jam lebih sedikit, kami tiba di Wae Rebo selamat. Saya pun seperti kembali pulang ke kampung halaman.
Meromantika momen setahun lalu di Wae Rebo.
Catatan:
- tulisan
ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya mengikuti Adira Faces Of Indonesia
#UbekNegeri Copa de Flores yang diselenggarakan Adira Finance dan Bank Danamon
pada tanggal 14-19 Maret 2014
- tulisan ini juga bisa ditemui di http://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2934/Empat-Jam-Berjalan-Demi-Wae-Rebo
- tulisan ini juga bisa ditemui di http://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2934/Empat-Jam-Berjalan-Demi-Wae-Rebo
Menembus hutan yang pohonnya lebat dan tinggi. |
Jika sudah masuk kebun kopi, maka Wae Rebo semakin dekat. Ayo semangat. |
Wae Rebo telah melambai-lambai. Ah, tidak tahan lagi untuk segera tiba di Wae Rebo. |
Begitu sampai di Wae Rebo langsung terkena kabut. Misty Wae Rebo. |
0 komentar