Saga Kampung Saga
April 30, 2014Sao-sao para keturunan Pala Wolo, leluhur Kampung Saga. |
Siang makin memancar terang.
Terik semangat membakar kulit. Kami pun menelisik lebih jauh perjalanan di Kampung Saga. Kini kami harus menapaki tangga yang
terbuat dari tumpukan batu untuk menuju ke bagian lebih dalam di Kampung Saga. Atau lebih tepatnya menuju ke bagian
atas. Kampung Saga memang berkontur bertingkat-tingkat menyesuaikan dengan
kondisi lahan yang berada di lereng bukit.
“Awas, hati-hati. Tapi tenang,
batuan ini kokoh. Ratusan tahun tidak ambrol“ pesan Maksi sekaligus memberi
kesan tenang kepada kami.
Pada setiap tingkatan di Kampung Saga terdapat rumah khas Suku Lio yang
lebih dikenal sebagai Sao. Masyarakat setempat Saga menyebutnya sebagai Ranggo
Wawo. Sepintas arsitektur bangunan ini seperti joglo, tapi jika diamati lebih
cermat, jelas sangat jauh beda. Sao ini berdiri sebagai rumah panggung yang
menyesuaikan kondisi alam Flores yang berbukit-bukit dan aktif gempa. Bangunan
masih orisinil terbuat dari kayu. Atapnya ditutup oleh alang-alang. Suasana
etnis Suku Lio sangat kental terasa ketika menyaksikan deretan rumah-rumah
tradisional ini.
“Kaki Nggali adalah pahlawan bagi Kampung Saga. Dialah yang memimpin
peperangan untuk mempertahankan kampung ini. “ ungkap Maksi.
Maksi memandu kami menaiki tangga. Untuk menuju lokasi rumah leluhur. |
Makam anjing milik Pala Wolo. Sakral. Tidak boleh ke sini selain keturunan Pala Wolo dan ketua adat. |
Makam milik Kaki Nggali, panglima sakti penjaga Kampung Saga. |
Makam-makam leluhur juga terdapat di tiap tingkat Kampung Saga. Makam
paling khas adalah rateh yakni makam
dari susunan batu yang menempatkan si mayat dalam kondisi duduk. Rateh ini
berpadu dengan jenis makam lain yang sudah mendapatkan pengaruh dari agama
Katolik. Terdapat makam-makam bernisan
biasa dengan hiasan salib. Orang Saga bisa mengharmoniskan antara tradisi
leluhur dengan agama Katolik. Luar biasa.
Akhirnya, sampailah kami di tingkatan paling atas di Kampung Saga. Panorama jelas terpandang dengan
paduan antara rumah-rumah Sao dengan
alam sekitar Taman Nasional Kelimutu yang asri. Di sini saya menyaksikan
harmoni antara alam dan budaya, sebuah pelajaran bermakna dari etnis Lio yang
lestari menjaga hutan.
Sembari beristirahat dari lelah, Bang Maksi berkisah tentang sejarah
Kampung Saga. Dia sambil menunjuk sebuah makam di atas yang dipalangi, dimana
berarti tidak boleh siapapun kecuali Mausalaki yang bisa masuk ke area itu.
“Itu makam dari dua anjing yang merupakan peliharaan kesayangan dari Pala
Wolo, pendiri kampung Saga. “ jelas Maksi
Alkisah, ada sepasang anjing milik Pala Wolo. Suatu waktu mereka kawin dan
mengandung. Tapi, tak lazimnya anjing biasa, anjing itu mengandung lama, sampai
9 bulan. Akhirnya di kolong Sao Palawolo, anjing itu melahirkan, yang ajaibnya
lahir seorang bayi perempuan. Anak ini lalu tumbuh besar menjadi gadis cantik.
Hingga suatu waktu, terjadilah serangan dari penjajah VOC Belanda ke Kampung
Saga dimana gadis itu dibawa pergi. Tak semata direbut cuma-cuma, anak gadis
itu dibarter dengan emas atau londa yang begitu banyak.
Suatu hari, VOC rencananya ingin membawa gadis Kampung Saga ini ke
Belanda. Akan tetapi, kapal yang membawanya tidak bisa berangkat meski sudah
dilakukan upaya sekeras tenaga. Anjing si “orang tua” gadis itu menyalak terus
menerus karena tidak rela. Akhirnya,
dipanggillah anjing itu untuk merelakan kepergian gadis itu. Setelah
diikhlaskan, kapal Belanda bisa berangkat dengan lancar. Sayangnya, sesampai di
Pantai Gading, Afrika Barat tersiar
kabar bahwa gadis itu meninggal dunia.
“Sampai kini, keturunan Pala Wolo sangat menghormati anjing. Mereka tidak
bisa makan daging anjing. Bahkan jika terkena cipratan darah anjing atau
malahan menginjak bekas darah anjing sekalipun, kulit mereka bisa luka. Silakan
boleh percaya atau tidak percaya, tapi itu benar terjadi.” Jelas Maksi yang
mana istrinya merupakan keturunan Pala Wolo.
Tapi, Maksi dan orang-orang yang bukan keturunan tidak masalah jika
memakan anjing. Hanya saja, toleransi tetap harus dilakukan. Tidak ada upacara
adat di Kampung Saga yang melakukan pengorbanan yang menyakiti anjing.
Catatan:
- tulisan
ini merupakan rangkaian kisah perjalanan saya mengikuti Adira Faces Of
Indonesia #UbekNegeri Copa de Flores yang diselenggarakan Adira Finance dan
Bank Danamon pada tanggal 14-19 Maret 2014
- tulisan
ini juga bisa ditemui di https://www.adirafacesofindonesia.com/article.htm/2917/Meraba-Tradisi-Kampung-Saga
Perkampungan Saga di lihat dari lokasi tertinggi. Sebagian harus 'dipolusi" rumah seng karena belum sanggup membangun rumah Sao. Butuh banyak dana. Dulu hancur karena gempa 1992. |
Rumah-rumah di Kampung Saga dikenal dengan nama Rangga Wawo. |
Sao keturunan Kaki Nggali. Makam Kaki Nggali di depannya. |
Panorama luas ladang Kampung Saga. Terletak di tepian kawasan TN. Kelimutu. |
Tina, bocah kelas 2 SMP dari Saga. Dia mau difoto sambil membaca buku. Kebetulan dia habis pulang sekolah. |
2 komentar
Tolong di perjelas untuk nama pendiri kampung saga Dala wolo bukan Pala wolo.
BalasHapusdi kampung saga banyak sekali ya tempat-tempat sakral..
BalasHapus