Menjenguk Gemerujug Curug Sikebut
Januari 29, 2014Curug Sikebut, Karanggayam |
“Alam utara Kebumen tiada habisnya menyimpan permata!”. Itulah yang saya percayai selama ini karena memang belum banyak orang yang mengungkap pesona di daerah Kebumen utara. Jauh dan terpelosok menjadi alasan orang malas untuk menyambangi. Kabar yang samar tentang sebuah air terjun di kawasan Kecamatan Karanggayam, daerah Kebumen Utara, lantas menggerakkan saya bersama sahabat saya, Anas, untuk menjelajah ke sana.
“Dik, tahu Curug Sikebut? Masih jauh curug nya?” tanya saya dalam bahasa
Jawa Ngapak pada bocah yang kebetulan melintas tatkala tiba di Desa Ginandong,
Karanggayam.
“Tahu mas. Masih lumayan jauh. Satu km lagi” jawabnya.
“Bisa jalan ke curugnya?"
“Teyeng” jawabnya singkat dengan
keluguannya
Haaah.. sudah lama saya tak dengar kata ‘teyeng’. Sengaja saya tidak menerjemahkan pada bahasa Indonesia
karena saya begitu tergelitik dengan kata ini. ‘Teyeng’ arti bebasnya adalah ‘bisa’. Terakhir saya dengar kata ‘teyeng’ semasa SMA dulu, tujuh tahun lalu. Masih
adanya kata ‘teyeng’ ini bisa
mengindikasikan bahwa desa ini masih jauh menyepi dari hiruk pikuk keramaian
modernitas.
Lantas, pada rumah penduduk di sebuah pertigaan, saya minta izin
menitipkan motor sekaligus meminta
petunjuk ke Curug Sikebut. Dari rumah itu, Sikebut sudah tampak di
seberang sana, di dalam hutan yang dilingkupi pepohonan pinus. Saya rasa akan
dekat saja kami berjalan kaki. Tidak butuh lama untuk menjangkaunya.
“Ya palingan setengah jam sampai sejam jalan kaki dari sini. Nanti melintasi
dua sungai.” ucap ibu pemilik rumah.
Mendung menggelayut makin kecut. Kami pun bergegas untuk lekas menemui
Sikebut. Tadinya kami meragu, takut di tengah perjalanan hujan deras
mengguyur. Tapi, kami sudah datang jauh
dan terpelosok sampai di Ginandong, dari pusat kota Kebumen saja sekitar 30 km
ke utara melewati jejalanan yang di beberapa titik rusak parah. Kami pun putuskan untuk melanjut.
Alam Kebumen utara di daerah Karanggayam. Banyak ditemui terasering yang eksotis. |
Sungai yang mengiringi perjalanan kami. Sejuk dipandang mata. |
Curug Ginandong. Curug yang menawan, ditemui saat perjalanan ke Sikebut lewat jalur bawah. |
Beruntung kami berjumpa dengan seorang bapak di tengah jalan. Dia akan pergi
mengurus ladangnya di tengah hutan tak jauh dari Sikebut. Kami pun berturut
jalan bersamanya, membelah pekuburan, melintasi ladang hingga tiba di sebuah
sungai. Atas sarannya, saya dan Anas diminta ke kiri, menyisir sungai. Kata
dia, lebih mengasyikkan karena ditemui beberapa
curug lain dalam perjalanan ke Sikebut. Yang paling menarik nanti adalah
Curug Ginandong. Bapak itu ke kanan. Kami pun berpisah.
Sekarang hanya kami berdua, dua lelaki yang senang bertamasya, alih-alih
berpetualang, untuk menemukan tempat-tempat indah di Kebumen, kampung halaman
kami yang begitu melimpah potensi tapi sedikit yang peduli menggali, apalagi
pemerintah daerah Kebumen itu sendiri. Ciih… ‘Ngrasani’ pemerintah kami sudah
lelah, sehingga lebih baik terjun beraksi.
Dari tadi menikmati sejuk suasana perjalanan yang dikawani gemericik
sungai, akhirnya kami mendengarkan suara gemerujug. Sempat juga sekedar menatap
dari semak-semak suatu rambatan air dari ketinggian. Aha.. kami menyambut
semangat. Curug Ginandong pun terpandang begitu anggun dengan ketinggian yang
tak terlalu semampai. Curug ini merupakan jatuhnya aliran sungai yang merayapi tebing
dengan perlahan. Tingginya paling hanya sekitar 12 meter. Suasana sekitar
begitu meromantika dengan hijaunya ladang warga dan rerumputan liar. Sejenak
kami pun memesrai panorama sekaligus merehat sekejap. Kami hanya memandang dari
ketinggian, tiada gairah untuk turun ke bawah, apalagi jalan menjangkaunya teramat
susah.
Perjalanan berlanjut. Kini kami berpisah dengan sungai. Mengitari bukit
lalu berjumpa lagi dengan sungai yang lain. Samar-samar Sikebut sudah terlihat.
Seorang ibu pencari rumput tampak sedang beristirahat. Kami menyapanya
sekaligus bertanya. “Lewat mana Bu kalau ke curug?”. Ah, ternyata jalan yang
kami lalui ini salah. Kami harus mendaki lereng curam yang berhiaskan pepohonan
pinus untuk menuju setapak tanah yang benar. Semak belukar pun mau tidak mau
harus kami terjang. Saya agak terhambat dengan sandal jepit saya yang melicin.
Anas lancar-lancar saja karena ia beralas sepatu khas penjelajah.
Suara gemerujug Sikebut kian riuh. Artinya kami makin mendekat. Kini
jalanan tidak lagi terjal karena sudah
berada di jalan yang benar. Tak sampai 5
menit kemudian, kami sudah berada di kaki Curug Sikebut. Sang permata pun telah
didapatkan! Voila….
Bercucuran air jatuh pada tebing setinggi 30 meter. Bebatuan besar di
bawahnya tak gentar untuk menyambut. Saya di tepinya merasakan
percikan-percikan air berpadu dengan sapuan angin dari seberang pandang. Saya
duduk menikmati suasana sembari membinasakan lelah. Anas duduk di samping saya
sambil berkisah tentang struktur batuan pada tebing Sikebut. Dia jelaskan bahwa
ada tiga lapisan batuan, yakni beku, sedimen lalu beku lagi sehingga dapat
digambarkan proses terbentuknya kawasan ini selama ribuan bahkan jutaan tahun
lalu.
Curug Sikebut menjadi permata yang
jarang terjamah oleh khalayak ramai manusia. Belum banyak yang mengetahuinya.
Dilingkupi nyaman oleh paduan hutan pinus milik Perhutani dengan kawasan ladang
penduduk setempat. Sikebut tenang mengucur sejak silam tak mati oleh gerusan
zaman. Debit air yang stabil meski di musim hujan menjadi pertanda bahwa
lingkungan di sana masih lestari.
Menembus semak untuk menuju setapak yang benar. |
Curug Sikebut dari dekat. Menikmati percikan air. Segaaar.. |
Polos dan tanpa ragu meloncat ke kubangan air. Byuuuuur... |
Ah, tapi sayang. Walau baru sedikit saja manusia yang datang ke Sikebut, sampah telah ada mengotor di mana-mana. Sedih. Selalu saja, kesadaran pewisata lokal masih kurang untuk menjaga kebersihan di tempat yang indah ini. Anas dan saya pun memulungi sampah untuk dibawa keluar dari kawasan Sikebut. Jaga kebersihan dong!
Sore mulai menanti sehingga kami pun beranjak pergi. Kami berencana pulang
melalui jalur berbeda, yakni jalur atas. Tadi kami berangkat melalui jalur
bawah karena untuk menjemput Sikebut tepat di bawah gemerujug airnya. Jalur
atas ini untuk meromantika Sikebut dari atas igir-igir bukit. Aha.. Kami
berjumpa dengan bocah-bocah yang sedang mandi di sebuah kolam tempat jatuhnya
rayapan air di atas bebatuan. Dan, mereka telanjang!
Bukannya takut ketika akan dipotret, mereka malah bangga dengan
ketelanjangannya. Berkali-kali mereka bergaya. Berkali-kali juga mereka lompat
dari sebuah batuan ke air. Byuuuuuur… Untungnya semua laki-laki. Hanya satu
bocah yang mengenakan celana ketika mandi di kubangan. Bocah-bocah yang seusia
kelas 1 dan 2 SD ini sedang menunggui paman salah satu bocah itu mengambil
rumput di ladang. Saya dan Anas berucap salut dengan keberanian mereka
untuk tetap polos, lugu dan telanjang.
Ah, bocah-bocah desa ini begitu menyenangkan tapi menggelikan.
Kami mesti mendaki lereng berumput untuk naik menuju Jalur Atas. Tidak
begitu susah, tapi kami mesti berhati-hati. Sesampai di atas, terlihatlah lebih
lapang Curug Sikebut dan sekitarnya. Saya makin mencinta pada panorama kawasan
Sikebut. Ada kedamaian terasa. Ada kepuasan atas imaji yang indah tiada tara.
Di seberangnya, perbukitan Serayu Selatan yang menjadi pembatas Kebumen dan
Banjarnegara terlihat melekuk-lekuk, melapis-lapis. Bukankah ini panorama yang
pantas atas jerih payah menjangkau daerah ini!
***
Perjalanan pulang kami dipandu dengan hati riang sehingga tak terasa kami
sudah tiba di rumah warga tempat motor kami diparkir. Jujur, tadi sempat
‘blushuk’ salah jalan sehingga
perjalanan pulang ini lebih lama.
Panorama pegunungan Serayu Selatan yang membatas Kebumen dan Banjarnegara |
Air merayapi batuan. Segar. Ditemui menjelang Curug Sikebut. |
Seorang warga yang saya temui di ladang, memanen dan mencari rumput untuk ternaknya. |
“Wah, maeeeen gambare (bagus
gambarnya). Sikebut kelihatan juga gambarnya “ ungkap penuh keterkejutan dari
Ibu sang pemilik rumah ketika meminta saya untuk membuktikan foto kalau saya sudah sampai di Curug Sikebut. Dia tadinya
tak yakin bahwa kami sampai di Curug Sikebut mengingat medannya tak mudah.
Tapi, tak hanya itu maksud Ibu mengecek foto Curug Sikebut saya. Dia berkisah bahwa ada seseorang mencoba
memotret Curug Sikebut tapi tidak bisa. Gambarnya tidak terlihat, menghitam
semuanya. Ah, mendengar kisah itu lalu saya coba mematikan kamera lalu
menghidupkan lagi. “Tetap saja ada kok Bu fotonya.”
“Wah berarti masnya ini orang pintar.” jawabnya dengan polos. Saya sengaja
tak menanyakan maksud pintar ini dalam hal apa. Apakah ‘orang pintar’ atau
pintar dalam artian sebenarnya. Saya berpikiran bisa saja memang kameranya itu
salah pengaturan atau juga malah kamera jadul yang tak memiliki layar untuk
melihat langsung jepretan. Ah, biarlah apa anggapnya mereka jikalau bagus untuk
kelestarian Sikebut.
Curug Sikebut bagi orang setempat dianggap sebagai tempat keramat. Oleh
karena itu, tak banyak penduduk yang sering datang ke sana. Ibu itu terakhir ke
Sikebut dua tahun lalu meski rumahnya begitu dekat. Kemudian, dia mengisahkan
pernah ada kejadian tak senonoh alias dari muda-mudi di Curug Sikebut, pasangan
itu lantas kena azab. Sampai-sampai untuk mengatasinya perlu didatangkan Tetua
setempat. Saya tak perlu ceritakan bagaimana kejadiannya karena perbuatan ini
sepatutnya hanya boleh dilakukan suami-istri.
Silakan percaya atau tidak! Tapi bagi saya, ini adalah sebuah pesan luhur bahwa
menjaga moral di tempat wisata adalah sebuah keniscayaan, sebuah keharusan.
Curug Sikebut yang indah bagaikan permata tak boleh dicemari oleh perbuatan
amoral dari pengunjung oportunis yang tak bertanggungjawab. Silakan nikmati
keindahannya yang sunyi, tapi jangan berbuat maksiat keji!
Curug Sikebut dilihat dari jalur atas bukit. |
Sahabat saya yang selalu riang bergembira sepanjang perjalanan |
Ayoook Dik, foto dulu!! Pose mereka menantang!! |
Aktivitas 'nglukhu' di persawahan Karanggayam. Masih tradisional tapi inilah yang paling efektif untuk sawah berbukit |
Di sawah-sawah Karanggayam masih banyak ditemui potret warga mengumpulkan rerumputan untuk ternaknya. |
Curug Sikebut |
Curug kecil yang banyak ditemui di sekitar Curug Sikebut. |
11 komentar
wah wah ternyata kampung temen gw ada curug, soalnya pas dia pulang kampung taunya cuman pantai ayah doang, tapi disana namanya curug juga? kayak bahasa sunda :D
BalasHapusada dong Akang Dede.. :)
Hapusnamanya sama Curug juga. Kadang ada yg menamainya grojogan. Memang di Kebumen, untuk air terjun belum dikembangkan dan dipromosikan kayak pantai-pantai.. padahal pesonanya cukup bagus.. :)
Deneng ana gambar medine Bal??? hahaha
BalasHapushaha. medine kan minta ngeksis iku pake gaya meleeet..
Hapusmas gimana caranya agar blog yg saya buat dapat dengan cepat di mesin pencari
BalasHapusarizblackmultimedia.blogspot.com
Ariz.. makasih udah main k blog saya.. :)
HapusGampaaang caranya.. banyak caranya agar bisa populer di google.. tulislah hal2 yg msih jarang ditulis di google tpi butuh dicari oleh pembaca.. klo udah nulis blog, manfaatkan jaringan sosial (FB, twitter, dll) untuk berbagi blog.. dan yg penting konsisten menulis.. :)
slamaaat berkarya.. semangaaat..
Tersepona dengan gaya penulisan mas iqbal. Kebumen emang keren. Salam buat mas anas'nya yg selalu bisa ngomporin si empunya blog ''kratakan'' pelosok Kebumen. Salam dari anak Desa Kalirancang (Alian)
BalasHapusmakasiiih mas yg namanya anonim.. :P..
Hapussalam juga yaah..
terimakasih atas kunjungan anda di curug sikebut desa Ginandong Kecamatan Karanggayam.... saya salah satu warga masyarakat Ginandong merasa bangga atas dikenalnya Curug Sikebut, banyak sekali para pengunjung tapi musiman, biasanya anak2 sekolah dari Karanganyar, tpi dia salh memanfaatkan tempat yang nan asri bukan untuk melepas penat atau berekreasi tapi digunakan untuk berpacaran, sehingga tak jarang para pengunjung kena akibatnya, karna konon curug sikebut tidak mau dikotori dengan perbuatan yang tidak sopan... mari jaga dan bantu promosikan keindahan alam curug sikebut agar banyak warga maysarakat Kebumen berkunjung... dan besar harapan pemerintah bisa membangun curug sikebut sebagai tempat wisata alam di Kabupaten Kebumen...
BalasHapusMas Ka'sun. terima kasih untuk kunjungan dan komentar di blog saya. Salam kenal..
HapusYang anda sampaikan juga saya dapatkan langsung dari warga Ginandong sendiri. Bagi saya hal demikian adalah sebuah keprihatinan untuk kita semua. Saya senang bisa turut membantu mempromosikan desa Anda. Harapannya, masyarakat setempat juga bisa mengelola tempat yang indah dengan lebih baik. Secara swadaya desa bisa dipertimbangkan, tanpa harus menunggu lama dari pemerintah daerah yang memang lama respon untuk membangun tempat wisata.
Semoga bermanfaat
mas, bisa di kasih tau rute ke desanya gitu mas, atau mungkin share koordintanya mas. biar bisa main kesitu tanpa bantuan orang kebumen.
BalasHapus