Jayapura, Kontradiksi Kemenangan?
November 06, 2013Terjun dari Pohon. Permainan di Minggu sore bagi anak pribumi Jayapura. |
Akhirnya... Saya bisa menapakkan kaki di tanah Papua. Sebuah realisasi harapan yang sudah saya damba selama bermasa-masa. Jujur, perjalanan ke pulau besar di ujung timur Indonesia adalah perjuangan berat (kalau tak dikatakan utopia) teruntuk saya – apa lagi alasannya kalau bukan tentang biaya, tapi Allah ternyata punya kehendak indahnya. Alhamdulillah.
Saya beruntung bisa hadir di Papua karena dibiayai sebuah
lembaga donor asing untuk ‘diculik’ menjadi fasilitator pelatihan keuangan
daerah di Kota Jayapura. Tugas 5 hari pun saya ekstend-kan menjadi 8 hari. Tiga hari tambahan adalah ‘tugas
pribadi’ saya menyelami terumbu realitas di tanah Papua, di Jayapura dan
sekitarnya. Saatnya mengabdi untuk memetik buah kehidupan yang lebih universal.
Terbayang pertama tentang Papua adalah tentang ruang hitam yang terpelosok, sunyi, dan tertinggal. Setidaknya Alfred Russel Wallace dalam mahakaryanya "The Malay Archipelago, The Land of The Orang Utan and the Bird Paradise" mendeskripsi Papua dari fisik para penduduk aslinya.
"Warna kulit sangat gelap, kecokelatan atau hitam. Kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Amat berbeda dalam warna, melebihi Melayu, kadang-kadang hitam agak kecokelatan. Rambut sangat kasar dan kering."
Namun hadir di Jayapura, prasangka tersebut adalah sebuah dusta. Jayapura penuh dengan hingar bingar manusia beserta kesibukannya. Tentang ‘hitam’ juga tak sepenuhnya benar. Pendatang melimpah, yang melintas daerah dari Ambon, Ternate, Tidore, Jawa, Manado, Makassar, Buton, sampai Padang, Medan dan Aceh. Sebuah miniatur sejati Indonesia. Dari sekitar 350 ribu penduduk Jayapura, hampir separuhnya adalah pendatang.
"Warna kulit sangat gelap, kecokelatan atau hitam. Kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Amat berbeda dalam warna, melebihi Melayu, kadang-kadang hitam agak kecokelatan. Rambut sangat kasar dan kering."
Namun hadir di Jayapura, prasangka tersebut adalah sebuah dusta. Jayapura penuh dengan hingar bingar manusia beserta kesibukannya. Tentang ‘hitam’ juga tak sepenuhnya benar. Pendatang melimpah, yang melintas daerah dari Ambon, Ternate, Tidore, Jawa, Manado, Makassar, Buton, sampai Padang, Medan dan Aceh. Sebuah miniatur sejati Indonesia. Dari sekitar 350 ribu penduduk Jayapura, hampir separuhnya adalah pendatang.
Jayapura nyatanya adalah ruang yang ramai dan meriah.
Maklumlah, kota ini adalah ibukota Papua. Kota pusat ekonomi, politik, sosial
di Papua yang perannya telah ada sejak dikembangkan . Kota gerbang Papua
sebelum masuk ke daerah-daerah pedalaman bergunung-gunung. Wajar kalau kota pesisir
yang berada di bibir Samudera Pasifik ini menjadi pusat utama geliat Papua.
Saya menyaksikan di setiap sudut kota sudah tak ubahnya dengan kota-kota di Jawa. Ada tengara umum, tengara template dari sebuah kota yang sudah menderita gemerlap peradaban. Ada mal, Matahari, KFC, McD, J.Co, Excelso, Happy Puppy, Gramedia, dll. Namun, ada juga kontras bedanya. Malah, saya menemuinya di warung pinggir jalan dan kaki lima. Ketika menelusur lebih dalam, ketika tahu dan mencoba, harga makanan ternyata mahalnya minta ampun. Jayapura dan kota-kota lain di Papua memang mengalami masalah dalam hal harga.
Saya menyaksikan di setiap sudut kota sudah tak ubahnya dengan kota-kota di Jawa. Ada tengara umum, tengara template dari sebuah kota yang sudah menderita gemerlap peradaban. Ada mal, Matahari, KFC, McD, J.Co, Excelso, Happy Puppy, Gramedia, dll. Namun, ada juga kontras bedanya. Malah, saya menemuinya di warung pinggir jalan dan kaki lima. Ketika menelusur lebih dalam, ketika tahu dan mencoba, harga makanan ternyata mahalnya minta ampun. Jayapura dan kota-kota lain di Papua memang mengalami masalah dalam hal harga.
“Uang 50 ribu di Jayapura, palingan habis sekali makan saja di warung biasa. ” ungkap Irsan, kawan saya yang menjadi mahasiswa di UNIYAP, Jayapura. Dia asli Tidore, sang pendatang di Jayapura.
Saya tak tahu apa penyebabnya, mengapa harga-harga di sini
begitu mahal. Apakah karena letaknya di ujung, di depan, di beranda, di tepi,
di pinggir, atau di halaman belakang sehingga harganya sedemikian tinggi?
Apakah karena jauh, jauh dari pusat ekonomi dan politik Indonesia, harga jauh
melambung? Pasti para ekonom yang lebih tahu jawabannya dengan cacing-cacing
statistik yang rumit.
Sesaat mendarat di Papua, Danau Sentani menyambut saya dengan ramah. Cantik. |
Mal Jayapura. Tengara 'template' sebuah kota besar yang juga ditemui di Jayapura. |
Kawasan Ruko Jayapura. Salah satu pusat ekonomi kota Jayapura. |
Lalu, saya kini melihat lokomotif ekonomi Jayapura
digerakkan oleh para pendatang. Lihatlah, setiap warung, PKL, toko-toko,
transportasi, karyawan hotel, sebagian besar pemilik dan karyawannya adalah
pendatang. Lantas, di manakah warga asil bekerja? Yang saya saksikan, sebagian mereka
menjadi tukang parkir, satpam, tukang retribusi baik liar maupun resmi. Dan tentu,
apa lagi pekerjaan yang dipegang warga asli kalau tidak para pemimpin daerah
dan wakil rakyatnya. Emm.. Apakah ini menjadi ‘template’ ketika hadir di daerah-daerah Papua? Bisa jadi...
Selain itu, warga Papua asli juga hadir dalam perilaku yang
seakan-akan dianggap tradisi orang Papua. Padahal saya yakin ini bukan tradisi,
tapi peninggalan jalang kolonial. Mabuk di jalanan. Sudah selayak identitas kota,
banyak warga asli mabuk di pinggir-pinggir jalan Jayapura pada malam hari.
Terlebih saat ‘tanggal muda’, selepas gajian, orang mabuk berkeliaran dengan
gampang dan bertebaran. Sepenggal malam saya di Jayapura pun dimeriahkan dengan
‘pertunjukan’ orang mabuk di Pantai Kupang alias Kursi Panjang – sebutan lain
dari Pantai Dok Dua, Jayapura.
Alkisah, Frans, akui saja namanya demikian. Dalam keadaan
mabuk berat, lelaki ini marah-marah karena ada pedagang bakso yang berjualan tepat
di seberang gapura Kantor Gubernur. Kebetulan pedagang itu adalah pendatang
dari Malang. “Kau ini tidak hormat sama Bapak Gubernur, yang beri kau tempat
hidup. Pergi jangan jualan di sini!!”, begitu bentaknya.
Tahu saya bersama kawan duduk tak jauh dari situ, dia
menghampiri kami yang sedang asyik menikmati suasana malam Jayapura di tepian
pantai. Frans yang berusia sekitar 50 tahunan ini mendekat sembari teriak keras
kepada kami. “Kamu ini teman dia yah? Bilang dia jangan jualan di sini” sambil menepukkan dada memamerkan kaos
hitamnya yang bergambar Soekarno. Akui saja dia
seorang nasionalis sejati.
Ah, tetapi ketika dia tahu saya berasal dari Jogja, dari
UGM, dia mendadak akrab, merangkul saya. Bau miras yang memenuhi badannya pun
menyeruak ke hidung saya. Ada apa gerangan?
Akui saja dia berkisah bahwa dia adalah lulusan dari
Magister Ekonomika Pembangunan UGM tahun 2006. Dia sebutkan Boediono (wakil
presiden yang dulu menjadi dosen UGM) dan dosen-dosen yang mengajarnya. Dia
juga pamerkan tempat-tempat di sekitar UGM dan Jogja beserta kenangan manis di
Malioboro. Saya akrab dengan nama-nama itu. Jujur, saya harus akui dia benar
dalam bercerita. Karena saya yakin dia pernah ke Jogja dan menjadi mahasiswa
UGM.
Namun, pada titik ini saya malah bertanya-tanya, “Bukankah
dia orang yang ‘terhormat’, kenapa harus seenaknya mabuk di jalanan? Mesti seenaknya
marah-marah? Bertentangan dengan capaian akademiknya yang sudah sampai S2.”
Bahkan, tentang pekerjaannya, akui saja dia bekerja di kantor Gubernur.
Emm.. Ternyata fenomena mabuk di jalan-jalan tiada kenal strata
sosial di Jayapura. Semua bisa berkawan akrab dengan miras dan mabuk. Saya
pikir, andaikan uang untuk mabuk digunakan untuk berdagang usaha, ekonomi pribumi
lebih bergeliat. Orang Papua bisa bersaing sejahtera dengan pendatang. Hatta,
kawan saya bilang. “Paling tidak sebulan, mereka biasa habiskan lebih dari setengah
pendapatannya untuk beli miras.”
Namun, tak bisa saya hanya memotret kemuraman Jayapura. Saya mesti juga berjumpa pada wajah yang berjuang keras untuk menghormati sebuah kehidupan. Saya terlempar masyhuk pada semangat berkarya luar biasa Mama Dorlina. Dia menantang realitas kebanyakan warga Papua asli, yang disebut pendatang “orang yang malas berdagang”.
Bersama Bapak yang mengaku namanya Frans. Dia mabuk dan mengaku lulusan MEP UGM. Benarkah? Bisa jadi iya |
Mama Dorlina, penjual noken yang tetap bergairah untuk berusaha. Berjualan di depan Bank Papua |
Kerlap-kerlip Jayapura dilihat dari Pelabuhan Jayapura. Dinaungi Teluk Humbolt yang tenang. |
Namun, tak bisa saya hanya memotret kemuraman Jayapura. Saya mesti juga berjumpa pada wajah yang berjuang keras untuk menghormati sebuah kehidupan. Saya terlempar masyhuk pada semangat berkarya luar biasa Mama Dorlina. Dia menantang realitas kebanyakan warga Papua asli, yang disebut pendatang “orang yang malas berdagang”.
Tahukah dia? Usianya masih 22 tahun tapi sudah beranak tiga.
Tertua umur 3 tahun, adiknya usia 1,5 tahun dan paling muda baru 6 bulan. Suaminya
bekerja serabutan dan lebih lama ‘berprofesi’ sebagai pengangguran. Betul-betul
hidup yang berat.
Tapi. Ibu muda ini gigih
menjadi penjual noken – kerajinan khas Papua yang telah mendunia diakui UNESCO
– di trotoar seberang Bank Papua yang menjulang megah. Salut luar biasa! Dia
mau giat berusaha, menyentuh ranah ekonomi yang jarang dijamah orang setempat.
Penghasilannya memang tidaklah seberapa. Tidak setiap hari
juga nokennya terjual. Tidak setiap hari juga dia berangkat kerja karena tak
punya ongkos untuk berangkat. Dari rumahnya ke tempat bekerja, wanita asal
Deiyai, pedalaman Papua, harus menghabiskan 30-40 ribu pulang pergi. Saya
bayangkan, bagaimana dia bisa bertahan? Noken jikalau terjual rata-rata seharga
50-100 ribu. Ada juga yang seharga 400 ribu, tetapi pasti yang seharga ini
lebih jarang terjual. Dan tidak tiap
harinya.
Di Jayapura dan Papua pada umumnya, Dorlina menjadi
kontradiksi. Di satu sisi adalah potret sedikit manusia Papua yang mau berkarya
mandiri, terlebih ia mempromosikan kekayaan seni dan tradisi Papua. Di sisi
lain, ia adalah potret kebanyakan pribumi yang masih berada dalam lingkaran
kemiskinan, terabaikan dari kebijakan kesejahteraan.
Saya melihat Bank Papua yang terletak di seberang. Ah,
megahnya bangunan itu, barangkali salah satu bangunan tertinggi di Jayapura,
bahkan Papua. Dia menjadi sebuah simbol dari roda ekonomi Papua yang berpotensi
memutar kencang di masa depan.
Namun, tentang megahnya ia nyatanya tak berkorelasi positif pada
upaya pemberdayaan ekonomi orang-orang kecil seperti Mama Dorlina. Coba minimal
ada pemberian kredit sangat lunak dan bimbingan usaha. Jelas ini seperti angkuh
kalau tak bisa dikatakan menutup mata. Pemerintah? Ah, kalau ini apalagi. Suram
seperti tak berpengharapan. Hai pemerintah, bagaimana upayamu mengangkat
derajat masyarakat pribumi Papua? Teriaklah mama Dorlina, tapi dirimu belum
tentu akan terdengar.
Truk pengangkut sampah di Jayapura bisa 'bernyanyi' melantunkan lagu-lagu pop setempat. |
Siswa-siswi SMA N 1 Jayapura sepulang sekolah. Beragam. Potret tumpuan harapan Papua. |
Terlepas dari itu, kita coba lihat sisi lain Jayapura.
Marilah lihat Jayapura sebagai sebuah kota yang menjadi ruang bermakna untuk
belajar tentang toleransi. Di banyak tempat, tersedia masjid dan gereja yang berdiri
saling berhadapan dan tak jarang saling bergandengan. Salah satunya ada di
Polimak, dimana masjid dan gereja hanya sepelemparan batu, dipisahkan jalan.
Memang, ini sekedar wujud toleransi dari dimensi fisik tempat
ibadah. Namun, saya yakin, dalam seluruh dimensi, semua umat beragama hidup harmonis
dan toleran di Kota Jayapura. Hampir dipastikan tak ada keributan yang
mengatasnamakan agama. Jayapura aman-aman saja pada setiap lintas masa. Konflik
berbau SARA pada peralihan Orba dan Reformasi di berbagai daerah tak pernah
merembet ke Jayapura. Mungkin inilah salah satu yang pantas dibanggakan dari
Jayapura.
***
Dalam haribaan senja, sebaik-baiknya pengalaman adalah berdiam,
berdiri sunyi di Puncak Polimak. Dari ketinggian, di sela-sela tulisan besar
“Jayapura City” – seperti tengara tulisan Holywood– saya mengakhiri sepotong hari
dengan menyaksikan Kota Jayapura dari ketinggian. Hari pun menggelap. Tapi,
perlahan juga lampu-lampu realitas Kota Jayapura menyala. Kota Jayapura yang
berbukit-bukit dengan dilekuk oleh Teluk Humbolt menjadi kerlap-kerlip
bersemarak menuju malam.
Di lihat dari sini, Jayapura adalah kota yang indah. Kota
yang cantik bermandikan cahaya. Panorama ini mengingatkan pada gemerlap kemenangan
Indonesia yang berhasil memangku Papua, ‘direbut’ dari Belanda pada tahun 1962
melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) setelah Presiden Soekarno
menggebu-gebu dengan Trikora-nya .
Pantaslah Jayapura lalu disematkan, yang artinya “Kota
Kemenangan” – Jaya adalah menang, Pura adalah kota. Sejak kemenangan itu,
Jayapura pun menimpa nama-nama sebelumnya, seperti Hollandia (nama di era kolonial
Belanda) dan Sukarnopura (terlalu berlebihan menyimbolkan Soekarno).
Kota Jayapura dilihat dari Puncak Polimak. Gemerlap cahaya menyongsong malam. Sajian kemenangan. |
Seorang mama Pribumi yang menjual pinang sirih di Pasar Hamadi. Sekian kecil pribumi yang berjualan. |
Stadion Mandala. Kandang keramat Jayapura. Kebanggaan orang Jayapura dan Papua. |
Namun, hari ini, benarkah Jayapura adalah sebuah simbol yang
mencerminkan kemenangan? Kalau jawabannya kesejahteraan masyarakat Papua, saya
rasa belum. Masih jauh upaya menuju kemakmuran. Namun tidak berarti mustahil,
meski berjalan merangkak, dimana Papua oleh Pusat giat dirangsang oleh Dana
Otonomi Khusus. Namun, kalau jawabannya adalah Persipura Jayapura, bisa jadi
jawabannya benar.
Persipura Jayapura adalah simbol kemenangan Jayapura dan
Papua di pentas nasional. Persipura adalah sedikit raja sepakbola tertinggi
yang awet bersinggasana: Indonesia Super
League (ISL). “Untuk urusan ini, pribumi dan pendatang pasti kompak dan fanatik
mendukung Persipura. Semua senang.” ungkap Bang Agus, lelaki asal Magetan yang merantau
9 tahun di Jayapura dan berjualan sate ayam Madura di kawasan Ruko. Dia
pendukung fanatik Persipura.
“Orang telah tau,
semua pun tau di lapangan hijau kini telah muncul di ufuk timur, Mutiara Hitam.
Timo Kapisa, Johanes Auri, dan kawan-kawannya... Bermain gemilang, menerjang lawan dan selalu menang” Saya teringat sepenggal lagu “Persipura” milik musisi Black Brothers di era 80-an. Rasanya ini lagu senantiasa relevan sepanjang zaman. Ia seakan mengingatkan dewi fortuna kemenangan selalu dalam sepakbola Papua.
Timo Kapisa, Johanes Auri, dan kawan-kawannya... Bermain gemilang, menerjang lawan dan selalu menang” Saya teringat sepenggal lagu “Persipura” milik musisi Black Brothers di era 80-an. Rasanya ini lagu senantiasa relevan sepanjang zaman. Ia seakan mengingatkan dewi fortuna kemenangan selalu dalam sepakbola Papua.
Namun, jujur, Jayapura masih lain cerita dalam urusan kesejahteraan.
Mansar dan Goodlife, riang bermain di Teluk Yotefa. Tempat ini bersejarah sebagai simbol 'pengusiran' Belanda dari Papua |
Monumen Dr. Sam Ratulangi di depan Taman Imbi. Ada semangat Persipura si Mutiara Hitam di sini. |
Kota Jayapura dilihat dari kawasan Angkasa. Menyigi sisi lain Jayapura. |
Senang di Pantai Base-G. Di sinilah Sekutu mendarat di Jayapura untuk merebut kendali dari Jepang. |
Pantai Hamadi. Tempat ini juga menjadi pendaratan Sekutu saat Perang Dunia II. |
Saat itu sedang terjadi kebakaran di gudang perusahaan di daerah Abepura, Jayapura. Polisi memandang sambil mengamankan. |
Ikon Kota Jayapura di daerah Entrop. Sebelum masuk Kota Jayapura pasti disambut dengan tengara ini. |
Seorang nelayan menyongsong senja dengan menjaring ikan di Teluk Yotefa. |
Teluk Yotefa dengan hamparan bakaunya dipandang dari Skyline di Entrop, Jayapura. |
Potret warga Papua dimana mereka harus lebih berdaya dan mandiri. Pasti bisa. Difoto di daerah Polimak. |
Senyum malu-malu empat bocah di Koya, Keerom. Bingkai ramah interaksi pribumi dan pendatang. Dari kiri ke kanan: Tiara, Pausta, Tinche, Agatha |
Batik bermotif Papua yang dijual di kawasan A. Yani. Sesungguhnya batik ini diproduksi di Pekalongan, Jawa Tengah. |
Tugu Pepera yang terletak di depan Mal Jayapura. Tengara bersejarah bersanding dengan tengara gemerlap kota. |
Keramaian di Jl. A. Yani, Jayapura. Pusat kemeriahan Jayapura. Salah sedikit kawasan di Jayapura yang ada tukang parkirnya. |
Seorang wisatawan sedang menikmati pemandangan petang Jayapura dari Puncak Polimak. Tempat ini tak boleh dilewatkan kalau berkunjung ke Jayapura. |
Bersama kawan-kawan HMI (MPO) Cabang Jayapura. Merekalah yang menemani petualangan saya di Jayapura. Kebanyakan pendatang berasal dari Maluku. |
16 komentar
Well written, Iqbal. Aku selalu suka sudut pandangmu dalam mengisahkan sebuah tempat.
BalasHapusSama dengan cerita salah seorang temenku soal mabuk2an itu. Bahkan katanya mereka yang pulang sekolah dari luar negeri (banyak beasiswa Australia khususnya utk masyarakat kawasan timur Indonesia) pun ketika kembali ke tanah asal ya kembali ke kebiasaan asalnya. Sayang sekali. Tapi selalu ada harapan bahwa dari sekian banyak itu ada orang-orang yang mau berubah ke arah yg positif.
Oh ya, menarik ya..hampir ke manapun kita pergi di Indonesia, orang Buton selalu ada. Mereka memang pelaut dan perantau sejati. :)
Makasih mbak Icha.. :)
HapusMabuk2an dianggap mentradisi di Papua, pdhal kata kenalanku asli Papua yg jadi Ketua Gemasaba - organisasi sayap mahasiswa PKB itu adalah tinggalan dari Belanda. Sayang bgt bnyak orang2 brpendidikan tinggi tpi suka mabuk, apalagi di jalanan gitu.. sambil kadang memaki orang, trutama pendatang..
Di jogja aja, pas aku dulu ngontrak, tetangga rumah kos kan ada orang papua, yah sama aja.. setiap malem minggu mabuk2an sama temen2 Papuanya.. sering teriak2 keras.. sayang skali..
Iya, mbak. orang Buton bener2 perantau sejati sudah beberapa generasi di Jayapura.. eh, mbak tapi yg juga menarik tuh klo sekarang itu orang Lamongan, Jatim.. warung2 penyet dan sotonya sudah merambah kemana2 ke pelosok Indonesia.. Di Jayapura, banyak bertebaran warung Lamongan.. hehe
sangar!
BalasHapusmakasiiih pakdhe efenerr udah dolan ke celotehanku ini.. :)
Hapussangat menikmati tulisannya, sekaligus foto2nya
BalasHapuskeren, mas
Makasih kak Dansapar.. syukurlah klo bisa menikmati tulisanku.. Sebenernya banyak skali kesan atas jayapura yg ingin dituliskan.. Tapi skali nulis, eh gak kerasa udah panjang.. hehe..
Hapus:)
mantap,...alur ceritanya ga' bosanin tuk bacanya.
BalasHapuskak Anank.. makasih sudah menikmati celotehanku ttg Jayapura.. salam kenal.. smoga ada manfaatnya dari membaca celotehan gini.. hehe
HapusWah jadi inget kembali saat traveling ke Jayapura beberapa tahun lalu. Nggak ke Monumen Douglas Mc Arthur?
BalasHapusWaduuuh om Harris.. gak kesampaian ke Monumen Douglas Mc Arthur. Padahal wktu tuh udah ke Sentani juga, eh trlalu mepet, hehe.. Semoga lain kali bisa mampir ke Mc Arthur..
HapusSempat kemarin juga ke perbatasan PNG, hehe
saya orang manado lahir besar di jayapura hanya kuliah di manado skrg sudah kerja di manado tapi hatiku tetaplah jayapura yang no1 thanks bro sudah memuat kota kelahiranku..
BalasHapusSama-sama kak Herol Loho.. salam kenal yah.. Jayapura memang membuatku berkesan. Menemukan banyak pengalaman yg membuat saya makin tau beragam sekali Indonesia.. Di Jayapura bisa jadi ruang belajar yg baik utk hubungan harmonis masyarakat..
HapusTernyata jayapura sudah kota besar seperti itu yah. Ceritanya menarik sekali kak Iqbal, salam kenal :)
BalasHapusBetul mas Wira. :) Jayapura juga kotanya berbukit2 jadi mnurutku jadi kota yg cantik.. Menarik utk dieksplorasi. :)
Hapussalam kenal juga mas Wira.. :) Makasih udah mampir di blog saia..
Di jayapura banyak banget tempat tempat yang keren... jadi mau tinggal disana :D
BalasHapusPerjalanan yang sangat keren! tentunya dengan pemanfaatan daerah sebagai tempat wisata dibutuhkan strategi ilmu yang baik. maka dari itu kami menyediakan bagi adik-adik yang berminat untuk belajar pariwisata dengan program kami Pendaftaran D3 Pariwisata UNAIR . Semangat ! :)
BalasHapus