Terjun dari Pohon. Permainan di Minggu sore bagi anak pribumi Jayapura. |
Akhirnya... Saya bisa menapakkan kaki di tanah Papua. Sebuah realisasi harapan yang sudah saya damba selama bermasa-masa. Jujur, perjalanan ke pulau besar di ujung timur Indonesia adalah perjuangan berat (kalau tak dikatakan utopia) teruntuk saya – apa lagi alasannya kalau bukan tentang biaya, tapi Allah ternyata punya kehendak indahnya. Alhamdulillah.
Saya beruntung bisa hadir di Papua karena dibiayai sebuah
lembaga donor asing untuk ‘diculik’ menjadi fasilitator pelatihan keuangan
daerah di Kota Jayapura. Tugas 5 hari pun saya ekstend-kan menjadi 8 hari. Tiga hari tambahan adalah ‘tugas
pribadi’ saya menyelami terumbu realitas di tanah Papua, di Jayapura dan
sekitarnya. Saatnya mengabdi untuk memetik buah kehidupan yang lebih universal.
Terbayang pertama tentang Papua adalah tentang ruang hitam yang terpelosok, sunyi, dan tertinggal. Setidaknya Alfred Russel Wallace dalam mahakaryanya "The Malay Archipelago, The Land of The Orang Utan and the Bird Paradise" mendeskripsi Papua dari fisik para penduduk aslinya.
"Warna kulit sangat gelap, kecokelatan atau hitam. Kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Amat berbeda dalam warna, melebihi Melayu, kadang-kadang hitam agak kecokelatan. Rambut sangat kasar dan kering."
Namun hadir di Jayapura, prasangka tersebut adalah sebuah dusta. Jayapura penuh dengan hingar bingar manusia beserta kesibukannya. Tentang ‘hitam’ juga tak sepenuhnya benar. Pendatang melimpah, yang melintas daerah dari Ambon, Ternate, Tidore, Jawa, Manado, Makassar, Buton, sampai Padang, Medan dan Aceh. Sebuah miniatur sejati Indonesia. Dari sekitar 350 ribu penduduk Jayapura, hampir separuhnya adalah pendatang.
"Warna kulit sangat gelap, kecokelatan atau hitam. Kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Amat berbeda dalam warna, melebihi Melayu, kadang-kadang hitam agak kecokelatan. Rambut sangat kasar dan kering."
Namun hadir di Jayapura, prasangka tersebut adalah sebuah dusta. Jayapura penuh dengan hingar bingar manusia beserta kesibukannya. Tentang ‘hitam’ juga tak sepenuhnya benar. Pendatang melimpah, yang melintas daerah dari Ambon, Ternate, Tidore, Jawa, Manado, Makassar, Buton, sampai Padang, Medan dan Aceh. Sebuah miniatur sejati Indonesia. Dari sekitar 350 ribu penduduk Jayapura, hampir separuhnya adalah pendatang.