Ramah Wajah Nusa Cendana
September 30, 2013Frans, bocah nelayan di Pasar Ikan Oeba, Kupang. Kesehariannya akrab dengan laut. |
Di manakah menemukan kebahagiaan? Seorang guru saya pernah berujar, “Temuilah orang-orang baru. Temuilah mereka di tempat-tempat baru. Sepenggal kebahagiaan ada pada kisah, senyum dan laku mereka.”
Itulah kenapa saya suka melakukan perjalanan. Kemana saja.
Ke tempat apa saja. Tanpa harus terpenjara pada belenggu ‘eksotisme tempat yang
indah’. Bagi saya, setiap tempat selalu menyuguhkan ‘hiburan’ yang
membahagiakan dari kisah manusia-manusianya. Tak terkecuali, akhir Maret 2013 lalu,
perjalanan saya ke Pulau Timor pun begitu membahagiakan. Saya menjumpai berlimpah
khasanah manusia di pulau yang terkenal
dengan sebutan Nusa Cendana.
Pulau Timor yang saya kunjungi memang sekedar separuh. Hanya
Timor yang menjadi milik Indonesia. Separuhnya telah merdeka, menjadi negara Timor
Leste yang dulunya adalah mantan provinsi ke-27 RI bernama Timor Timur.
Perjalanan menyusur realitas Kupang hingga Atambua selama 5 hari berhasil
memungut ragam kisah manusia di pulau yang oleh Alfred R. Wallace digambarkan
sebagai dataran yang kering, cuaca yang panas dan tabiat yang keras. Tapi....
“Kami ini memang hitam, bicaranya keras dan kasar. Mas
jangan takut sama kami. Kami bukan orang jahat. Hati kami lembut dan baik.”
ungkap Alfonso, pemuda Timor yang menjadi kernet Bus Kupang – Atambua saat saya
belum lama menginjakkan kaki di Timor.
Kata-kata dari sosok Alfonso yang berperawakan kekar,
berkulit hitam legam ini berhasil meyakinkan saya sedari awal bahwa Pulau Timor
adalah ruang yang ramah. Itu lalu berlanjut pada setiap perjumpaan saya dengan orang-orang
Timor di Atambua, Betun, Kefamenu, Boti, Soe, hingga Kupang.
Tak sekalipun saya menemui sosok-sosok yang menakutkan,
jahat, atau segala hal yang buruk yang selama ini tersterotipkan kepada orang
Timor. Jujur, saya menemukan bahagia bersama mereka. Berinteraksi bersamanya
serasa terajut jalinan persaudaraan. Kami tak canggung bertukar kata, rasa dan
kisah, melintasi suku, bangsa dan agama. Luar biasa ramah Timor.
Namun, setiap kali mengingat Timor, ada yang membuat saya
sedih. Apalagi kalau bukan ketertinggalannya. Timor beserta senarai kepulauan
di Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat bawah dalam hal kesejahteraan.
Siapakah yang salah? Sungguh trenyuh apabila keramahan tulus orang Timor
ternyata tak berkawan ramah pada kemakmuran hidupnya. Rasanya pemerintah, baik
pusat dan daerah perlu digugat. Setiap tepi, pinggir memang sering dilupakan.
Diabaikan.
Gemuruh Laut Timor yang membatas Timor dengan wilayah
Australia itu selalu mengungkapkan keresahan Timor. Namun, Mama Ela Bere,
keluarga baru saya di Atambua, tahu betul caranya bisa berbahagia di tengah
keterbatasan dan ketertinggalan.
“Berjalanlah selalu pada jalan Tuhan. Segala kesulitan hidup
serahkanlah kepada Tuhan.” ungkapnya mantap nan bijak. Dan, meski kami menyebut
nama Tuhan berbeda, tak ada retak di antara kami. Itu karena ramah Nusa Cendana
lebih mementingkan toleransi dan harmoni...
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
Add caption |
2 komentar
Wah Sama :D Tahun lalu aku juga dari sana. 5 hari, dari Kupang sampai Atambua.
BalasHapusMengenal lebih dekat orang Timor ini benar2 menyenangkan. Masih inget banget Om sopir & kenek oto yang bantu nyariin ojek buat dianter ke penginapan.
Dan pas di perbatasan, lupa gak bawa KTP atau tanda pengenal lain tapi masih diperbolehkan masuk, bahkan diantar pak petugasnya
Mantaaaaaap Kak Dian udah menjelajah Timor juga.. Kebetulan aku nginep juga di rumah warga asli Atambua, melihat kesehariannnya ramah luar biasa.. Dan betuuul banget, kenek oto nya sampai nyari ojek buat nganter gitu.. Bahkan, mnurutku hal itu jarang ditemui di Jawa.. Di Timor hampir smua daerah pasti sangat peduli sama orang 'baru'..
HapusPingin bisa main lagi ke Timor.. :)