Menyelami Lautan Tradisi Sasak di Sade
Agustus 31, 2013Seorang perempuan tua Sasak di Sade. |
Siang boleh memancar terik, tapi tidak bisa menyurutkan semangat dua lelaki petarung Sasak. Aksi menyerang dan bertahan tiada hentinya dilakukan. Sporadis penuh nuansa kekerasan. Keduanya terlibat saling memukul dengan tongkat rotan (pejalin) sembari menangkis dengan perisai (ende) dari kulit kerbau. Saling adu hantam.
Tapi, tatkala musik
tradisional berdendang, mereka harus berhenti. Lalu, menari riang bersama, saling
berkawan akrab. Pertarungan dua pria ini pun bukanlah tentang pertengkaran,
permusuhan. Melainkan suguhan Peresean,
sebuah tradisi yang menjadi simbol kejantanan pria Suku Sasak, Lombok.
Saya beruntung ketika tiba di
Kampung Adat Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah tepat saat berlangsung
Peresean. Suasana halaman kampung
Sade ramai dengan para wisatawan yang sebagian besar adalah turis asing.
Sepertinya rombongan turis asing ini hadir secara khusus menanggap acara
tradisi Sasak di Sade. Sebagian wisatawan domestik seperti saya cukup menikmati
sajian gratis yang telah dipesan para bule dari Prancis ini.
Sesungguhnya, Peresean awalnya merupakan bagian dari
upacara adat suku Sasak. Konon, tarian perang ini dilaksanakan pada musim
kemarau untuk meminta hujan. Peresean
juga dilakukan saat para prajurit meluapkan kegembiraannya sepulang dari medan
perang. Tapi seiring perkembangan zaman, ritus ini bisa dikonversi sebagai
hidangan pemuas para wisatawan yang ingin melahap tentang khasanah tradisi Suku
Sasak. Para tamu dan wisatawan bisa menanggap Peresean kapan pun dalam balutan wisata budaya.
Petarung Peresean disebut Pepadu.
Pertarungan Peresean dipandu oleh dua
jenis wasit, yakni Pakembar Sedi, wasit
yang berada di pinggir dan Pakembar
Tengaq yang berada di tengah. Pepadu
bertelanjang dada dan mengenakan kain khas Lombok yang diikatkan di kepala dan
di pinggang. Penjalin dan Ende menjadi senjata bagi para Pepadu. Sebelum dimulai, Pakembar Sedi akan memberi instruksi dan
doa kepada Pepadu untuk melancarkan
jalannya Peresean.
Peresean
yang ada di Sade menggunakan Pepadu yang
telah disediakan oleh pengurus wisata Kampung Adat Sade. Tapi, ketika diadakan sebagai
atraksi tradisi di masyarakat, Pepadu
diambil dari penonton sendiri ketika acara akan dimulai. Insidental. Ada dua
cara untuk mendapatkan Pepadu, yaitu: pertama, Pekembar Tengaq
menunjuk langsung calon Pepadu dari para penonton yang hadir.
Kedua, Pepadu yang telah
memasuki arena pertarungan menantang salah satu penonton untuk melawannya.
Tarung Peresean sarat kekerasan tapi tetap berbalut pada nuansa keakraban. Meneguhkan tradisi Sasak |
Pakembar Sedi sedang memberi mantra dan sugesti agar pepadunya terus bersemangat. |
Papan Selamat Datang di Kampung Sade. Wisatawan asing ramai mengunjungi Sade untuk belajar budaya Sasak |
Suara tepak tepok besatan penjalin dan tangkisan ende merajut harmonis dengan iringan alat-alat
musik tradisional khas Sasak. Ini menghadirkan romantika syahdu sebuah tradisi
Sasak yang sudah berlangsung turun temurun. Tapi, tetap saja penonton pasti
akan menahan nafas dan jantung berdetak kencang melihat suasana Peresean yang kental dengan aroma
kekerasan.
Peresean diselenggarakan
selama 5 ronde dengan durasi 3 menit tiap ronde. Pemenangnya adalah yang
mendapat skor tertinggi. Namun, jika salah satu Pepadu mengeluarkan darah di kepala atau badan, maka pertarungan
selesai dengan kemenangan di pihak Pepadu yang tidak mengeluarkan darah.
Akhirnya, pertarungan Peresean selesai dalam 5 ronde. Jagoan
saya yang berasal dari sisi kanan ditetapkan menjadi pemenang. Namun, mesti
diingat, sesungguhnya kemenangan bukanlah yang ingin dicapai. Pelestarian
tradisi adalah tujuan utama pelaksanaan Peresean.
Selesai bertarung, nuansa kekerasan langsung hilang. Kedua Pepadu langsung akrab berpelukan. Ini menjadi tanda untuk membuang
dendam, menghadirkan persahabatan.
“Ada pesan luhur dari Peresean. Setiap Pepadu dituntut memiliki jiwa yang berani tapi rendah hati, serta tidak
dendam. Mengalahkan ego diri sendiri adalah tantangan terberatnya ” ungkap Ono,
warga Sade yang menjadi pemandu saya selama di sana. Setiap wisatawan yang
hadir akan langsung disambut warga setempat yang menawarkan sebagai tour guide.
Setelah itu, nuansa ketegangan Peresean beralih kepada keriangan Tari Amaq Tempengus. Seorang amak atau bapak dalam istilah Lombok, berdandan jenaka dengan memoles wajahnya dan berpakaian layaknya badut tapi dengan nuansa etnis Sasak. Dia bertingkah lucu dengan metode ala pantomim. Sesekali dia mendekati pengunjung untuk berfoto bersamanya. Tari Amaq Tempengus adalah kreasi tradisi untuk hiburan para pejuang Sasak sepulang dari medan pertempuran. Saat itu, seluruh pengunjung yang memadati halaman Desa Sade pun terhibur dengan perangai sang bapak penari.
Setelah itu, nuansa ketegangan Peresean beralih kepada keriangan Tari Amaq Tempengus. Seorang amak atau bapak dalam istilah Lombok, berdandan jenaka dengan memoles wajahnya dan berpakaian layaknya badut tapi dengan nuansa etnis Sasak. Dia bertingkah lucu dengan metode ala pantomim. Sesekali dia mendekati pengunjung untuk berfoto bersamanya. Tari Amaq Tempengus adalah kreasi tradisi untuk hiburan para pejuang Sasak sepulang dari medan pertempuran. Saat itu, seluruh pengunjung yang memadati halaman Desa Sade pun terhibur dengan perangai sang bapak penari.
Penari Tari Amaq Tampengus yang jenaka. Mengundang decak tawa para pengunjung. |
Amak sering mengundang wisatawan untuk memfoto atau berfoto bersama dirinya. Hiburan yang sarat tradisi. |
Tari Amaq Tempengus menutup suguhan tarian-tarian khas Sasak untuk menyambut wisatawan di Sade. Saya hadir di sana terlambat, tidak menyaksikan sedari awal. Sebelum Tari Peresean dan Tari Amaq Tempengus, biasanya dipentaskan Tari Gendang Beleq dan Tari Petut. Tari Gendang Beleq adalah tarian Sasak untuk mengiringi pasukan yang berangkat perang atau datang dari medan perang. Tari Petut adalah tarian yang diperagakan anak-anak.
“Mari mas, kita
berkeliling masuk ke kampung Sade. Lihat suasana kampung beserta aktivitas
masyarakat.” ajak Ono dengan ramah untuk memulai petualangan ‘blusukan’ ke
dalam kampung asli Sasak ini.
Saat itu, Ono
sedang libur dari aktivitas kuliahnya di Universitas Saraswati, Mataram,
jurusan Manajemen. Setiap akhir pekan dia pasti pulang ke Sade untuk menjadi tour
guide wisatawan. Baginya, menjadi tour guide adalah sebuah ikhtiar
pengabdian untuk memajukan tradisi kampungnya dan suku Sasak. Selain tentunya,
untuk menambah uang saku demi membiayai kuliahnya. Ono adalah sebuah contoh
hebat pemuda Sade yang mandiri dan peduli tradisi Sasak. Salut..!
Memaknai
Kearifan Bale-Bale
Di Kampung Sade, tradisi Sasak masih asli mewujud dalam segala sendi kehidupan masyarakat. Orisinalitas bangunan adat, upacara tradisi, aktivitas kehidupan dan warisan tradisi nenek moyang turun temurun masih terjaga dengan baik. Modernitas seperti televisi, HP, dan motor, memang telah menyentuh kampung yang berada di tepi jalan utama menuju kawasan Pantai Kuta Lombok. Tapi, aturan adat yang tradisional tetap kukuh dijunjung masyarakat. Kampung Sade pun menjadi benteng tradisi suku asli Pulau Lombok yang teguh melintas zaman.
Di Kampung Sade, tradisi Sasak masih asli mewujud dalam segala sendi kehidupan masyarakat. Orisinalitas bangunan adat, upacara tradisi, aktivitas kehidupan dan warisan tradisi nenek moyang turun temurun masih terjaga dengan baik. Modernitas seperti televisi, HP, dan motor, memang telah menyentuh kampung yang berada di tepi jalan utama menuju kawasan Pantai Kuta Lombok. Tapi, aturan adat yang tradisional tetap kukuh dijunjung masyarakat. Kampung Sade pun menjadi benteng tradisi suku asli Pulau Lombok yang teguh melintas zaman.
Memasuki lebih dalam di Kampung Sade berarti saya
harus menyusuri gang-gang sempit di antara deretan rumah tradisional warga.
Tata kampung bertingkat-tingkat. Semakin masuk ke dalam, semakin menaik tinggi.
Semakin menusuk pada aroma keagungan sebuah kebudayaan yang setia dijunjung
masyarakatnya.
Di sebelah kanan kiri gang, di beranda rumah, para
warga senantiasa menyapa ramah. Murah melemparkan senyum. Sembari mereka tekun menenun
dan riuh menjajakan berbagai aneka kerajinan tradisional buatannya. Anak-anak
kecil bermain riang, sesekali membantu orang tuanya berjualan. Romantika
kehidupan masyarakat Kampung Sade membuat saya terlempar pada ruang bersahaja
tradisi yang berumur berabad-abad.
Tata ruang dan arsitektur bangunan di Kampung Sade
mencerminkan adanya kearifan dari suatu peradaban. Kampung Sade menjaga
bangunan rumahnya agar senantiasa orisinal dan tradisional. Rumah-rumah selalu
berdinding anyaman bambu dan bersangga beberapa pilar yang terbuat dari bambu
dan kayu. Atap rumahnya berbentuk seperti gunungan yang terbuat dari susunan
jerami yang diikat dengan tali ijuk. Lantainya terbuat dari campuran tanah,
getah kayu pohon serta abu jerami. Kadang ada juga yang dicampur dengan kotoran
kerbau.
Gang-gang sempit yang melorong. Bertingkat-tingkat. Menjadi ciri khas Kampung Sade |
Warga berjualan aneka kerajinan di depan rumah atau bale. Membuat meriah dengan senyum ramahnya. |
Bale Tani, salah satu jenis rumah di Kampung Sade. |
Rumah di Kampung Sade tidak memiliki jendela dan hanya
memiliki satu pintu masuk di bagian muka. Satu pintu ini dimaknai bahwa dalam
hidup harus ada aturan tunggal, ada yang dijaga dan tak boleh dilanggar. Ono
mengajak saya untuk masuk ke salah satu rumah warga. Dalam tradisi Sasak, rumah
disebut dengan Bale.
Saya pun dipersilakan masuk ke rumah yang berjenis Bale
Tani. Bale Tani adalah bangunan yang ditempati sebagai rumah
penduduk. Bentuknya persis limasan layaknya rumah tradisional di Jawa. Ruangan Bale
Tani dibagi menjadi Bale Luar yakni ruang Sesangkok (serambi) dan Bale
Dalam, yakni ruang Dalem Bale (kamar) dan Pawon (dapur).
Ruangan Bale Dalam diperuntukkan bagi anggota keluarga wanita. Bale Dalam memiliki dua tungku yang menyatu
dengan lantai untuk memasak dan menjadi tempat penyimpanan persediaan makanan dan harta benda keluarga. Sedangkan
ruangan Bale Luar diperuntukkan bagi
anggota keluarga lainnya, yang juga berfungsi sebagai ruang tamu.
Posisi Bale Dalam harus lebih tinggi daripada Bale Luar yang dihubungkan dengan tiga anak tangga. Jumlahnya tiga
merunut pada kepercayaan asli Sasak yakni Wetu
Telu. Orang Sasak memercayai Wetu
Telu, yang dimaknai bahwa hidup ini terkait dengan konsep tiga waktu, yakni
lahir, tumbuh dan mati. Seiring masuknya Islam ke Lombok, orang Sasak
mengadaptasi ajaran Islam ke dalam tradisi Wetu
Telu, yakni berupa sholat tiga waktu. Sholat tiga kali sehari ini pun hanya
dilaksanakan kiai nya saja.
Meski demikian, sekarang
penerimaan Islam di Suku Sasak, termasuk di Kampung Sade, telah penuh menjadi Wetu Lima. Warga Sade telah menunaikan
sholat lima waktu dan ajaran Islam sepenuhnya. Uniknya, pengadopsian Wetu Lima ini juga mewujud pada bangunan
Suku Sasak. Pada bagian muka Bale Luar di Bale Tani, terdapat dua tangga lagi
yang dibuat dengan mengukir lantai. Di sini tersirat makna bahwa ajaran leluhur
tak serta merta akan dihilangkan tatkala menganut agama Islam. Ada akulturasi
yang cerdas antara tradisi Sasak dengan agama Islam.
Di tangga teratas Bale Dalam,
terdapat sebuah pintu masuk geser. Namanya Lawang
Kuri, tingginya hanya sekitar satu seperempat meter. Saat melewatinya, saya mau tidak mau mesti menundukkan badan dan
kepala. Ternyata ini bermakna bahwa ketika masuk ke dalam rumah, sang tamu
harus hormat kepada sang pemilik rumah. Lawang
Kuri ini secara turun temurun tidak pernah berubah.
Saya merasakan suasana begitu
sejuk di dalam Bale Tani, padahal saat itu terik siang sedang mencapai
puncaknya. Dan jika malam tiba, di dalam ruangan sepertinya akan terasa hangat.
Benar-benar cocok untuk tempat tinggal di iklim tropis. Sebuah kearifan lokal
dari orang Nusantara tentang arsitektur bangunan tempat tinggal yang telah
teruji ratusan tahun.
“Seminggu sekali, lantai Bale
akan dipel dengan kotoran kerbau atau sapi yang masih ‘hangat’. Tapi tenang!
Tidak bau. Gunanya untuk menguatkan lantai rumah, mengusir nyamuk dan membuat
rumah terus hangat.” ungkap Ono. Saya cukup terkaget dengan cerita unik ini.
Tapi, memang benar, tak tercium bau sekalipun meski ruangan Bale ini cukup
lembab.
Saya kini beranjak untuk
berlanjut mengelilingi perkampungan Sade. Ada rupa bangunan yang cukup
‘eksotis’. Di antara beberapa Bale Tani, terdapat Bale yang berbentuk panggung,
tidak berdinding, bertiang empat dan memiliki ruang di atasnya dengan atap mengerucut
ke atas. Namanya Bale Lumbung. Ternyata, rupa Bale Lumbung yang unik inilah
yang dari tadi sering saya jumpai setiba menginjakkan kaki di Pulau Lombok.
Bale Lumbung telah ditetapkan sebagai arsitektur identitas khas Pulau Lombok.
Ruangan atas Bale Lumbung digunakan untuk menyimpan
padi hasil panen, sebagai lumbung padi. Satu lumbung biasanya digunakan untuk
lima kepala keluarga. Padi ini berasal dari sawah-sawah warga yang menggunakan
sistem tadah hujan. Setahun paling banyak dua kali panen. Oleh karena itu,
masyarakat benar-benar mengelola hasil panennya demi ketahanan pangan.
Keberadaan Bale Lumbung bisa juga menjadi
simbol dari masyarakat Sade yang agraris, dimana bertani di sawah adalah
menjadi mata pencaharian utamanya.
Bagian lumbung ini diletakkan
di bagian atas memiliki maksud agar hasil panen yang disimpan terhindar dari
banjir dan serangan hama tikus. Adapun, bagian bawah Bale Lumbung biasanya dimanfaatkan para warga untuk berkumpul,
bercengkerama dan bertukar rasa dan kata secara akrab.
Tiga anak tangga yang menggambarkan Wetu Telu, kepercayaan asli Sasak. Dilihat dari Lawang Kuri. |
Ruangan Dapur Bale Dalam di Bale Tani. Menyatu dengan tanah. |
Bale Lumbung. Bentuknya menjadi identitas khas bangunan di Lombok. Tempat menyimpan padi. |
Bangunan yang juga sering ditemui di kampung adat Sasak adalah Berugak. Di tempat inilah para tamu biasa dijamu. Selain itu para warga juga biasa berkumpul (begibung), bersantai selepas kerja dan pertemuan internal keluarga. Wujudnya mirip pondok petani di tengah sawah. Berbentuk panggung, tanpa dinding, tiang dari bambu dan atapnya dari alang-alang. Berugak yang disangga empat tiang disebut Berugak Sekepat dan yang disangga enam tiang disebut Berugak Sekenam.
Jenis Bale lain di Kampung Sade adalah Bale Kodong. Ukurannya sangat kecil, tingginya pun kurang lebih
setinggi orang dewasa. Bale Kodong
biasanya digunakan bagi pengantin baru atau orang lanjut usia yang tinggal
bersama cucu-cucunya.
Selain itu, juga terdapat Bale Bonter yang merupakan tempat pesangkepan adat. Di Bale Bonter inilah permasalahan
pelanggaran hukum adat diselesaikan. Selain itu, Bale Bonter menjadi tempat pembuatan awig-awig untuk upacara adat. Rumah
ini berbentuk segi empat bujur sangkar, memiliki paling sedikit 9 tiang dan
paling banyak 18 tiang. Bale Bonter
berdinding bedek yang tidak bersekat.
Ono menghitung setidaknya di Kampung
Sade yang luasnya 700 hektar ini terdapat 152 rumah yang ditinggali oleh
sekitar 700 jiwa. Seiring perkembangan zaman, penduduk Sade terus berkembang,
bertambah banyak. Maka, warga generasi berikutnya yang tak tertampung diperkenankan
membangun rumah di sekitar Kampung Sade. Saya melihat di sekitar Sade banyak
dijumpai rumah dengan nuansa modern, yakni rumah tembok dan beratap genteng.
“Warga Sade telah sepakat, nuansa
tradisional Kampung khas Sasak harus dipertahankan. Tak boleh membangun rumah
yang berlainan dengan tradisi di kawasan kampung. Kalau di sekitar kampung
tidak masalah.” ungkap Ono, yang paham sekali seluk beluk tradisi kampungnya.
Romansa Perempuan Sade dalam Kain Tenun
Jemari yang sudah mulai
keriput tak terlihat sekalipun luput dalam menyusun beberapa helai benang.
Perempuan tua itu tetap awas dan lincah untuk merangkai deretan warna untuk
membuat kain tenun ikat yang menarik. Setelah benang bisa terikat dan rapat,
dia kembali lagi menarik alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu yang mulai
melapuk.
Tatkala saya menyapanya,
senyum rentanya mengembang disertai gigi ompongnya yang berbalut warna jingga
kinangnya. Sayangnya, dia keberatan untuk dijepret. “Saya malu, sudah tidak
cantik lagi” katanya terbata-bata dalam bahasa Indonesia.
Tapi, di sebelahnya, seorang
perempuan muda dengan senang hati mengungkap kisah aktivitas tenun di Sade. Sama.
Dia juga sedang menyusun berhelai-helai benang untuk dicipta kain tenun ikat. Dia
tahu, laku menenunnya telah memantik atensi mendalam para pengunjung untuk mengetahui
seluk beluk kerajinan tradisional khas Sasak. Sambil merapatkan helaian benang,
dia pun antusias berkisah.
”Menenun bagi kami adalah bentuk
tradisi yang harmonis dengan alam. Ada keselarasan dengan lingkungan sekitar.
Secara turun temurun, kain tenun di Sade menggunakan bahan-bahan yang tersedia
di alam. “ ungkapnya semangat memulai cerita.
Seorang perempuan sedang memintal kapas untuk dijadikan benang. Dibuat secara tradisional. Alami. |
Alat untuk menggulung benang. Agar mudah untuk ditenun. |
Perempuan muda yang sedang menenun untuk dijadikan kain. Setiap wanita di Sade jago menenun. |
Dimulai dari bahan baku
kapas, warga Sade mengambil kapas dari pohonnya sendiri di ladang di sekitar
kampung. Namun, saat ini sudah jarang ditemukan sehingga kapas pun biasanya didapatkan
dari pasar-pasar sekitar daerah Pujut. Jika dipetik sendiri, kapas terlebih
dulu akan dijemur hingga kering yang memerlukan waktu berhari-hari. Kapas
kering ini kemudian dihaluskan dengan sebuah alat tradisional agar bisa menjadi
bahan baku benang.
Selanjutnya, kapas halus akan
dibentuk menjadi pintalan-pintalan benang putih dengan cara menggulung melalui
suatu alat sederhana dari kayu. Alat pintal ini berwujud seperti tiang yang
diberi dua kayu melintang mewujud empat sisi pada ujung atasnya. Hasil pintalan
benang ini, selain sebagian digunakan untuk bahan tenunan sendiri, juga bisa dijual
ke penenun lainnya.
Dari sinilah, proses
pewarnaan lalu dilakukan. Masyarakat Sade secara turun temurun menggunakan
pewarna alami yang didapatkan dari alam sekitar kampung. Pewarna alam ini bisa
berupa tanah atau getah tumbuhan. Beberapa diantaranya, warna biru didapatkan
dari buah mengkudu, merah dari kusumba, jingga dan kuning dari kunyit. Pewarna
alami ini sangat berkualitas, mampu meresap dengan baik ke benang dan tidak
akan memudar.
Tahap berikutnya adalah tahap
inti, yakni menenun. Proses penenunan di Sade biasanya rutin dilakukan siang
hari di Bale Tani atau di Berugak. Alat tenun yang digunakan pun masih
tradisional, dimana benang-benang akan diikat, ditarik dan disusun pada media berupa
rangkaian kayu hingga terbentuk kain. Nantinya, kain tenun ikat bisa dibuat
dalam wujud taplak meja, kain sarung, kain songket, selendang, dan
lain-lain. Prosesnya pembuatan tenun ikat memakan
waktu 2-4 minggu tergantung dengan ukuran dan tingkat kerumitan motifnya.
Saya terkagum dengan
keindahan kain tenun ikat Sasak ciptaan para perempuan Sade. Warna kain begitu
mencolok mata dengan motif-motif yang menarik. Kain tenun berhias motif seperti
bunga, rumah adat Bale Lumbung, padi,
burung, kerbau , corak abstrak dan spesialnya adalah cicak. Mengapa cicak? Bagi
Suku Sasak, cicak menjadi simbol keberuntungan. Orang Sasak suka memakai kain
tenun bercorak cicak. Sedangkan para wisatawan biasanya senang membeli corak
rumah adat dan bunga.
Semenjak Kampung Sade menjadi
Desa Wisata, karya kain tenun Sade menjadi lahan pendapatan bagi warga, di
samping dari sektor pertanian. Hampir di depan setiap rumah, para warga menjajakan
beragam kain tenun pada tempat semacam ‘showroom’ mini. Harganya rata-rata
50.000 – 400.000 rupiah. Untuk wisatawan asing, harga kain tenun akan ditawarkan
dua kali lipat. Selain menjual kain, ‘showroom’ ini menjual aneka kerajinan
aksesoris dan souvenir seperti gelang, kalung, kaos, gantungan kunci, patung
dan lain-lain yang juga buatan khas warga Sade.
Kain tenun karya perempuan Sade dipajang di sebuah showroom untuk dijual. Menambah pendapatan masyarakat. |
Motif cicak atau tokek adalah pembawa keberuntungan bagi warga Sasak. Aneka kerajinan selain kain juga dijual. |
Seorang nenek yang berjualan ragam gelang, kalung hasil kerajinan perempuan Sade. |
“Sudah jadi tradisi, setiap perempuan Sade harus bisa menenun. Sejak usia 10 tahun, saya telah diajari menjalankan alat tenun.” ungkap perempuan itu yang saat menenun selalu memakai bawahan kain tenun buatannya. Ikhtiar mengagungkan tradisi.
Dalam suku Sasak, terdapat
sebuah tradisi lama. Seorang perempuan belum bisa dinikahkan jika belum pandai
menenun kain. Alasannya, jika belum bisa menenun dianggap belum baligh atau dewasa. Meski di daerah lain
di Pulau Lombok tradisi ini sudah jarang berlaku, di Sade tanpa adanya aturan
adat sekalipun pun, menenun sudah wajib menjadi keahlian para perempuan Sade.
Menenun telah menjadi bagian keseharian hidup masyarakat Sade. Sudah sedari
ratusan tahun lalu, menenun merupakan laku kreativitas dan kemandirian hidup kaum
perempuan Sade.
***
Sade. Ruang sesak ragam
tradisi asli Sasak ini akhirnya telah selesai saya kelilingi. Dalam satu
setengah jam menelisik sudut-sudut kampung, saya telah berjumpa dengan aneka geliat
warga, kemegahan karya budaya, serta intisari makna.
Saya senang bisa menyelami
lautan tradisi yang kaya terumbu makna di salah sedikit kampung di Lombok yang
kukuh melestarikan warisan luhur nenek moyangnya. Kampung Sade menjadi salah
sedikit tapak sejarah dari keagungan Kerajaan Pejanggik di Praya yang
dulunya merupakan salah satu pusat peradaban suku Sasak.
Mentari sudah bergeser makin ke
barat dari puncaknya. Sebelum melepas Sade, saya menunaikan ibadah sholat
dhuhur terlebih dulu di masjid Kampung Sade. Tentu saja, arsitektur masjid ini
kental dengan nuansa tradisional. Berdinding bambu dan beratap rumbia yang
berbentuk tumpang tiga tingkat layaknya masjid di Jawa.
Terdapat juga sebuah pintu
khas Sasak, lawang kuri. Hanya saja
lantainya berbahan keramik, berbeda dari lantai rumah tradisional Sasak.
Suasana begitu mendamaikan dan menenangkan. Terpancar akulturasi kebudayaan
yang sejuk dalam sudut-sudut bangunannya. Masjid ini menjadi tengara bahwa
Islam telah merasuk penuh pada perikehidupan masyarakat Sade.
Di sini, saya berjumpa dengan
Amak, sang penari jenaka tadi. Dia sedang menyapu dan mengepel halaman masjid.
Kata Ono, sehari-hari Amak ini menjadi pengelola masjid kampung. Saya
menghampirinya dan mengucapkan salam yang berlanjut pada sedikit
berbincang-bincang. Ternyata, darinya saya tahu bahwa aksi jenakanya telah
terkenal di seantero Pulau Lombok. Dengan bangga, dia berkisah sering diundang
untuk menghibur tamu penting dari dalam dan luar negeri.
“Bahkan, Presiden SBY pernah mengundang Amak saat berkunjung ke
Pulau Lombok tahun 2011 lalu.” Jelas Ono, yang sepertinya turut bangga dengan
raihan Amak, si jenaka dari Sade.
Kami pun berpamitan. Senoktah
kisah di ujung petualangan Sade makin melengkapkan makna betapa berharganya
saya bisa hadir di sana. Sebuah kombinasi sempurna tentang cerita alam, manusia
dan budaya Sasak yang beraneka rupa di Kampung Sade. Sembari memberi uang
apresiasi kepada Ono atas jasanya memandu – dia tak mematok harga, seikhlasnya,
saya bersayonara sambil berucap “Matur
Tampiasih” Sade. Terima Kasih Sade!
Masjid Kampung Sade. Nuansa tradisional Sasak tetap terjaga sebagai bukti akulturasi kebudayaan. |
Salah satu showroom sekaligus workshop kerajinan kain tenun. Tampak alat pintal tradisional yang digunakan. |
Berugak juga digunakan sebagai lokasi jualan aneka kerajinan khas Sasak di Sade |
Bagian lumbung pada Bale Lumbung. Tempat menyimpan padi warga Sade. Anti hama tikus dan banjir. |
Tiga anak tangga Wetu Telu ditambah dua anak tangga, cerminan Wetu Lima |
Lawang kuri juga digunakan di Masjid Kampung Sade. |
Bale Lumbung yang arsitekturnya sangat khas Sasak. |
Eksis di Sade saat kunjungan pertama pada awal tahun 2011 |
*) Tulisan ini diikutkan pada Lomba Blog Terios 7 Wonders "Hidden Paradise" yang diselenggarakan oleh Daihatsu Indonesia bekerja sama dengan Viva Log
8 komentar
kerreeennn :)
BalasHapusreviewny sangat lengkap.
waah...jd minder nih
>.<
makasiiih kak Octarezka :) aiiih, ini skedar celotehan biasa kok..
Hapusudah pernah main ke Sade? mantaaap tempatnya.. :)
salaaam kenaal ya
Lokasi dan tempat kawasan Desanya bersih dan masih memiliki nilai budaya yang kental, asri dan alami. Trelihat dengan jelas perpaduan selaras seni budaya dan masyarakatnya dalam kehidupan kesehariannya. Tempat yang menakjubkan.
BalasHapusSalam wisata
Sepakaaaat Ejawantah Wisata. Tempat yang bagus untuk belajar budaya khas Sasak. Mereka juga bisa mengemas dalam konsep wisata yg berbudaya tanpa harus tereduksi oleh gaung wisata..
Hapus:)
Salam wisata,.. salam kenaal..
Menarik ulasan tentang struktur rumah disana. Btw, rata2 rumah disana memang bgitu kah? beratap dan berdinding jerami dan beralas tanah? Kira2 itu lebih sebagai perwujudan budaya saja atau ada faktor 'ketidakmampuan' jg ya?
BalasHapusemmm.. menurutku klo ketidakmampuan itu enggak sih.. kan di sekitar kampung ini tuh ada rumah2 generik yg bertembok dan berkeramik yg dihuni oleh masyarakat yg berasal dri kampung Sade juga.. ini perwujudan kelestarian budaya Sasak.. hehe.. gitu Lala.. :)
Hapustertarik sekali untuk pergi kesana. gimana caranya kalau mau kesana? perlu izin dulu?
BalasHapusmas Bobry.. kampung ini udah sangat terkenal di Lombok.. lokasinya di pinggir jalan raya dari Bandara Internasional Lombok ke Pantai Kuta Lombok..
Hapusuntuk datang ke sana tinggal datang saja.. nanti ada pemandu yg mengantarkan keliling kampung.. aseeek mas kampungnya.. :D