Harmoni Alam Budaya Tengger
Agustus 30, 2013
Tanah
Bromo-Tengger-Semeru ibarat sebuah lagu yang selalu mengalun merdu. Rangkaian
nada ritmis alamnya yang jelita senantiasa menjalin harmonis dengan deretan
nada melodis budaya suku Tengger yang arif bersahaja. Siapapun yang menikmatinya,
pasti akan asyik masyuk tak ada bosannya memutar kisah kehadirannya. Setiap bait-bait
bumi dan manusianya selalu menyuguhkan irama indah tentang arti kehidupan.
Malam itu, purnama sempurna syahdu menghias langit di atas
lautan pasir Bromo. Puncak bundar rembulan kali ini bertepatan tanggal 15 bulan ke-12 tahun 1935 berdasarkan
kalender Tengger. Sebuah malam yang sangat istimewa bagi Suku Tengger, masyarakat
asli yang mendiami kawasan Bromo-Tengger-Semeru. Waktu inilah puncak Yadnya
Kasada dilangsungkan.
Ruang kaldera Bromo yang biasanya sunyi di tengah malam kali
ini ramai dengan ribuan manusia yang menyemut di sekitar Pura Poten Luhur, di
kaki kawah Bromo. Dingin 6 derajat Celcius tak menjadi soal demi hajatan besar
tahunan masyarakat Tengger yang mayoritas beragama Hindu. Berkali-kali saya
harus mengencangkan sarung yang melilit leher, ikhtiar menghalau dingin. Ribuan
orang lainnya hadir dengan berjaket tebal atau berselimutkan sarung.
Di dalam Pura Poten Luhur, Sasmita merapal mantra dengan
cepat dalam bahasa Tengger. Tak berjeda. Pria ini sedang mengikuti Mulunan, ujian pendadaran dukun desa.
Setiap kali Yadnya Kasada, tradisi Mulunan
diadakan untuk mengangkat dukun sebagai pemimpin upacara adat Tengger di
desanya. Tahun ini, ada dua orang calon dukun yang diuji.
“Sasmita dari Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusuma, Kab. Malang,
apakah sah?” tanya Pandita Wijono yang memimpin Mulunan.
“Sah!” jawab warga serentak yang ikut menentukan hasil ujian
calon dukun. Para pengunjung juga ikut meneriakkan jawaban sah. Saya turut
memeriahkan Mulunan ini, turut
bergemuruh pada penentuan dukun bersama para warga Tengger. Meski sebenarnya
apa mantra yang dirapalkan, saya tidak paham bahasanya. Uniknya, dalam Mulunan, penilaiannya dari kelancaran
calon dukun bisa merapal doa dengan cepat.
Upacara Mulunan
adalah satu rangkaian acara yang dilangsungkan saat Yadnya Kasada. Yadnya
Kasada menjadi upacara tahunan yang dirayakan oleh suku Tengger secara turun
temurun. Seluruh masyarakat Tengger akan berpartisipasi memeriahkannya tak
mengenal sekat-sekat agama. Tak hanya yang Hindu, masyarakat Tengger yang
beragama Islam, Buddha dan Kristen juga akan ikut memeriahkan. Bagi warga
Tengger, Yadnya Kasada mempunyai makna khusus dalam hidup mereka.
Kerlap-kerlip cahaya, tanda keramaian pada lautan pasir Bromo saat Yadnya Kasada |
Pura Poten Luhur dipadati oleh warga dan pengunjung saat Yadnya Kasada |
Sasmito sedang mengikuti Mulunan. Ujian pendadaran calon dukun desa Tengger. |
Saya berjumpa dengan Slamet, warga Sukapura Probolinggo. Dia
Muslim dan menyempatkan hadir di puncak Yadnya Kasada, meski saat itu Bulan
Ramadhan, bulan suci umat Islam. Ada toleransi yang terjalin, melampaui
batas-batas agama, demi menjunjung tinggi kerukunan dan tradisi setempat dimana
dia berasal dan berpijak. Di Bromo, toleransi tidak lagi basa-basi tapi sudah
mewujud nyata pada aksi tradisi.
“Sebagai warga Tengger, di setiap Yadnya Kasada saya akan hadir.
Tapi, tidak pakai sesaji-sesaji. Kalau tidak datang nanti bisa kualat. Di sini,
saya sekedar datang memeriahkan. Kemarin saat bersih-bersih Pura Poten saya
juga ikut” ungkapnya sembari mengepulkan rokok kretek yang cukup
menghangatkannya di tengah dingin.
Semarak Sakral Yadnya
Kasada
Setiap tradisi tak akan lepas dari mitos yang terkandung di
dalamnya. Setiap tradisi tak akan jauh-jauh dari kisah masa lalu tentang
leluhur setempat. Yadnya Kasada adalah tradisi yang bermuasal dari cerita leluhur
orang Tengger. Sepasang bangsawan Majapahit, Rara Anteng dan Jaka Seger, di mana
asal kata Tengger berasal dari gabungan kedua namanya.
Alkisah, Rara Anteng dan Jaka Seger lama tak mendapatkan
keturunan. Setelah bersemedi, ia mendapatkan suara gaib. Hyang Kuasa mengatakan
mereka akan dikaruniai 25 anak. Tapi dengan syarat. Syaratnya adalah mereka
harus rela menyerahkan anak bungsunya untuk diambil kembali pada Bulan Kasada,
Purnama ke-14, putih wetan (shubuh).
Namun, setelah Kusuma, anak bungsunya berusia 10 tahun, Jaka
Seger dan Rara Anteng teringat akan janjinya. Mereka sayang kalau anaknya harus
dikorbankan. Kusuma pun diungsikan Jaka Seger dan Rara Anteng ke Gunung
Pananjakan. Mereka berharap Kusuma bisa diselamatkan.Meski demikian, Hyang
Kuasa tetap mengambil Kusuma ke Kawah Bromo. Tepat di Bulan Kasada, sebagaimana
Dia pernah mensyaratkan.
Akhirnya, Kusuma pun melalui suara gaibnya berpesan kepada
ayah ibunya dan seluruh saudaranya di sekitar Poten untuk merelakan kepergiannya,
pengorbanannya. Kusuma juga berpesan agar mereka hidup rukun. Untuk mengingat
dirinya, Kusuma hanya meminta warga Tengger agar menyisihkan sebagian hasil
buminya kepadanya.
“Dulurku sing isih
urip ana ngalam donya, ngalam padang, mbesuk aku saben wulan Kasada kirimana
barang samubarang sing ana rupa tuwuh, rupa sandhang pangan, saanane sandhang
pangan sing rika pangan ana ngalam donya, weruh rasane, apa sing rika suwun
mesti keturutan rika, ya katurutan panjaluke rika ya mesti kinabulna.” Begitulah
narasi pesan gaib Raden Kusuma
Sejak saat itulah Upacara Yadnya Kasada selalu rutin dirayakan
oleh masyarakat Tengger secara turun- temurun. Di bibir puncak gunung Bromo,
para keturunan Rara Anteng dan Joko Seger akan mengenang peristiwa sang leluhur
mereka, Raden Kusuma, berkorban. Warga Tengger juga akan mengucap syukur kepada
Hyang Widi Wasa atas karunia selama satu tahun. Upacara Yadnya Kasada menjadi sarana
komunikasi antara orang Tengger dengan Hyang Widi Wasa, leluhur dan roh-roh
halus yang menjaga Tengger.
Iring-iringan oncor turun menuju Segoro Wedi. Melintasi dingin malam ke Pura Poten Luhur. |
Iring-iringan membawa ongkek untuk labuan suci. Di tengah purnama Yadnya Kasada. |
Seorang dukun bersila di hadapan anglo perapian dan tamping. Bersiap menerima ongkek untuk dimantrai. |
Kegiatan Yadnya Kasada sesungguhnya dilaksanakan melalui proses
yang cukup panjang dan rumit. Ada tahap-tahap sakral yang harus dilewati
setidaknya selama seminggu sebelum puncak acara. Prosesi Yadnya Kasada diawali
dan dirayakan di masing-masing desa warga Tengger. Warga Tengger melakukan Nancep Karyo atau memasang penjor (bambu
berhias janur) dan umbul-umbul. Selain itu, diselenggarakan berbagai kesenian
tradisional tayuban, reog, serta resepsi dan pesta penyambutan tamu.
Seminggu sebelum Puncak Kasada, masyarakat Tengger juga gotong
royong membersihkan Pura Luhur Poten yang ada di lautan pasir Bromo, dan
memasang kelengkapan untuk upacara persembahyangan.
Setelah itu, dua malam sebelum Puncak Kasada,
dilaksanakan ritual mendhak tirta,
yakni (mengambil air suci) di sejumlah mata air di kawasan Gunung Bromo. Warga
Tengger yang tinggal di Brang Kulon, yakni di Pasuruan dan Malang, mendhak tirta di Gunung Widodaren,
sedangkan warga Brang Wetan melakukan mendhak tirta di
Ranupane (Lumajang) dan air terjun Madakaripura (Probolinggo).
Air suci dari berbagai sumber mata air tersebut lalu dipergunakan
untuk keperluan ritual di Pura Luhur Poten saat Kasada. Prosesi ini langsung
dilanjutkan dengan sepeninga atau
sembahyang bersama dan makemit atau
berjaga semalam menunggu air suci.
Keesokan harinya, digelar doa bersama di dalam Pura Luhur
Poten. Masyarakat Tengger yang beragama Hindu datang dari empat pintu gerbang:
Cemoro Lawang (Probolinggo), Dingklik Tosari (Pasuruan), Dandangan Senduro
(Lumajang), dan Jemplang Poncokusumo (Malang). Mereka membawa ongkek ke sejumlah tugu (watu dukun) di berbagai sudut lautan
pasir sambil menaruh sesaji. Ongkek
adalah pikulan berisi tandur tuwuh bumi, atau hasil bumi masyarakat Tengger selama
setahun yang akan menjadi persembahan di kawah Bromo.
Selanjutnya, mereka membawa ongkek sesaji ke Pura Luhur Poten. Di dalam Pura, ongkek ini dimantrai dukun desanya yang
telah seharian duduk di depan anglo perapian berisi kemenyan. Para dukun mendoakan
ongkek agar suci sebelum dilabuh ke
kawah Bromo. Melalui ongkek ini, masyarakat
Tengger lazimnya akan memohon keselamatan, kelancaran rizki, panen berlimpah
hingga harapan agar desanya terbebas dari musibah.
Tak hanya ongkek,
dukun juga dimintai untuk memantrai tamping.
Tamping ini berukuran kecil dalam
wadah daun pisang yang berisi nasi kuning lengkap dengan lauknya serta bunga
setaman. Tamping dimaksudkan sebagai suguhan
kepada yang bahurekso (penguasa
daerah) agar permintaan bisa dikabulkan.
Pada malam harinya, resepsi Puncak Kasada dihelat di Brang
Kulon (Kabupaten Pasuruan) di Pendapa Wonokitri, Tosari dan di Brang Wetan
(Probolinggo) di Pendapa Ngadisari, Sukapura. Digelar doa bersama dari tokoh
adat dan masyarakat Tengger dan ritual tayub. Setelah itu, selepas tengah malam
dilakukan arak-arakan sesaji ongkek
yang didoakan dengan berjalan kaki menuju ke Pura Luhur Poten.
Saya menjemput arak-arakan di tengah lautan pasir yang
dingin. Dalam gelap yang remang diterangi cahaya purnama, pancaran
iring-iringan oncor obor itu perlahan turun dari Cemoro Lawang menuju lautan
pasir atau Segoro Wedi. Rombongan yang membawa ongkek dari Ngadisari ini disemarakkan oleh tetabuhan ketipung dan
gamelan kepyak yang bergemerincing. Suara seruling menjadi melodi yang memecah hening.
Mereka berjalan setengah berlari untuk mencapai Pura Luhur Poten sebelum fajar.
Saya berupaya mengikuti arak-arakan tapi kewalahan karena begitu cepatnya
mereka berjalan.
Arak-arakan ongkek
ini lalu masuk ke Pura Luhur Poten. Selanjutnya berlangsunglah resepsi Yadnya
Kasada di pura sakral masyarakat Tengger ini. Para pemangku adat Tengger
memimpin jalannya resepsi. Kisah mengenai Roro Anteng dan Joko Seger sebagai
leluhur orang Tengger diceritakan kembali. Pesan Dewa Kusuma untuk
mempersembahkan hasil pertanian setiap bulan purnama di bulan Kasada juga
diceritakan. Setelah itu, dilangsungkan upacara mulunan untuk mengukuhkan dukun desa. Selanjutnya dilakukanlah
pelantikan dengan pembacaan SK dukun Tengger bagi yang lolos ujian mulunan.
Pandita Wiyono menceritakan kembali kisah sejarah Yadnya Kasada. |
Bersiap berangkat menuju Labuan Suci Yadnya Kasada ke kawah Bromo. Purnama bulat turut mengiringi. |
Iring-iringan menuju puncak Kawah Bromo yang rapuh pasca letusan 2010. Untuk Labuan Suci Puncak Yadnya Kasada |
Malam semakin beranjak ke pagi. Rembulan makin merayap ke
ufuk barat. Prosesi arak-arakan ongkek dari Pura Luhur Poten ke bibir kawah
Bromo pun dimulai. Ratusan orang beramai-ramai mendaki punggung Bromo yang
terjal untuk mengikuti hajatan ini. Mereka membawa ongkek berupa berbagai hasil bumi yang ditanam di ladangnya
masing-masing. Ongkek ini selanjutnya
dilabuh dengan dimasukkan ke dalam dasar kawah Bromo.
Uniknya, telah bersiap juga sebagian warga Tengger yang
berdiri sambil membawa jaring di mulut dinding kawah untuk menangkap lemparan
sesaji ongkek para warga Tengger.
Sebuah perbuatan menantang maut. Tapi demi tradisi mengalap berkah sekaligus
mendapatkan bahan pangan dari para pelempar, hal itu bukan dianggap perkara
menakutkan.
“Yadnya Kasada itu diartikan sebagai hari kurban yang
sakral” ungkap Kustoyo, warga asal
Tosari Pasuruan yang hadir bersama keluarga besarnya. Labuan suci di kawah
Bromo menandakan bahwa prosesi Yadnya Kasada telah mencapai puncaknya.
Tapi saya tidak turut memeriahkan ujung acara Yadnya Kasada.
Bibir kawah Bromo semenjak erupsi tahun 2010 menjadi kian menipis, kian merapuh.
Diprioritaskan, yang turut ke bibir kawah adalah masyarakat Tengger. Mereka
tentu lebih berkepentingan karena Yadnya Kasada sangat sakral dan penting. Saya
sadar diri dan memilih mengalah demi kebaikan bersama. Dari Pura Poten, melihat
iring-iringan obor menapaki G. Bromo sudah seperti melemparkan saya pada
suasana nyata Labuan Suci Yadnya Kasada.
Sembah Syukur Jelita Alam
Tengger
Membuka hari, 24 Juli 2013. Menyambut sang mentari terbit di Bromo paling sempurna adalah dari Puncak
Penanjakan, salah satu tepi kaldera raksasa Bromo. Semua tahu sunrise Bromo dari Penanjakan adalah salah satu yang terindah di Indonesia bahkan
dunia. Banyak orang bermimpi bisa menyapa baskara pada mula pagi dari puncak
setinggi 2.774 meter di atas permukaan laut. Saya pun memutuskan berpindah
ruang mengakrabi Bromo dari Pura Luhur Poten menuju ke Gunung Pananjakan yang
terletak di Tosari, Kabupaten Pasuruan.
Motor saya pacu cepat. Berlomba dengan sang waktu yang sudah
sedemikian dekat dengan ujung malam. Tapi, saya mesti hati-hati karena medan
berupa lautan pasir yang harus dilalui. Jangan sampai saya berkubang kecewa
karena terjebak pada pasir. Hingga akhirnya, lautan pasir bisa dilalui dan kini
jalanan menanjak tajam ke Puncak Penanjakan. Saya pun makin bersemangat.
Suasana Pananjakan I berkabut tebal. Dipotret saat ratusan pengunjung yg kecewa telah meninggalkan lokasi. |
Semburat kuning, jingga dan merah menjelang detik-detik menjelang terbit. Dilihat dari Pananjakan, Juli 2009 |
Panorama khas pagi Bromo, Tengger, dan Semeru. Seperti gambar di kalender, brosur wisata, dll. Mainstream! |
Tapi, inilah cobaan sesungguhnya saat sang kabut akhirnya
menyelimut. Saya tiba di Pananjakan hanya memandangi panorama putih, putih dan
putih. Semuanya serba kabut yang disertai angin kencang dari penjuru timur.
Para pengunjung yang jumlahnya ratusan saat itu pasti kecewa. Ah, apakah saya
mesti ikut kecewa? Saya tetap bersyukur. Sesungguhnya ini malah jadi sisi lain
napak tilas kehadiran saya ke Bromo empat tahun silam. Pada tengah Juli 2009, saya
berhasil menjemput mentari detik demi detik timbul dari cakrawala timur.
Saya ingat dengan cermat. Warna kuning mulai membias di ufuk
timur. Disusul warna jingga perlahan-lahan. Semakin lama warna merah memperkaya
lukisan langit pagi. Tatkala mentari menampakkan diri, langit pun terang. Pada
saat bebarengan, terjadi perubahan di Kaldera Laut Pasir Bromo. Dari semula
gelap, berangsur-angsur tampak lah sang mutiara, Gunung Bromo yang putih pucat
beserta asap vulkaniknya.
Di sebelahnya, Gunung Batok terlihat hijau menguning dengan
galur-galur vertikal. Deretan Pegunungan Tengger yang mengelilingi Gunung Bromo
juga terlihat hijau, kuning, yang kontras dengan rupa putih Bromo. Di seberang
jauh sana, sang Mahameru Semeru berdiri gahar sebagai gunung tertinggi di P.
Jawa dengan kepulan asap kawah Jonggring Saloka nya. Sebuah nikmat tiada
terkira dari kemurahan alam Bromo. Saya tak hentinya bertasbih. Mengucap syukur
kepada sang Ilahi atas kesempatan menyaksikan salah satu panorama terindah di
dunia.
Satu setengah jam menanti tapi sang kabut awet tak mau pergi.
Saya putuskan turun lagi ke lautan pasir untuk menangkap sisi lain kisah Bromo.
Dan tetap saja, saya juga tetap menjumpai kabut, kabut dan serba kabut. Hanya
saja keriuhan lalu lalang masyarakat Tengger, dari atau menuju ke Pura Poten
dan Kawah dengan jeep, pick up terbuka, motor atau jalan kaki,
cukup menghibur kebekuan panorama.
Saya bermaksud ke kawah Bromo. Tiba-tiba angin kencang
menerpa lautan pasir dan debu ramai beterbangan. Saya pun urungkan niat dan
kembali ke penginapan di Cemoro Lawang. Setengah siang harian akhirnya saya
mendekam dalam kamar karena cuaca tak bersahabat. Kabut tebal yang dihujami
guyuran air hujan memaksa saya terpaku dalam kamar.
Lagi-lagi, saya coba menghadirkan saja romantika 2009 tentang
suasana Kawah Bromo yang terang ceria. Kala itu, berjalan di bawah kolong
langit biru cerah bisa sepuasnya memandangi kaki-kaki Gunung Batok yang
bergalur-galur. Sejauh 1 km mendaki menuju kaldera dan menapaki 249 anak tangga
dengan kemiringan 60 derajat, rasa lelah tak sekalipun terasa. Terlebih, seringkali
berjumpa dengan kuda-kuda perkasa dengan orang Tengger bersarung yang menjadi
ojek wisatawan yang tak kuat berjalan. Saya jelas tak mau kalah dengan kuda...!
Saat sampai di puncak Bromo, di bibir kawah, saya terlempar
pada puncak imajinasi. Dari ketinggian 2.392 mdpl, saya tak hentinya memandangi
kejauhan segoro wedi atau lautan
pasir seluas 5.250 hektar yang kontras sekali dengan biru langit yang penuh
haru. Kawah Bromo selebar kurang lebih 800 meter (utara-selatan) dan kurang lebih
600 meter (timur-barat) menganga begitu gahar. Kawah ini curam dengan kepulan
asap belerang yang menandakan dia masih bergeliat aktif. Di seberang, Gunung
Batok dengan galur hijau indahnya adalah panorama yang sedikit menyejukkan di
bawah terik mentari yang memancar.
“Di Bromo juga ada padang tempat main Teletabis” ungkap pemandu
saya, Sukaryadi, kala itu mengajak berpindah ke pesona lain alam Bromo. Ah,
sebuah penasaran yang menggoncangkan gairah keingintahuan.
Pura Luhur Poten di kaki Bromo. Pemandangan Juli 2009. Kameranya resolusi masih rendah. :P |
Warga Tengger dan kudanya yang perkasa. Sebagai ojek untuk membawa wisatawan naik turun ke kawah. |
Guratan tanah vulkanik berpasir di punggung Bromo. Bergelombang. Di kejauhan Segara Wedi. Dilihat dari puncak. |
Saya beranjak ke sisi selatan Bromo. Di sanalah padang
savana yang mirip dalam film kartun Teletubbies
berada. Mendekat ke sana, dari kejauhan hamparan padang rumput yang luas telah
melambai-lambai. Sebuah panorama yang sangat kontras dengan lautan pasir hitam
kelabu yang kering. Saya melewati dulu sebuah kawasan yang dinamai ‘Pasir
Berbisik’ karena lokasi ini menjadi syuting film yang dulu tayang di salah satu
televisi swasta.
Padang savana saat itu telah kering karena berada di puncak
musim kemarau. Ilalang telah menguning yang cantik berhiaskan bunga warna-warni
ungu, jingga dan merah. Tapi, panorama paling luar biasa adalah di sebelah
kanan saya.
Tak bosannya saya memandang beraneka gundukan bukit yang
berundak-undak berwarna hijau muda seperti taman raksasa yang dipangkas dengan
mesin pemotong rumput. Inilah yang disebut masyarakat setempat sebagai Padang Teletubbies,layaknya rumah taman Tinky
Winky Lala Pow beserta kehidupannya. Siapa yang tak tergiur untuk menyesap
keindahannya dengan bercengkerama menjatuhkan diri pada lautan ilalang?
Tapi, sebegitukah saja kemurahan alam Tengger? Tentu tidak
sekedar yang berada di kawasan kawah dan lautan pasir Bromo, serta padang
savana. Kawasan Tengger-Bromo juga
memiliki Air Terjun Madakaripura. Air terjun ini sangat legendaris karena konon
menjadi tempat pertapaan Gadjah Mada sekaligus tempatnya moksa – menghilang dari muka bumi secara spiritual dan fisik.
Gadjah Mada bertapa di dalam sebuah goa pada dinding air terjun utama Madakaripura.
Gadjah Mada adalah mahapatih Majapahit yang sukses mempersatukan
Nusantara.
Sebelum tiba di Bromo untuk menghadiri Yadnya Kasada, saya
sempatkan bertakzim ke Madakaripura. Air terjun ini terselinap sunyi pada
lereng utara Pegunungan Tengger, tepatnya di daerah Desa Sapih, Kecamatan
Lumbang, Probolinggo.
Saya mesti berjalan sejauh 800 meter mengikuti aliran
sungai. Gemericik air, kicauan burung dan hijaunya pepohonan awet mengiringi
perjalanan. Hingga jalan kaki menyenangkan saya ini berujung pada sebuah lembah
berbentuk seperti tabung berdinding sempit dan curam. Air curug Madakaripura
turun bercucuran laksana tirai dari balik rerimbunan hijau di atas tebing.
Menakjubkan! Dan, air terjun utama gagah menjulang setinggi 200 meter yang
merupakan tertinggi di tanah Jawa atau kedua tertinggi di Indonesia.
Ini sungguh pemandangan yang menyejukkan jiwa dan mata.
Subhanallah...!`Tentu saja kucuran airnya juga niscaya membasahi raga. Untuk
menuju air terjun utama, saya harus menembus ‘tirai’ air terjun. Untung saja, Suparjo
(34) bersiaga menyewakan payung dan menjual jaket plastik antihujan kepada
wisatawan untuk ‘menyelamatkan’ dari kepalang basah di Madakaripura. Hadir di
Madakaripura jelas membuat imajinasi saya berkelana pada ruang sunyi yang cocok
untuk memulung inspirasi tentang perjuangan hidup. Seperti
Sang Gadjah Mada
melakukannya enam abad silam.
Di tengah Segoro Wedi. Lurus menembus batas. |
Padang savana Teletubbies. Kuning menghijau. Siapa yang tidak tergoda dengan kecantikanya? |
Sawah curam suku Tengger di Ngadas. Memetak-metak lereng dengan kemiringan 75 derajat. |
Ada lagi kemurahan alam Tengger yang mencipta ketakjuban tiada
henti atas pesonanya. Cobalah pulang dari Bromo melewati jalur lain, yakni ke arah Malang. Sepulang
melihat Yadnya Kasada, saya rela memutar lebih jauh untuk mengulik lebih banyak
pesona di bagian selatan Pegunungan Tengger. Menuju ke arah Malang via Tumpang,
saya berjumpa dengan persawahan unik Suku Tengger di Desa Ngadas. Emm.. apanya
yang unik?
Sawah Suku Tengger di Desa Ngadas mengukir curam lekuk lereng
perbukitan-perbukitan. Jika biasanya di tempat curam akan dibuat terasering
berundak-undak tetapi sawah Tengger ini dibuat berpetak kotak selayaknya sawah pada
tanah mendatar. Padahal kecuramannya mencapai 75 derajat. Sawah yang ditanami
aneka sayur ini merajut harmonis dengan hutan Taman Nasional dan pemukiman
warga Dusun Ngadas. Saya menyaksikan para petani berjuang keras pada kemiringan
untuk merawat dan menyirami tanamannya.
Tatkala melewati perkampungan Ngadas, saya menjumpai para warga
yang giat menjalani rutinitas hidupnya. Berkarung-karung hasil tanaman yang
dipanen bersiap diangkut ke Malang dengan beberapa pickup lengkap dengan pedagangnya yang duduk di atas dagangan. Desa
Ngadas ini terpencil tapi di situlah jalinan antar warga kuat saling menguatkan.
Harmonis. Tampak juga bocah-bocah Ngadas yang memberi semarak dalam sunyi
dengan senyumnya yang lugu nan lucu. Saya pun meninggalkan Desa Ngadas dengan
raihan makna kesederhanaan dan keselarasan hidup pada alam.
Sesungguhnya,
menikmati Bromo dan Tengger ada baiknya sepaket dengan menikmati Semeru. Ini penting
agar kita menuntaskan khasanah Bromo Tengger dan Semeru yang merupakan satu
kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). TNBTS yang ditetapkan
sejak 1982 memiliki luas 50.276 hektar. Secara administratif TNBTS masuk ke
Kabupaten Malang, Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo. Ketinggiannya berkisar dari
750 mdpl hingga 3.676 mdpl yang merupakan puncak G. Semeru.
Di kaki Semeru, kita akan menjumpai desa Ranupane lengkap
dengan danau alamnya yang eksotis. Dari desa ini juga, pendakian menuju Puncak
Semeru bermula. Menuju Semeru akan menjumpai lanskap luar biasa seperti Ranu
Kumbolo, Savana Oro-oro Ombo, hingga kepuasan menjejakkan kaki di puncak
tertinggi di Pulau Jawa.
Saya sudah dua kali menjejakkan kaki di bumi Bromo-Tengger. Selalu
saja ada terumbu pesona yang bisa saya temukan setiap kali menyelami kemolekan
alam dan keagungan budaya di sana. Saya merasa setiap perjalanan memberi banyak
kejutan, dimana darinya saya selalu mendapatkan makna dan inspirasi baru.
Andaikan ada kesempatan untuk hadir lagi ke Bromo-Tengger,
saya akan senang hati melakukannya. Saya percaya, setiap hadir di Bromo pasti
ada kisah baru, pengalaman baru, kawan baru, saudara baru dari tanah yang murah
hati memancarkan pesona di tiap sudut-sudut buminya.
***
Tengger, secara etimologis dalam bahasa Jawa, berarti diam
tanpa gerak. Secara filosofis, kata Tengger menunjuk pada watak berbudi luhur,
bersahaja, hidup tidak perlu aneh-aneh. Tinggal di daerah pegunungan, membentuk
budaya hidup suku Tengger menjadi masyarakat yang hidup sederhana dan harmonis
bersama alam. Setiap laku orang Tengger yang tersebar pada 41 desa ini akan berhubungan
erat dengan perilaku dan kebaikan alam.
Orang Tengger menaruh sesaji di Watu-watu Dukun yang tersebar di Bromo |
Budaya orang Tengger selalu memberi penghargaan tinggi
kepada alam. Mereka sadar dan percaya bahwa kemakmuran hidupnya bergantung dari
alam yang terjaga, alam yang lestari. Hasil panen yang melimpah, ketersediaan
air, kesuburan tanah, dan kesejahteraan hidup tak bisa dipisahkan dengan
kemurahan hati sang alam.
Ketika alam telah menyediakan semuanya, tak membuat masyarakat lantas berlaku serakah. Karunia
alam dari Tuhan dipandang telah cukup. Disyukuri sepenuh hati. Suku Tengger
bukanlah tipikal orang yang meminta macam-macam. Keseimbangan alam dan
kesederhanaan hidup lah selalu menjadi substansi pada setiap tradisi masyarakat
Tengger.
Makanya, sejak ratusan tahun silam mendiami, sejak Rara
Anteng dan Jaka Seger datang berdiam pertama kali di Tengger, masyarakat
Tengger senantiasa kokoh merawat tradisi-tradisinya yang selaras alam.
Sehingga, alam Bromo-Tengger-Semeru senantiasa terjaga. Selain Yadnya Kasada,
Suku Tengger juga memiliki upacara Karo, upacara Unan-Unan, dan banyak upacara
lain yang berisikan dengan doa-doa syukur dan persembahan untuk alam.
Saya bersyukur. Hadir di Bromo saat Yadnya Kasada, saya bisa
ditunjukkan secara gamblang segudang pelajaran berharga. Tentang bagaimana alam
menginspirasi keagungan tradisi hidup orang Tengger. Dan juga sebaliknya.
Tentang bagaimana tradisi menjadi ruang intim interaksi masyarakat Tengger
untuk membangun harmoni dengan alam. Ada simbiosis mutualisme yang menakjubkan
antara alam dan budaya di jagat sunyi Tengger.
Alam kawasan Tengger dimana masyarakat membangun harmonisasi hidup dengan alam |
Suasana Cemoro Lawang saat Yadnya Kasada. Ramai dengan penjor. Gerbang menuju Bromo dari Probolinggo. |
Suasana petang Bromo saat Yadnya Kasada. Dilihat dari Bromo Lava View. Menggaris senja. |
Suara kendang dan ketipung menjadi irama pengiring arak-arakan Ongkek menuju Pura Luhur Poten. |
Hingga tengah malam, seorang dukun menantikan warga desanya membawa Ongkek untuk dimantrai sebelum dilabuh |
Warga yang menemui dukun desanya untuk memantrai ongkek dan tamping saat Yadnya Kasada. |
Calon dukun berjalan menuju panggung untuk menjalankan mulunan. Diiringi oleh para keluarganya. |
Langit Bromo pada pagi hari setelah Yadnya Kasada. Digantung kabut yang awet sepanjang hari. |
Kabut yang putih disertai badai pasir. Membuat saya tak jadi pergi ke kawah saat siang sehabis Yadnya Kasada |
Romantika 2009. Saat saya bersama kawan sekampus bertamasya ke Bromo. |
Dikejar kabut berkawan hujan. Saya pulang lewat Tumpang karena hujan mengguyur deras di kawasan Bromo. |
Sawah orang Tengger di Desa Ngadas. Hidup keras tapi tetap harmonis dengan alam. |
Air Terjun Madakaripura. 'Tirai' air yang legendaris dengan kisah Gadjah Mada. |
Senyum lugu bocah Ngadas. Generasi penerus Tengger penjaga tradisi. |
Eksis di depan panorama mainstream Bromo. |
Di sini, saya serasa di puncak imajinasi. Puncak Bromo |
*) Tulisan ini diikutkan pada Lomba Blog Terios 7 Wonders "Hidden Paradise" yang diselenggarakan oleh Daihatsu Indonesia bekerja sama dengan Viva Log
4 komentar
Salam
BalasHapusBerbagi Kisah, Informasi dan Foto
Tentang Indahnya INDONESIA
www.jelajah-nesia.blogspot.com
Salam Kak Agunx.. baguus blognya..
HapusSalam kenal yaah.. mari kita sebarluaskan keindahan Indonesia.. :)
Kisah penyelarasan masyarakat tengger di bromo yang sangat unik dengan alam yang dapat dijadikan suatu pembelajarn norma-norma kehidupan. Dengan dukungan fenomena alam yang cantik dan indah, maka Bromo bukan hanya menjadi tempat yang fenomenal di kunjungi, namun juga sebagai lokasi destinasi pilihan tolak ukur sejarah budaya Jawa Kuno. Thaks atas berbagi pengalaman perjalanan di kawasan Bromo.
BalasHapusSalam wisata,
tepaaat sekali.. ada banyak pelajaran yang bisa diambil ketika berwisata di Bromo.. alam, budaya dan harmonisasi keduanya.. semuanya memesona.. sebuah kemurahan semesta di Tanah Jawa..
HapusSalam wisata.. :)