Wae Rebo, Mendunia Lalu Menusantara
Juli 10, 2013Wae Rebo, kampung yang mendunia lalu menusantara |
Pada mulanya, Kampung Wae Rebo bukanlah destinasi yang akan dikunjungi wisatawan saat berkunjung ke Flores. Gaung pesonanya hanya sayup-sayup terdengar. Lokasinya terpencil. Terselinap di tengah rimbunnya hutan lindung daerah Manggarai. Tersembunyi dikelilingi gunung yang sepi.
Kampung mini yang terletak di Desa Satarlenda,
Kec. Satarmese Barat, Manggarai, NTT ini pun seperti negeri dongeng. Antara ada
dan tiada. Bahkan, orang Manggarai sendiri jarang yang tahu Wae Rebo.
Tanggal 27 Agustus 2012. Sebuah sejarah besar untuk
Wae Rebo. Badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menganugerahi Wae
Rebo sebagai peraih Award of Excellence
pada UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation. Sebuah penghargaan
tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya. Wae Rebo mengalahkan
pesaing-pesaing seluruh dunia yang tak kalah berkualitas.
Adalah Mbaru Niang yang menjadikan Wae Rebo
terkenal dan mendapat penghargaan. Mbaru Niang merupakan rumah khas orang
Manggarai berbentuk kerucut raksasa. Meski begitu, keberadaannya di Manggarai
telah digantikan mayoritas rumah ‘generik’ yang berbentuk persegi dan beratap
seng. Hanya di Wae Rebo, konstruksi Mbaru Niang dapat lestari dan berjumlah
lengkap.
Tapi siapa sangka, Mbaru Niang di Wae Rebo juga
pernah terancam kepunahan. Jumlah rumah adat memang hanya tujuh dan selalu berusaha
dipertahankan masyarakat Wae Rebo. Untuk bertambah sudah tidak mungkin karena
angka tujuh telah final. Tujuh melambangkan tujuh kekuatan yang menjaga desa. Tapi,
untuk berkurang tidak terhindarkan akibat lapuk termakan zaman atau
ketidakmampuan melakukan perbaikan.
Tahun 2008, hanya tersisa tinggal empat Mbaru
Niang. Dua di antaranya sudah reyot dan membahayakan penghuninya. Adalah Yori
Antar, seorang arsitek nasionalis yang membidani restorasi dan renovasi Mbaru
Niang di Wae Rebo. Setelah kunjungan pertamanya bersama beberapa arsitek, Yori
menggalang donasi untuk membenahi dan melengkapkan Mbaru Niang kembali menjadi
tujuh.
Mbaru Niang. Saat ini sudah lengkap tujuh. Hasil upaya bersama menjaga tradisi Manggarai. |
Pada langkah awal, Yayasan Tirto Utomo mau
membiayai perbaikan dua Mbaru Niang yang reyot. Tapi, masalahnya, informasi
konstruksi Mbaru Niang sangat minim. Dua rumah pun akhirnya dibongkar untuk
dipelajari, dicatat, direkam hingga kemudian dibangun kembali.
Tiga Mbaru Niang lain baru dibangun pada awal 2011,
ketika Pengusaha Arifin Panigoro dan Laksamana Sukardi mendanai masing-masing
satu rumah. Satu rumah lagi kembali didanai Yayasan Tirto Utomo. Adapun biaya
membangun satu rumah adat Wae Rebo itu sekitar Rp 250 juta. Biaya ini sebagian
besar untuk pengadaan bahan material. Adapun tenaganya dilakukan secara
gotong-royong.
Penghargaan UNESCO pun menjadi apresiasi atas renovasi
dan restorasi Mbaru Niang yang telah meningkatkan semangat dan kebanggaan
sebuah komunitas lokal ke tingkat dunia. Renovasi itu tak hanya sukses
melestarikan bentuk rumah adat, tetapi juga berhasil mengabadikan pengetahuan
tradisional soal arsitektur dan tata cara adat pembangunan rumah.
“Berita penghargaan itu kami baru terima
seminggu setelah pengumuman.” ungkap Aleks Dei. Wajarlah memang karena tak ada
akses internet di Wae Rebo. Akses telepon saja belum ada. Listrik baru sebatas
dari generator.
Sebelum Yori Antar mulai merenovasi Mbaru
Niang, banyak orang asing telah berdatangan ke Wae Rebo. Mereka datang, baik sebagai
wisatawan ataupun peneliti. Dari tahun 2002-2009, di buku tamu tercatat ada 480
wisatawan. Tapi, miris ternyata hanya 15 orang – termasuk rombongan Yori Antar
– yang merupakan wisatawan Indonesia. Betapa Wae Rebo pada awalnya merupakan
‘tempat’ asing bagi warga negeri sendiri. Jujur, saya terenyuh di dalam hati.
“Mbaru Tembong ini pernah diperbaiki pada
tahun 2006 oleh dosen dan para mahasiswa dari Taiwan yang mengadakan penelitian
di Wae Rebo” ungkap Vitalis, seolah menegaskan bahwa orang-orang asing lebih
dulu mengenal Wae Rebo dibanding masyarakat Indonesia.
Dengan dikukuhkannya prestasi Wae Rebo di
ajang internasional, kini semakin banyak wisatawan Indonesia yang datang. Pada
tahun 2012, jumlah pengunjung memang masih lebih banyak asing, tetapi selisih
dengan jumlah pengunjung Nusantara makin sedikit. Artinya, jumlah pengunjung
dari dalam negeri kian banyak. Jelas, sebuah tren bagus untuk menggambarkan
kecintaan dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap Wae Rebo.
Tapi. Saya tetap khawatir. “Apakah setiap
mahakarya Indonesia mesti mulai dihargai warga di negeri sendiri ketika terlebih
dulu diakui di dunia Internasional? Lantas, bagaimana kalau tidak ada pengakuan?
Apakah kita masih menghargai sepenuh hati, mengunjunginya setulus apa adanya?
Retorika ini muncul karena saya sedih melihat realitas orang Indonesia baru
ramai datang ketika Wae Rebo sudah terlebih dulu mendunia.
Malam pun sudah kian menjelang. Guyuran
gerimis kini telah mereda. Pembicaraan ramai di Mbaru Tembong disudahi.
Santapan makan malam telah tersedia di rumah Niang Gena paling selatan. Setiap
pengunjung yang menginap akan ditempatkan di Niang Gena yang dinamai Niang Gena
Maro. Karena khusus untuk wisatawan, maka Niang Gena ini dilengkapi dengan
bangunan kamar mandi, toilet dan dapur di bagian luar.
Kain sarung tenun yang dibuat oleh para mama di Wae Rebo. Kreasi warga untuk menggerakkan ekonomi Wae Rebo. |
Lanteng yang patut diwaspadai karena beracun. Photo: @linggabinangkit |
“Jangan
keluar dari lingkaran kawasan Wae Rebo pada malam hari. Awas berbahaya! Banyak
tanaman berduri dan beracun seperti helas
dan lanteng.” tegas Rofinus sesaat
sebelum kami dipersilakan keluar dari Mbaru Tembong.
Helas adalah sejenis rumput yang berdaun tajam, mampu menyayat kulit. Lanteng adalah semacam daun yang sangat
beracun kalau terkena bisa bengkak hingga lumpuh dan baru sembuh setelah satu
tahun.
***
Ternyata kami bukan satu-satunya pengunjung di
Wae Rebo malam itu. Sudah ada tiga orang dari sebuah LSM nasional, yakni Ary,
Agus dan di Niang Gena Maro. Mereka datang ke Waerebo bukan dalam rangka
menjadi wisatawan, tetapi melakukan survei dan bimbingan terhadap konsep ecotourism. Saat itu, Frans Muder,
pengurus lembaga pariwisata di Wae Rebo, sedang menjadi narasumber diskusi.
Kami langsung bergabung dalam diskusi
tersebut. Tapi, pembicaraan menarik tentang ecotourism
Wae Rebo ini tak berlangsung lama. Mama Nina beserta mama lain telah
menyuguhkan lengkap makan malam untuk kami semua. Sayur labu, indomie, sayur
tempe dan kerupuk. Sebuah sajian sederhana tapi sangat berharga. Terlebih, saya
percaya, masakan ini dimasak dengan penuh cinta. Totalitas untuk memberi suguhan
terbaik bagi para Anak Wae Rebo yang baru.
Rofinus turut bergabung dalam makan malam
pengunjung. Sebagai tetua adat, dia hadir untuk menghormati para tamu yang
sudah jauh-jauh ke Wae Rebo. Setelah memimpin doa sebelum makan, Rofinus
menyilakan kami untuk segera mengambil makan. Saya mengambil seluruh menu
dengan porsi nasi yang banyak.
“Mas Ary ini sudah menjadi anak istimewa di
Wae Rebo ini.” tutur Frans Muder di tengah santap makan, “Sudah berkali-kali
dia ke sini, memberi banyak pengetahuan tentang pengelolaan wisata untuk Wae
Rebo.”
Sajian makan malam para tamu Wae Rebo. Sederhana tapi dimasak penuh cinta oleh para mama. Nikmat. |
Rofinus Nompor. Tetua Wae Rebo yang turut menemani santap malam para tamu di Mbaru Niang Gena Maro. |
Seiring makin populernya Wae Rebo, semakin
banyak lembaga yang terlibat untuk membantu pengembangan Wae Rebo. Masing-masing
memiliki misi sosial yang bermacam-macam. Ada yang meneliti dan mengkonservasi
keragaman hayati di Wae Rebo, mengedukasi ekoturisme, membangun listrik mandiri
di Wae Rebo, membangun taman bacaan, dll. Disadari, semua hal ini sangat
bermanfaat untuk masyarakat Wae Rebo. Hanya saja, kadang timbul persoalan antar
lembaga bantuan belum berkolaborasi dengan baik. Masih asyik dengan misi-misi
organisasi masing-masing.
Tapi, hampir semua sepakat bahwa Wae Rebo bisa
berdaya dan berkembang sama sekali bukan karena peran pemerintah. Keterlibatan
pemerintah masih minim untuk membangun pariwisata dan ekonomi Wae Rebo. Selama
ini, Wae Rebo berkembang dari dukungan LSM dan swasta, termasuk saat meraih
penghargaan UNESCO ini.
“Belum pernah Bupati Manggarai hadir ke Wae
Rebo, bahkan dari Bagian Pariwisata Kab. Manggarai pun belum meski Wae Rebo
telah mendunia” ungkap Frans.
Obrolan meriah tentang gagasan wisata dan
pemberdayaan masyarakat Wae Rebo tak terasa telah berlangsung satu jam. Waktunya
istirahat, menyongsong esok pagi yang indah. Sedangkan bagi Rofinus Nompor dan
Frans Muder masih ada pertemuan adat. Tapi, malam yang makin pekat rasanya
mantap untuk keluar dari Mbaru Niang. Tak ada salahnya mencoba menikmati suasana
malam di Wae Rebo. Saatnya ber-stargazing
ria.
Saya terduduk di atas hamparan rumput yang
agak basah, di tengah-tengah jajaran ketujuh Mbaru Niang yang melingkar. Memandang
langit yang begitu sempurna. Cerah dengan kerlap-kerlip milyaran bintang
bercahaya.
Suasana saat itu sungguh sunyi. Jauh dari riuh
deru dunia. Hanya suara jangkrik dan desiran serangga lain yang meramaikan
malam Wae Rebo. Hawa dingin pegunungan menyapu seluruh badan. Di ketingggian
1100 meter ini, dingin awet menusuk tulang meski saya sudah berbalut jaket.
Berada pada keheningan malam dan di tempat
sunyi terpencil, melemparkan saya pada kontemplasi dalam. Pertanyaan dasar, “Kenapa
manusia mau bertahan tinggal di tempat terpelosok ini, bertahan dalam
keterbatasan?”. Penghormatan kepada leluhur, keterikatan dengan tanah air, dan
pelestarian tradisi turun temurun
barangkali adalah jawabannya. Masyarakat Wae Rebo tidak anti
modernisasi. Mereka senantasa menjaga tradisi dengan menyaring modernisasi.
Wae Rebo diperkirakan telah ada sejak 1000
tahun lalu. Sejak leluhur Wae Rebo, Empo Maro, memutuskan menetap di Wae Rebo.
Dipercaya bahwa Empo Maro berasal dari Minangkabau. Dia berkelana dengan perahu
layar ke timur hingga mendarat di Flores. Pada awalnya, Empu Maro
berpindah-pindah tinggal di wilayah Manggarai. Dari Warloka, Todo, Modo hingga
terakhir menetap di Wae Rebo. Hingga sekarang, sudah 19 generasi yang menempati
Wae Rebo tanpa terputus, menjaga tradisi Empo Maro.
Tempat di tengah-tengah lingkaran Wae Rebo. Mendamaikan dalam kehidupan. Photo: @megahan25 |
Taman Bacaan Wae Rebo yang sedang dibangun. Bantuan dari Yayasan Hatta Rajasa. Banyak donatur turut mengembangkan Wae Rebo. Photo: @megahan25 |
Tampaknya, kehidupan di Wae Rebo sejak dulu
jauh dari nuansa kekerasan. Perselisihan sepertinya jarang. Yang ada kuatnya semangat
kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan. Terlihat dari tak adanya pagar
yang membatasi masing-masing Mbaru Niang. Empo Maro mewarisi hidup harmonis di
antara sesama warga. Susunan rumah pun melingkar, tanda kokohnya persatuan.
Masyarakat Wae Rebo tampaknya mengasingkan diri bukan untuk menghindari musuh,
melainkan mendekatkan diri kepada alam.
Begitu damainya menjalani hidup di Wae Rebo.
Sampai tidak perlu menyiapkan pertahanan perang. Setiap orang luar yang datang pun
selalu dianggap anak, dianggap saudara, dianggap keluarga. Alam yang sunyi
memang memeluk erat Wae Rebo. Menjadikan warga Wae Rebo lebih senang hidup
selaras bersama alam. Empo Maro pasti bahagia karena keturunannya tetap kukuh
mewarisi pesan-pesan bijaknya.
Malam yang kian dingin seperti ingin
melarutkan saya pada perenungan sepanjang malam. Tapi, gigilan badan adalah
tanda saya tidak kuat lagi bertahan. Langit kini sudah terselimut awan.
Sepertinya mereka juga ikut memaksa saya agar beranjak masuk ke Niang Gena
Maro. Baiklah. Ini harus dimaknai sebagai sebuah tuntunan kebajikan. Bukankah
lebih bijak sekarang istirahat, tidur, untuk menjemput pagi yang indah di Wae
Rebo?
Langkah saya menaiki Niang Gena bersamaan
dengan selesainya rapat adat di Mbaru Tembong. Beberapa warga tampak pulang ke
Mbaru Niang nya masing-masing. Menuju peristirahatan. Selamat Malam Wae Rebo!
SELANJUTNYA...
|| Cerita saya tentang pengalaman indah menikmati suasana pagi di Wae Rebo bisa dibaca di -> Sepagi Memaknai Tradisi Wae Rebo
SELANJUTNYA...
|| Cerita saya tentang pengalaman indah menikmati suasana pagi di Wae Rebo bisa dibaca di -> Sepagi Memaknai Tradisi Wae Rebo
Para mama yang memasak penuh cinta untuk para tamu di Wae Rebo. Alami dan tradisional. |
Frans Muder, Pengurus Lembaga Pariwisata Wae Rebo saat berdiskusi |
Anak-anak Wae Rebo yang lugu tapi selalu suka difoto. Berto dan Romanus |
6 komentar
Bagus banget.. thx for sharing..
BalasHapusSiiip Lala.. smoga bisa bermanfaat.. :)
Hapuskeren ya.. tulisan dan tujuan yang bagus.. :D
BalasHapusmakasiiih mas Triyadi. Salam kenal.. :)
Hapusini tulisan kedua..
silakan baca juga tulisan pertama ttg Wae Rebo
http://diasporaiqbal.blogspot.com/2013/07/menjadi-anak-wae-rebo.html
dan tulisan ketiga
http://diasporaiqbal.blogspot.com/2013/07/sepagi-memaknai-tradisi-wae-rebo.html
sippp
BalasHapusterima kasih bang.. :D
Hapus