Ruang Imajinasi Curug Grenjengan Kembar
Juli 28, 2013
Hutan pinus lereng Merbabu tahu betul menyembunyikan sebuah
permata. Tegakan rapatnya merawat keasrian Curug Grenjengan Kembar yang jatuh
semampai dalam aliran anak Sungai Cebong, sebuah sungai yang berhulu di Merbabu.
Sebagai permata, dua air terjun ini menjadi ruang imajinasi yang bisa menghibur
diri. Keindahan dan kesejukannya pantas dipuja untuk meramaikan hati yang
sunyi.
Seperti yang diyakini oleh sepasang sahabat yang duduk pada
bangku kayu di depan air terjun kedua. Mereka membiarkan dirinya diciprati
guyuran anggun air yang jatuh konsisten pada bebatuan. Dua insan mudi ini
sembari memandang romantisme air terjun dengan suaranya yang selalu memecah
sunyi. Sembari menyesap suasana yang senantiasa berhiaskan dua air terjun,bebatuan,
hutan pinus, dan kadang bunga-bunga berwarna-warni.
Saya rasa keduanya sungguh terhibur. Mereka menikmatinya
dengan seyakin hati. Permata itu memberi daya pesona bagi pengunjung yang bertakzim
untuknya. Satu air terjun yang bertingkat dua dengan ketinggian 15 meter, serta
satu air terjun lebih lirih yang berketinggian 20 meter itu cukup menyedot
atensi penghiburan. Semacam altar refleksi untuk pemujaan membuang gamang.
Begitu juga dengan saya. Di atas bebatuan kokoh yang tak
tergerus aliran Sungai Cebong, saya terduduk penuh kekaguman. Mata saya
berkeliling pada ruang cekungan yang diapit dua bukit curam yang menghijau. Ada
kesadaran untuk memaknai bahwa suasana seperti ini cocok bagi saya yang
mendamba kedamaian di tengah haribaan alam. Seperti merealisasikan harapan yang
sangat sederhana. Puas mencumbui mesra sang alam untuk mendapatkan damai di
jiwa.
Saya beranjak melangkah ke kolam di ujung pertemuan tempat
curug pertama jatuh. Meningkahi bebatuan. Berloncat-loncat dalam spekulasi mana
batuan yang licin dan mana yang sangat licin. Sesekali mencemplungkan kaki pada
gerusan air yang dingin. Air alami pegunungan memang sangat terasa dinginnya
membasuh kaki, saya pun merasa menggigil. Brrrrr. Hawa pegunungan turut juga menceburkan
saya pada relung kebisuan.
Dua air terjun yang bersebelahan. Kembar. Di lereng Gunung Merbabu. |
Sepasang sahabat yang menyesap suasana. |
Dalam siang yang muram, motor saya mesti melewati jalan
bebatuan di antara ladang cabai dan kubis yang bisu di Desa Muneng Warangan,
Kec. Pakis, Magelang, sebuah desa yang masuk terpelosok dari Jalan
Magelang-Salatiga via Kopeng. Kemudian, setapak tanah mengantarkan jalan kaki
saya menusuk sebuah lorong di antara dua dinding tanah. Dinding itu jualah juga
sebagai mula perjalanan menembus hutan bambu yang lembab dan basah.
Sebuah jembatan bambu untungnya hadir mengisi kekosongan di
jalanan hutan bambu. Pantas dia menjadi tengara yang bisa mengusir kemonotonan.
Selanjutnya, mulailah saya melewati hutan pinus yang bertegakkan saling
merapat. Memayungi yang tak membiarkan cahaya menerangi.
Orang pasti akan senang tatkala melintas di antara hutan
pinus yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Wilayah II Krogowanan, Taman
Nasional Gunung Merbabu. Katanya seperti dalam film The Twilight, serasa bermesraan dengan para drakula. Ciiih...
Klise! Makanya, saya lebih senang bergegas karena di sinilah suara gemericik
air terjun permata itu mulai terdengar. Hingga akhirnya sayup-sayup pandang
Curug Grenjengan itu mulai tampak.
“Curug Grenjengan mulai dibuka masyarakat untuk wisata sejak
2009. Sebagai aset wisata desa dengan minta izin pada taman nasional.” tutur
Budi, pemuda kampung yang siang itu menjadi tukang parkir sekaligus penyambut
pengunjung yang datang.
Tak ada tiket masuk. Sekedar biaya parkir Rp 2000,00. Dalam
hati saya beretorika, kenapa tempat seindah ini, masih jauh dari nuansa
materialistik kawasan wisata? Apakah ini sebuah penghargaan bagi pemburu
kesunyian? Maka lantas tak pantas untuk menarik biaya dari orang-orang yang rela
berkorban untuk pergi dari keramaian ke tempat sepi, terpelosok, yang mungkin
bagi orang Magelang sekalipun juga masih asing ini
Tapi, permata tak akan pernah dibiarkan gratis.
Barangkali, suatu saat nanti tempat ini diambil alih pemerintah daerah sebagai lokasi
pemasukan Pendapatan Asli Daerah. Seperti
kata pepatah klasik Rusia: menggaruk di tempat yang gatal. Suatu saat nanti
akan ada yang menarik pemasukan di destinasi yang mulai ramai dikenal dan
dikunjungi ini.
Suasana Desa Muneng Warangan, Pakis, Magelang |
Lorong yang berdindingkan tanah. Menuju ke Curug Grenjengan Kembar |
Jembatan bambu di antara lebatnya hutan bambu. |
Hutan pinus di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Tempat Curug Grenjengan dilingkupi |
0 komentar