Wisdom in Uma Lengge
Juni 18, 2013
Ibu Yanti dengan cekatan menggerus
bulir-bulir gabah untuk dimasukkan ke dalam karung. Cuaca mendung membuat hari
ini dia lebih cepat mengemasi gabah yang dia gelar. Matahari malu-malu siang
itu. Karung-karung gabah ini kemudian akan dia masukkan di Uma’ Lengge.
Disimpannya sembari berharap matahari terik esok hari. Uma’ Lengge menjadi lumbung
padi yang mentradisi dari suku Mbojo, masyarakat asli Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sudah tidak banyak lagi bisa
ditemukan masyarakat yang mempertahankan eksistensi Uma’ Lengge. Di daerah
Bima, tinggal hanya tiga daerah yang tetap menjaga tradisi Uma’ Lengge. Yakni
di Wawo, Sambori serta Donggi. Sebagian besar masyarakat Bima telah beralih
kepada rumah ‘generik’, yang berbentuk persegi, beratap genteng. Maraknya
pembangunan telah mencerabut khasanah tradisi Uma Lengge yang telah ada sejak
enam abad silam.
Bersama sahabat baru asli
Bima: Dian Pratiwi, saya, @linggabinangkit dan @megahan25 bertakzim ke Uma
Lengge di Desa Maria, Wawo, Kab. Bima. Mencoba mengenal kearifan Uma Lengge
yang tetap bertahan tak lekang oleh zaman.
Konstruksi Sarat Fungsi
Secara umum, Uma Lengge
berwujud sebagai rumah panggung. Konstruksinya menggunakan bahan kayu dengan
atap dari ilalang yang menutupi tiga perempat bagian rumah. Arsitekturnya
berbentuk limas dengan ditopang empat kaki kayu utama. Ukuran Uma Lengge
sekitar 4 x 4 meter, dengan tinggi hingga puncaknya mencapai 7 meter.
Susunan ruang dalam Uma
Lengge terdiri dari empat tingkat. Lantai dasar atau kolong berfungsi
sebagai tempat menyimpan ternak. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara
adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sementara
itu, lantai ketiga atau atap digunakan untuk menyimpan bahan makanan, seperti
padi.
Menurut ahli antropolog dari
Barat, Albert dalam kunjungannya di Bima pada tahun 1909 menamakan Uma Lengge
dengan “A Frame” karena wujudnya menyerupai huruf A. Rumah seperti ini
berfungsi sebagai penyimpan panas yang baik. Hal ini cocok pada daerah pegunungan
yang berhawa dingin seperti daerah Wawo ini. Konstruksi “A Frame” juga sangat
tahan terhadap terjangan angin dan badai. Selain itu, struktur seperti ini
membuat tikus tidak bisa masuk ke Uma Lengge.
Deretan Uma Jompa di Wawo, Bima. Uma Jompa adalah Uma Lengge yang sudah dimodifikasi. @iqbal_kautsar |
Ibu Yanti sedang mengemasi gabahnya. Untuk kemudian dimasukkan dalam Uma Lengge. @iqbal_kautsar |
“Sebenarnya Uma Lengge itu
adalah rumah tinggal sekaligus lumbung padi. Tapi, suatu ketika ada musibah
kebakaran. Seluruhnya terbakar. Barang-barang rumah tangga dan simpanan pangan
ludes.” ungkap Ibu Fatma sembari beristirahat di bale-bale Uma Lengge’ setelah
membantu mengemasi gabah Ibu Yanti.
Kejadian tersebut membuat
masyarakat Desa Wawo memutuskan membuat pemukiman yang terpisah dari kompleks
lumbung pangan. Harapannya, jika terjadi musibah, masih ada yang bisa
diselamatkan. Papan atau pangan. Uma Lengge di Wawo pun hanya dipergunakan
sebagai tempat penyimpanan pangan. Kejadian buruk masa lalu bisa menjadi
pelajaran berharga untuk membuat keputusan yang baik untuk masa depan.
Saya mengamati wujud Uma
Lengge di Wawo telah mengalami penyederhanaan. Karena fungsinya sekedar
lumbung, susunan ruang pun dimodifikasi. Hanya ada atap sebagai tempat
penyimpanan persediaan pangan, di bawahnya ruangan tanpa dinding semacam
bale-bale dan kolong. Bale-bale ini berfungsi sebagai tempat istirahat dan
pelaksanaan upacara adat. Ukuran Uma Lengge pun lebih kecil, sekitar 2 x 2
meter dengan tinggi 4-5 meter.
Tak hanya itu, atas nama
kepraktisan, Uma Lengge Wawo juga mengalami pergeseran wujud. Akan dijumpai juga
Uma Lengge yang berbentuk persegi selayak rumah dengan beratapkan genteng atau
seng. Meskipun, masih sama dibuat dengan konstruksi panggung. Bangunan lumbung
ini disebut Uma Jompa. Masyarakat lebih mudah membuat Uma Jompa dibanding Uma
Lengge.
Oleh karena itu, dari
96 buah Uma Lengge yang ada di kompleks Wawo, hanya
tinggal 12 unit bangunan di yang benar-benar layak disebut Uma Lengge.
Sementara 84 bangunan lainnya sudah bergeser menjadi Uma Jompa.
Falsafah Gotong Royong
Wujud Uma Lengge bisa saja
berubah, tapi nilai yang terkandung pada tradisi Uma’ Lengge tetap lestari
terjaga. Keberadaan Uma Lengge sangat berkaitan dengan kearifan tradisi gotong
royong pada masyarakat Wawo. Terlebih saat musim panen padi tiba.
“Musim panen di Wawo
dilakukan oleh warga secara bergotong royong. Dari memanen padi, menyimpan
hasil panen hingga menjemur padi akan dilakukan bersama-sama.” ungkap Bu Yanti.
Di Wawo, padi akan dipanen dengan cara tradisional, dipotong
menggunakan ani-ani. Padi sengaja tidak dirontok menggunakan mesin agar sisa
tangkainya bisa diikat untuk digantungkan saat disimpan di dalam Lengge. Sejumlah
wanita lalu membawa ikatan-ikatan padi dan menaikkannya di Uma Lengge.
Penjaga Uma Lengge yang menerima kemudian menyusun ikatan
padi itu di ruang atas Lengge. Ditata dengan rapi. Jika hasil panen berlebihan
dan ikatan padi tidak tertampung di Lengge, para wanita akan langsung
menumbuknya menggunakan alu dan bambu. Bulir beras yang sudah ditampih dan
dibersihkan, kemudian dibawa pulang sesuai pembagiannya.
Persawahan di daerah Wawo, Bima dengan Uma Lengge nya. @iqbal_kautsar |
Bahan pangan dimasukkan di Uma Lengge lewat pintu berjerami ini. @iqbal_kautsar |
Tak semua warga punya Uma Lengge karena kepemilikan Uma
Lengge diperoleh secara turun temurun dari leluhur keluarga masing-masing.
Pemilik rumah akan memberi kepercayaan kepada dua orang untuk menjaga dan
mengelola sumberdaya pangan di Uma Lengge. Sang pemilik rumah hanya boleh mengambil
bahan pangan sekali seminggu.
Saat panen, prosesi penyimpanan padi di Uma Lengge dimulai
dengan Ampa Fare. Upacara ini merupakan
tradisi masyarakat Wawo ketika menyimpan padi ke
lumbung pertama kali pasca panen. Pada upacara ini, akan dilakukan tarian
tradisional yang diiringi oleh bebunyian musik dari tumbukan alu dari para
wanita setempat. Suasana akan sangat
ramai dengan kehadiran seluruh masyarakat Wawo yang berpartisipasi.
Uniknya, saat Ampa Fare ini, para wanita Desa
Wawo akan berbusana Rimpu. Rimpu ini semacam jilbab atau
kerudung, tetapi bahannya dari sarung. Menurut warga setempat, rimpu bisa menandai status perkawinan
para wanita. Yang sudah menikah atau punya tunangan, menggunakan rimpu yang hanya menutupi rambut dan
wajahnya tetap terlihat utuh. Sementara gadis yang belum punya tunangan
menggunakan rimpu hingga menutupi
wajah, hanya menyisakan mata yang terlihat.
“Ketika padi di Uma Lengge digunakan pemiliknya untuk acara
hajatan, para tetangga juga akan membantu. Si pemilik akan menurunkan beberapa
ikat padi dari Lengge, sedangkan tetangga
akan membantu proses menumbuk padi hingga proses penumbukan menjadi
beras. “ tutur Bu Yanti.
Jika ada hajatan besar seperti syukuran khitanan atau
perkawinan, prosesi menurunkan padi dari Lengge akan sangat ramai. Para
wanita yang bergotong royong di kompleks Uma Lengge akan menarikan tarian
tradisional dengan iringan musik dari bunyi-bunyian penumbuk alu untuk
menambah semangat bekerja.
***
Siang telah mulai meluntur dan mendung tetap awet menggelayut.
Pada sore yang kian menjelang, kami pun meninggalkan Kompleks Uma Lengge Wawo
yang sejak 1993 ditetapkan Pemerintah Kab. Bima sebagai cagar budaya. Ada
pelajaran berharga, bahwa di tengah modernisasi yang gencar melunturkan
tradisi, sepenggal harapan pada konstruksi arif Uma Lengge tetap bertahan di
Wawo. Meski pada kenyataannya, sudah mengalami pergeseran yang kentara.
Sejatinya, lumbung pangan seperti Uma Lengge di Bima adalah
simbol dari masyarakat Nusantara yang berbudaya agraris. Para nenek moyang
mengajarkan betapa tingginya penghormatan manusia pada pangan. Segala pangan
yang merupakan sumber kehidupan harus bisa dikelola dengan baik. Uma Lengge
akan menghindarkan masyarakat dari kekurangan makanan sekaligus mencegah
pemborosan pangan.
Kompleks Uma Lengge Wawo. Sepi saat saya datang. @iqbal_kautsar |
Suasana Desa Maria, Wawo. Karena adanya musibah, rumah dipisah dengan lumbung pangan. @iqbal_kautsar |
Menggerus bulir-bulir untuk dimasukkan di Uma Lengge. @iqbal_kautsar |
0 komentar