Telisik Boti Timor (1): Memaknai Kebersahajaan
Juni 25, 2013
Suku Boti menjadi
benteng terakhir tradisi asli Pulau Timor. Di tengah serangan modernitas yang
bertubi-tubi, Suku Boti tetap memegang kukuh warisan tradisi dan agama
leluhurnya, Halaika. Hingga kini,
Suku Boti masih hidup dalam kebersahajaan mereka yang bergantung pada kerasnya
alam daratan Pulau Timor. Mereka juga sangat menghormati alam lestari dengan
hidup harmonis bersamanya... Boti, sunyi terpencil lokasinya tapi gegap gempita
menyediakan makna kehidupan.
Jalan beraspal mulus telah usai. Perjalanan setengah jam
dari Niki-niki, Timor Tengah Selatan dari tadi serasa ‘datar’. Di sebuah
pertigaan menjelang Oinlasi, motor kami berbelok kanan menuju jalanan terjal berbatu.
Dari titik inilah, petualangan menuju Boti yang sesungguhnya baru dimulai. Perjalanan
yang sarat lika-liku perjuangan!
“Kita akan lewat jalan tanah berbatu, naik turun tiga
pegunungan. Setelah itu baru sampai di Boti.” tutur Hermanus (27), tukang ojek
yang mengantarkan saya ke Boti.
Saya membayangkan perjalanan ke Boti akan menjadi perkara
yang berat. Seratus meter pertama saja, motor bebek 100 cc ini terasa
mengerang-erang. Mengeluarkan tenaganya
bersusah payah. Untung, kemahiran Hermanus membuat jalanan berbatu yang menanjak
curam itu bisa teratasi. Saya kini yakin bahwa Hermanus sering masuk ke Boti.
Bukan soal mudah bisa mendapatkan tukang ojek yang mau
mengantarkan wisatawan ke Boti. Mulanya saya dikerubung para tukang ojek ketika
baru turun dari bus Atambua-Kupang di Niki-Niki. Tapi, saat saya berkata Boti
adalah tujuannya, hanya tinggal Hermanus dan rekannya, Sius yang bersemangat.
Alasannya: jauh, sedikit yang pernah ke Boti, medan yang dilalui berat, motor
tak kuat, bahasanya beda dan harga tak cocok.
Hermanus aslinya bukanlah tukang ojek. Dia adalah supir bus
jurusan Niki-niki ke Kupang. Seretnya penumpang bus menjadi alasan dia banting
stir mengojek. Dengan motornya yang masih gress
– hasil dua tahun kredit, dia biasa mengantar wisatawan ke Boti paling tidak seminggu
sekali. Menjadi tukang ojek sekaligus pemandu ke Boti lebih menjanjikan menjadi
ladang kehidupan. Sekali bawa wisatawan, biasanya PP Rp 125 ribu untuk domestik
dan Rp 200 ribu untuk asing. Saya cukup beruntung, dia mau ditawar Rp100 ribu
saja.
Lanskap kini mulai berubah. Makin menyusur ke dalam, daratan
makin gersang. Bukit-bukit kini didominasi oleh bebatuan kapur yang rapuh.
Meski saat itu baru lepas dari musim hujan, tidak tampak hutan menghijau yang
menghias perbukitan. Lebih dominan gundul. Putih dan kering dimana-mana. Bekas
longsoran seperti pemandangan yang biasa. Jalanan pun kini tak lagi berbatu. Berganti
tanah kapur berdebu. Memang benar, ini sebuah perjalanan yang terjal!
“Kalau bawa bule, saya minta dia yang nyetir motor. Saya
dibonceng saja. Atau tiap kali tanjakan, saya minta dia turun berjalan kaki.”
ungkap Hermanus
Jalanan yang harus dilalui ke Boti. Kapur dan kering. |
Hamparan kering perbukitan Timor. |
Gapura masuk kawasan Boti Dalam. |
Selama melintasi jalanan, dalam hati saya terus mengungkap tanya. “Kenapa manusia mau tinggal di tempat susah ini? Sebuah alam yang kering, keras dan terpencil?” Tapi, sepertinya daratan ini sudah dihuni manusia ribuan tahun lalu. Manusia telah beradaptasi intim dengan alamnya. Tempat kering pasti menghasilkan manusia-manusia yang kuat, keras dan pantang menyerah.
Kebetulan, saya melintas tepat saat para anak sekolah sedang
pulang. Menjumpainya berjalan kaki di tengah terik siang. Padahal, saya saja
yang dibonceng lekas merasa dehidrasi. Mereka kuat berjalan berkilo-kilometer
seperti ini tiap harinya. Jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Demi
mengenyam pendidikan, anak-anak Timor rela bersusah payah menerjang alam yang
berat. Tapi, dari senyum dan sapaan yang tulus, membuat saya optimis bahwa
pendidikan akan mengangkat kesejahteraan masyarakat di sana.
Dua jam perjalanan menakjubkan menembus dataran kapur
gersang berujung pada sebuah halaman yang teduh. Pertanda saya telah tiba di kampung Suku
Boti. Rimbunan pepohonan besar ini mengontraskan dengan lanskap selama
perjalanan. Sebuah pagar kayu menjadi pembatas untuk masuk ke dalam kampung. Dua
umekebubu’ – rumah bulat khas Timor, berdiri
di samping kanan kiri. Ada juga sebuah rumah persegi yang tampaknya menjadi
tempat pelayanan pemerintah kepada warga Boti.
Saat itu, suasana Boti sangat sepi. Tiada tampak manusia.
Hermanus dan Sius langsung mengajak saya masuk. Tak perlu permisi, pintu kecil
dibukanya. “Selamat datang di Boti!” kata Sius.
Memuliakan Tamu
Sebuah bangunan kontras dengan rumah sekitar. Bangunan beratap
seng berdinding kayu yang bercat putih ini tampak megah dibanding rumah lainnya
yang beratap jerami. Inilah Sonaf Raja Boti atau Istana Raja Boti. Jalan
setapak batu berundak-undak yang saya lalui melintas perkampungan Boti berujung
pada Sonaf Raja Boti. Pertama kali tiba di Boti, tamu harus menuju ke rumah
raja dulu. Mohon izin sekaligus bersilaturahmi untuk diterima raja.
Nona Klui datang menyambut kami ketika tiba di sonaf. Ramah.
Tutur katanya halus. Perempuan muda ini
ternyata bisa mahir berbahasa Indonesia. Katanya, dia sempat sekolah sampai
SMP. Kami dipersilakanlah untuk duduk di beranda. Tapi, tidak banyak yang bisa
diobrolkan karena menunggu Mama Raja datang. Seorang perempuan lain tampak bergegas
ke belakang untuk memanggil Mama Raja.
“Hanya Raja atau Mama Raja yang bisa mengizinkan para tamu
diterima di Boti. Setelah itu baru bisa bertanya-tanya. Karena Raja sedang di
ladang baru pulang malam, nanti Mama Raja yang menyambut.” ungkap Klui.
Sonaf Raja Boti. Istana Boti. |
Pinang, sirih, kapur. Tradisi yang selalu ada pada masyarakat Pulau Timor. Tidak terkecuali Suku Boti. |
Suguhan dari Mama Raja Boti kepada tamu. Dari kebun sendiri. |
Lima menit kami menunggu, Mama Raja yang bernama asli Molo Benu akhirnya datang. Perempuan separuh baya yang berpakaian anggun tapi sederhana warna coklat ini mengajak kami bersalaman. Kini, saatnya saya mengeluarkan persembahan kepada Mama Raja yang tiada lain adalah adik raja Boti sekarang, Usif Namah Benu. Buah pinang, daun sirih dan cengkih, saya masukkan ke dalam dua kotak wadah dari rotan yang telah disediakan. Pinang, sirih, cengkih adalah ungkapan penyambung tali persaudaraan ketika seorang tamu datang ke Boti.
Mama Raja mengunyah pinang, sirih dan cengkih lalu
mencampurnya dengan kapur. Artinya kedatangan kami telah diterima. Mama Raja
lalu mempersilakan kami untuk ikut menyirih. Untung, kedua tukang ojek kami
yang melakukan ritual itu. Saya tidak perlu ikutan karena jujur tidak bisa
menyirih. Bagi orang Timor, menyirih sudah menjadi tradisi bagi orang tua
bahkan anak muda. Pasti dimana-mana akan banyak ditemui orang-orang bergigi jingga,
bekas menyirih.
Mulailah obrolan mengalir di antara kami. Sius dan Hermanus
lancar berbincang dengan Mama Raja karena saling mengerti bahasa. Bahasa yang
digunakan Suku Boti adalah bahasa Dawam. Meski begitu, kadang dalam beberapa percakapan
Sius menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kadang juga, saya ikut masuk
dengan dengan Bahasa Indonesia. Untungnya, Mama Raja bisa tahu meski sedikit
terhadap Bahasa Indonesia.
“Kalau siang, semua lelaki berladang atau mencari kayu di
hutan. Semua wanita tinggal di rumah untuk menenun atau merawat anak di rumah.”
ungkap Mama Raja tatkala saya tergelitik bertanya dengan tidak adanya kaum
lelaki di Boti.
Kaum lelaki Suku Boti memiliki penampilan yang khas. Rambut
lelaki Boti akan digelung seperti penampilan orang jaman Majapahit. Untuk
membedakan mana laki-laki yang sudah dan yang belum berkeluarga, terlihat pada
bentuk konde. Konde atas bagi laki-laki yang sudah menikah dan konde bawah bagi
mereka yang belum menikah. Kaum lelaki Boti mengenal monogami, hanya menikah
pada satu perempuan saja seumur hidupnya. Sayangnya saya tak bisa menemui
seorangpun lelaki Suku Boti siang itu.
Tiba-tiba, seorang perempuan hadir menyuguhi kami segelas
kopi, sepiring pisang goreng dan semangkuk kacang goreng. Mama Raja langsung mempersilakan
kami untuk menyantap hidangan yang diletakkan di meja sebelah.
“Ini dari kebun kami semua. Minyak untuk menggoreng pun kami
olah sendiri. Silakan dinikmati“ ungkap Mama Raja.
Di dalam Sonaf Raja Boti. Ruang tamu yang diisi dengan berbagai foto dan aksesoris. |
Isi Sonaf Raja Boti. Ada piala, plakat, kalender, dan radio tape. |
Dapur kerucut di samping Sonaf Raja Boti. |
Sebenarnya ada hal yang kurang enak tatkala kami hanya menyantap sendiri suguhan ini. Mama Raja beserta warga Boti tidak mau turut makan. Sesuai adat Suku Boti, bahwa tuan rumah tidak bisa menyantap sebelum para tamu makan. Saya amati jumlah makanan memang dihidangkan pas sekedar untuk para tamu. Ada nilai luhur terkandung di sini. Ini bentuk penghormatan Suku Boti kepada para tamunya. Sebuah tradisi tata hidup dari Boti: memuliakan tamu.
Setelah makanan tandas, saya diizinkan Mama Raja untuk masuk ke dalam Sonaf. Sekilas di dalam Sonaf tampak seperti sebuah ruang tamu biasa. Tapi namanya istana tentu banyak yang istimewa. Terpajang berbagai foto dokumentasi dari pengunjung, foto bupati, foto Soeharto, piala dan piagam penghargaan, plakat tanda mata dan kain ornamen khas Boti yang sangat indah. Tapi yang menggelitik saya adalah adanya radio tua di sonaf Boti. Ternyata teknologi juga masuk ke Boti meski tertinggal beberapa masa.
“Di Boti radio boleh. Kalau televisi, HP, telepon tidak
bisa. Listrik ada, kadang dinyalakan dari genset bantuan pemerintah. Tapi
jarang. “ jelas Mama Raja tentang penerimaan teknologi modern suku Boti.
Roda waktu seakan berjalan lambat di Boti. Warga Boti hingga
kini masih hidup dalam kebersahajaan mereka yang konservatif dalam menerima
modernisasi. Mereka bisa hidup tidak perlu bergantung pada teknologi modern.
Alam dataran Timor yang keras hingga kini masih menyediakan nafas kehidupan yang melimpah bagi warga Boti.
Pinang, sirih dan cengkih harus dipersiapkan tamu sebelum masuk ke Boti. Biasanya dibeli di Niki-niki |
Betapa panas, keras tapi rapuh alam dataran Timor. Ini di jalan menuju Boti. |
Angkutan masyarakat sekitar Boti ke Oinlasi dan Niki-Niki. Pickup yg dimodifikasi. |
Motif buaya pada anyaman Boti. Buaya adalah hewan yang disakralkan di Boti. |
Nona Klui. Salah sedikit perempuan Boti yang bisa berbahasa Indonesia |
Mama Raja Boti, Molo Benu. Adik raja Boti saat ini. Tidak sembarang bisa berbicara. |
0 komentar