Molek Curug Silawe Magelang
Juni 23, 2013
Semacam konsistensi. Menjadi air itu berarti konsistensi. Mengalir
dari tempat tinggi ke tempat rendah membutuhkan konsistensi. Pada tebing
setinggi kira-kira 50 meter, sebuah sungai alami nan kecil di lereng Gunung
Sumbing jatuh tanpa pernah ragu. Sudah menjadi hukum alam, air sungai itu tak
mengenal ketakutan. Tak sekalipun menawar. Dia tetap terjun bebas secara
konsisten, membuat sebuah tengara alam. Yakni, sebuah Curug Silawe yang molek jelita.
Silawe yang dalam bahasa Jawa berarti sarang laba-laba ini cukup
beruntung. Konsistensi melahirkan perkawanan. Adalah Curug Sigong yang menjadi
kawan sehidup semati Silawe dalam sebuah realitas lereng pegunungan. Curug yang
debit airnya lebih rendah ini bersebelahan dengan Curug Silawe. Disebut Curug
Sigong karena konon sering terdengar suara mirip gong terutama pada malam hari.
Jadi, ketika hadir bertakzim pada Curug Silawe berarti sekaligus bertakzim
untuk Curug Sigong juga.
Juga tentang konsistensi, ketika kami – saya,
@linggabinangkit, @prstw dan @jauharii – melakukan perjalanan menuju Curug
Silawe. Terselinap di pelosok pegunungan daerah Magelang, Jawa Tengah butuh upaya ekstra untuk menjangkaunya. Empat
sekawan ini harus menuju terlebih dulu ke Desa Sutopati, sebuah desa kecil yang
terletak pada lembah di Kec. Kajoran. Terapit perbukitan. Butuh konsistensi
menyusur jalanan yang bagi kami seperti menuju daerah antah berantah.
Tiba di Desa Sutopati berarti akhir sebuah jalan beraspal.
Dari sini hingga gerbang Curug Silawe sejauh 500 m berganti rupa jalanan
berbatu. Dan, tidak tanggung-tanggung, jalan menanjak begitu curam, tanpa ampun.
Motor kami pun harus bersusah payah. Adalah konsistensi tiada henti untuk
membuat kami bisa tiba di gerbang wisata Silawe. Sampai-sampai penumpang yang
dibonceng harus turun jalan kaki. Itu demi konsistensi menuju Silawe.
Untung saja. Tak selamanya upaya ekstra identik dengan
persangkaan derita. Ada saja keindahan yang lunas terbayar. Hamparan hutan
pinus berbalut indah dengan sawah terasering yang mengukir perbukitan di
seberangnya. Perkampungan Sutopati dengan kontras menara masjid yang menyembul dan
perkampungan lainnya menjadi hiasan di antara dua panorama ini. Bukankah ini
sebuah lembah kehidupan yang diisi dengan manusia yang konsisten hidup dalam
haribaan alam? Konsisten menciptakan kisah ikhtiar khas manusia mengakrabi pegunungan.
Desa Sutopati yang terapit perbukitan dan ladang. |
Curug Sigong terletak di sebelah Curug Silawe. Seperti teman sejati. |
Curug Silawe dari atas. |
Jalan semen berundak-undak sejauh 200 m mengantar kami
kepada dasar Curug Silawe. Hari masih pagi, yang artinya kamilah yang membuka
lembaran Silawe hari itu. Belum ada manusia kecuali kami yang menjejakkan kaki
di Silawe. Inikah sebuah kesunyian? Sunyi identik dengan kesendirian. Saya tak
merasa sendiri karena suara guyuran air Curug Silawe konsisten meramaikan
situasi. Angin yang menabrak tebing juga turut memeriahkan kondisi. Silawe
terpencil tapi tak harus sepi.
Dan, Silawe sepertinya bukan sebagai tempat yang diciptakan
untuk sunyi. Tak berapa lama, rombongan belasan anak SMP hadir menjadi kawan
kami sekaligus Curug Silawe. Setelah itu, semakin menjelang siang, beberapa
pasangan muda-mudi datang memadu kasih. Aih, rupanya Curug Silawe telah konsisten
menjadi lokasi wisata yang cukup ‘terdengar’ di seputaran Magelang. Sejak tahun
2006, Curug Silawe bertransformasi dari lokasi sunyi menjadi lokasi wisata.
Tapi, konsistensi masih bermuka dua di Curug Silawe. Tak ada
sunyi, tak ada sepi seharusnya jalanan menuju Silawe perlu diperhalus, perlu
dilapis aspal. Destinasi wisata butuh pembangunan infrastruktur. Jalanan aspal
tentu menjadikan semakin mudah orang yang akan mengunjunginya.
Tapi sekali lagi tapi. ‘Tapi’ senantiasa memberikan
negasi. Rasanya Curug Silawe punya magnet luar biasa yang membuat orang tak
masalah bersusah payah demi mencumbu keindahannya. Rela menderita demi
menelanjangi pesonanya. Oleh karena itu, asumsi saya Silawe seperti semacam
daerah antah berantah adalah salah. Inkonsistensi. Saat kami pulang, di Curug
Silawe semakin siang semakin banyak saja yang datang.
Jembatan untuk menyeberang ke Curug Sigong. |
Aliran air di sela-sela batuan dan tanaman liar. Menyejukkan. |
Loket masuk Curug Silawe |
@linggabinangkit dan @jauharii. Sebuah konsistensi bisa sampai ke Curug Silawe |
Tangga menuju Curug Sigong |
Jepretan keren mas @linggabinangkit. Seperti sutra. Cakep. |
0 komentar