Romantika Manis Pantai Menganti
Mei 02, 2013Pantai Menganti Kebumen yang cantik memadukan alam dan kehidupan nelayan. |
Sepotong pantai pasir putih menghampar pada sebuah teluk sempit yang terapit perbukitan-perbukitan karst. Ia menghujam di bawah, di dasar daratan memeluk Laut Selatan Jawa. Curam.
Di atas kemilau pasirnya, menggeliat aktivitas
nelayan-nelayan yang menjadikannya sebagai pelabuhan. Sebagai tambatan
kehidupan. Ratusan perahu tradisional berwarna biru terparkir berdesak-desakan.
Pantai Menganti Kebumen adalah sejengkal
pantai menawan yang bisa beromantika manis dengan manusia-manusianya.
Lasikan
sedang mengurai jaring-jaringnya. Pagi itu, dia telah selesai dari melautnya di
Samudera Hindia. Ikan-ikan besar hasil tangkapannya sudah diantar ke TPI di
sebelah pantai. Istrinya lah yang menjual. Di TPI, penjualan biasa dilakukan
melalui mekanisme lelang. Jaring-jaringnya kini dibersihkan karena nanti malam dia
gunakan lagi untuk melaut.
Beginilah putaran hidup yang mesti diakrabi
Lasikan, satu dari ratusan nelayan yang membaktikan hidupnya sebagai pencari
ikan. Sebagian besar nelayan di Pantai Menganti berasal dari daerah sekitar, yakni
Kecamatan Ayah, Kebumen. Lasikan berasal dari Desa Karangduwur, Ayah, desa yang
tak jauh dari Pantai Menganti.
Lasikan tampak kuyu lelah. Tapi senyumnya tak
berhenti merekah saat saya mengajaknya berbincang. Kisah pengalaman di lautan
pun dia antusias ceritakan.
“Sampai
mana saja Bapak mencari ikannya?”
“Kalau
ke barat bisa sampai Pangandaran. Terus kalau ke timur pernah sampai daerah
Sadeng, Jogja.” jawabnya bersemangat.
Dia
beranjak dari kesibukannya. Aha.. Sebuah perahu datang dari lepas lautan akan
mendarat. Lalu disusul beberapa perahu di belakangnya. Serombongan nelayan baru
pulang mencari ikan. Puluhan orang mendadak beramai-ramai menyambut kedatangan
mereka. Bersama lelaki lain, Lasikun bahu membahu menggotong perahu-perahu
mentas dari perairan. Dibawanya perahu itu menjorok ke daratan. Diparkir makin
berjejal-jejalan bersama perahu-perahu lain.
Kerja
sama. Gabungan kata ini sangat lekat dengan kehidupan kaum nelayan. Kesendirian
di laut dalam mencari ikan tidak berlaku lagi tatkala menyentuh daratan. Nelayan
adalah manusia sunyi saat berada di tengah samudera. Ia sekedar berkawan dengan
perahunya, jalanya atau ikan hasil tangkapannya. Atau juga berkawan pada kawan
senasib seperjuangan di atas perahu. Padahal lautan selatan itu mega luas.
Tapi juga nelayan adalah kaum yang ramai. Ramai
dengan kerja sama. Ketika sudah merapat darat, apapun yang dilakukan selalu
mengedepankan kebersamaan. Bekerja sama menggotong perahu naik ke daratan atau
turun ke lautan. Bahu membahu menyelesaikan problematika hidup kesehariannya.
Dari kerja sama itulah, kenapa nelayan selalu saja bisa bertahan dalam dinamika
zaman, meski bertahan dalam keterbatasan.
Diletakkan di antara perahu lain. Makin bersesak-sesakan. |
Nelayan, kaum rentan di batas daratan dan lautan. Juga rentan dalam menapaki langkah kehidupan yang makin kejam. Kaum nelayan adalah salah satu kaum paling tak berpunya di negeri ini. Ini jelas ironi. Indonesia adalah negeri bahari. Berlimpah-limpah kekayaan Indonesia terkandung di lautan yang seluas daratan Eropa. Tapi, nelayan tetap saja yang hidup menderita. Lantas, siapa salah?
“Kalau harga minyak naik, biaya melaut makin
berat. Harga minyak sekarang saja, kami hanya sedikit dapat untung.” keluh
Lasikan.
Barangkali salah satunya adalah salah
pemerintah. Keberpihakan pemerintah pada nelayan masih sekedar janji manis yang
diucapkan para pejabat. Masih sekedar rencana-rencana di atas kertas pada
lembaga yang berwenang. Nelayan seperti berjalan tanpa kehadiran negara. Tapi Lasikan dan kaumnya tidak akan menyerah
pada hadir atau tidakhadirnya negara. Menjadi nelayan bagi mereka sudah menjadi
jalan hidup sejati.
“Alhamdulillah, mas. Hari ini dapat lumayan banyak
tongkol. Sedang musimnya.” Rasa optimis Lasikan selalu ada. Tak pernah padam
oleh derita kehidupan.
Menikmati
Menganti, Menyigi Imaji
Siang sudah menjelang. Nelayan-nelayan sudah
kembali ke rumahnya sembari membawa nafkah dari hasil tangkapan. Kawasan TPI
telah sepi. Motor pun saya kendarai menyisir kaki bukit ke arah barat. Jalan
masih basah, becek tapi sudah mulai mengering. Sisa hujan kemarin malam.
Sisi pantai Menganti sebelah barat. Sepi. |
Bebatuan karang merah terhampar. Eksotis. |
Tiga air terjun yang membuat Pantai Menganti begitu spesial. |
Sebuah kawasan pantai yang lebih lapang terhampar. Tepat di kaki tebing yang tinggi menjulang. Sepertinya sang tebing sedang menantang sang langit. Ada jeda ruang antara tebing dan pantai yang cukup lumayan. Bisa digunakan bermain atau berkemah. Tampak ada bekas lapangan voli yang tak lagi digunakan.
Berdiri juga beberapa gubug yang bukan untuk
kepentingan wisata. Gubug ini adalah milik warga setempat yang biasanya menggarap tanaman jagung dan
mengambil rumput. Terdapat kebun jagung yang sempit di kawasan ini. Selain itu,
ada banyak nyiur tumbuh menghias pantai. Tapi beberapa sudah tak ada lagi daun
dan buahnya. Terpenggal. Lebih tepatnya kehidupannya padam tersambar
petir.
Saya berhenti dan mendekat ke pantai. Sekumpulan
anak muda bersantai, menggelar tikar di atas pasir di bawah nyiur. Tampak
mereka sangat menikmati suasana. Berekspresi lepas bercanda tawa, sembari
bersiap makan siang bersama. Tapi, saya tidaklah hadir untuk demikian karena
saya dalam kesendirian. Saya memilih mendekat kepada keramaian batu-batu hitam
di lepas pantai. Batu-batu karang tepat menjadi kawan sehingga tak larut dalam cairan
kesendirian.
Kubangan-kubangan air di antara bebatuan menawarkan
warna lain selain dominasi hitam. Kadang ikan berkejaran riang lalu sembunyi di
balik karang. Pantulan langit biru di atas kubangan membuat suasana makin
mengharu biru.
Kejernihan airnya menjadi refleksi wajah saya
yang kelihatan gamang. Saya seperti dihadapkan
pada kontemplasi kehidupan. Terduduk di atas karang, saya menerawang luas
horizon lautan. Kadangkala saat melihat jauh bisa membukakan inspirasi langkah
ke depan.
Ombak begitu keras menyeruak. Menghajar karang
yang menjadi garda terdepan daratan. Suaranya beriring-iringan. Di kejauhan,
seekor burung pelikan terbang rendah di atas ombak. Dia sedang mencari ikan untuk
santap siang. Beberapa kali dia mendekati air, tapi tak jua mendapatkan mangsa.
Inilah yang namanya ikhtiar.
Sang burung akhirnya sukses menangkap ikan.
Dia lalu hinggap di atas karang. Memangsa lahap dengan paruhnya yang panjang. Bingkai
ini memberi pelajaran kalau hidup adalah sebuah perjuangan yang tiada henti.
Ada upaya, ada hasil. Ah, saya bosan membuat segala pemandangan terlalu
direnungkan. Terlalu hiperrealis.
Saya pun beranjak. Tapi baru beberapa langkah,
saya berhenti tatkala seorang ibu berjalan menuju karang. Senyum ramah keluar
dari wajahnya yang sawo matang. Dia membawa sebuah wadah.
“Mau cari kerang.” katanya
Ibu ini sebenarnya keluarga nelayan. Tapi,
setelah nelayan beristirahat dan ikan-ikan dikirim ke penjuru daerah, ibu ini
menghabiskan sisa siang untuk mencari kerang. Bagi dia dan keluarganya, kerang-kerang
bisa dimakan untuk lauk makan. Untuk pemenuh protein. Kalau tidak, kerang ini
akan dia gunakan untuk pakan ternak di rumahnya. Dia kini menjauh. Mulailah dia
berjalan membungkuk, menelisik setiap lekuk karang. Kemudian berjongkok andai
menemukan kerang. Dia sudah luruh pada kehusyukan perbuatannya.
Saya juga menjauh dari perairan. Kembali
mentas di daratan.
Menuju air terjun paling barat. Paling terpencil. Melewati ilalang. |
Pantai sunyi dan bersih yang jauh dari hiruk pikuk manusia di Pantai Menganti sebelah barat. |
Air terjun paling barat. Susah dijangkau kalau air pasang. |
Di Pantai Menganti, sebenarnya yang saya cari adalah tengara air terjunnya. Ini yang membuat saya rela jauh-jauh menembus perbukitan karst Gombong Selatan. 35 km dari ibukota kabupaten Kebumen. Medannya jelas tidak mudah. Untuk menuju ke Pantai Mengantai, ibarat menyusuri jalan naga. Berkelak-kelok berpadu naik turun curam. Terlebih saat mendekati TPI, turunan tajam harus diatasi. Siang itu, ketiga air terjun cantik pas mengalirkan airnya dari atas puncak-puncak tebing yang tinggi menghijau.
Sebenarnya air terjun Pantai Menganti berkarakteristik
musiman. Jangan harap bisa menemukan air terjun Menganti saat puncak kemarau.
Beruntung, waktu itu adalah peralihan musim hujan ke musim kemarau. Saya pun
tersuguhkan ketiga air terjun yang benar-benar memukau. Meski harus diakui, kedua
air terjun di sisi timur hanyalah air yang mengucur merayap turun di tebing.
Tapi, bagi saya itu begitu eksotis!
Dan, hari itu saya bermaksud menjangkau air
terjun paling barat. Air terjun paling deras aliran airnya. Paling terpencil
letaknya. Tapi, inilah tantangan menariknya. Motor telah terparkir dan saya
biarkan terkunci. Saya percaya tempat ini aman. Saya berjalan menyusuri ilalang
hijau. Ada jalan tanah yang dibuat masyarakat secara swadaya. Meski tetap saja terjal,
tetapi memudahkan kaki melangkah.
Seorang warga yang mencari rumput saya temui
di tengah ilalang. Dia sibuk membabat rumput dengan aritnya. Kami hanya saling
melempar senyum sembari saya tetap berjalan lalu. Aha.. Terlihatlah sebuah
pantai sempit yang benar-benar bersih. Juga benar-benar sepi. Saya lekas
menuruni bebatuan dan menuju ke sana. Air terjun sudah terlihat dekat. Harapan
kian kuat.
Tapi, saya tak bisa berjalan kian dekat ke air
terjun. Air terjun berada di balik bukit curam yang menjorok ke laut. Siang itu
adalah saat air laut sedang pasang. Tak ada tepian yang bisa dipijak untuk
melangkah menuju air terjun. Baiklah, saya pun mundur. Terduduk di atas pasir. Istirahat
setelah tadi berjalan cukup jauh. Wah, ternyata saya tidak sendiri. Ada tiga lelaki
yang sedang memancing di antara karang. Tak lama kemudian, saya beranjak
mendekat.
Ketiga pemancing ini berasal dari Cilacap.
Sebuah kabupaten tetangga sebelah barat Kebumen. Di balik deburan ombak, mereka
mencari peruntungan ikan sejak tadi pagi. Saya akui mereka adalah orang hebat
karena kesabarannya. Menjadi pemancing adalah laku mengasah kesabaran.
Kesabaran yang dibumbui penyegaran jiwa. Pemancing ini sedikit mendapatkan ikan
meski sudah setengah hari di sini.
“Ah, hasil kan
urusan lain, yang penting prosesnya dinikmati sepenuh hati.” Kata salah satu di
antara mereka.
Berulangkali, mereka kompak melempar kail ke
lautan. Satu.. Dua.. Tiga.. Tapi juga kompak tak mendapatkan hasil. Saya
seperempat jam menungguinya. Ah, ternyata umpan mereka tak juga dimakan ikan.
Saya tidaklah sesabar mereka. Saya berpamitan.
***
Hadir di Pantai Menganti bagi saya ibarat
membuka kenangan lama. Tak terhitung lagi oleh jemari, berapa kali saya
mencumbui keindahannya, menyibak kehidupan manusianya, atau melarutkan diri
pada kedamaiannya.
Mercusuar di tebing sebelah timur Pantai Menganti. Punya banyak kenangan. Eaaaaa |
Kubangan yang bisa menjadi sarana refleksi kehidupan. Jernih dan tenang. |
Tiga pemancing asal Cilacap. Pantai Menganti juga cocok untuk memancing ikan. |
Setahun, dua tahun, tiga tahun bahkan sudah delapan tahun semenjak saya pertama kali hadir di pantai terindah di Kebumen. Setiap tahun saya pasti hadir di sini dengan alasan yang bermacam-macam. Tapi, ada satu alasan yang pasti. Pantai Menganti tak pernah ingkar janji untuk selalu menyediakan pesonanya.
Menara suar di bukit timur Pantai Menganti
sayup-sayup terlihat. Beserta titik-titik kecil manusia yang biasanya memadu
cinta di atas lekuk punggungnya. Hari ini adalah satu-satunya waktu yang saya
tidak berkunjung ke menara suar setiap kali hadir di Menganti. Saya hanya
memandang nanar dari jauh.
Ya, menara suar itu tak berubah. Masih seperti
dulu yang berdiri gagah di antara ladang-ladang warga yang cantik mengukir
perbukitan. Jika malam tiba, lampu suar itu akan menyala. Menjadi pemandu para
pelaut mengarungi samudera.
Dan, saya lah yang ternyata berubah. Mercusuar
itu memiliki banyak kisah yang seharusnya tidak terungkit lagi. Makanya saya
pun enggan untuk mendatanginya lagi. Saya tak mau melemparkan diri ke jurang
hampa di atas lautan kenangan yang sudah lama memudar. Hidup harus terus
berjalan, menyongsong esok lebih baik.
Seperti kata Lasikan dalam menjalani
kesehariannya sebagai nelayan. “Hidup menjadi nelayan itu tak mudah. Sudah
sering perahu hampir tenggelam. Tapi kalau bekerja, takut dan trauma dengan
masa lalu, ya saya mau maju gimana?”
Maju baginya adalah terus melaut menjadi nelayan tak takut hantaman gelombang.
Maju bagi saya, motor mesti mulai merangkak
pelan-pelan. Menaiki tanjakan yang curam. Maju untuk pulang.
Pantai Menganti terpandang dari ketinggian. Pintu gerbang pesonanya. |
Seorang nelayan sedang mengangkut mesin tempel dari perahunya. |
Burung pun menjadi penghuni Pantai Menganti yang romantis. |
Kawasan Tebing Widodaren di Pantai Menganti yang sepi. |
Memancing adalah aktivitas yang menyenangkan di Pantai Menganti. |
Hamparan pasir putih yang halus tapi tidak terlalu putih. Pesona yang berpadu dengan perahu nelayan. |
Bebatuan kerikil Pantai Menganti yang berwarna warni. |
Senja Pantai Menganti. Menganti juga menjadi favorit untuk menikmati senja. |
Di ujung tanjung tempat mercusuar, Tanjung Karangbata |
Air terjun di Tebing Widodaren Pantai Menganti |
19 komentar
Diluar dari ironi kehidupan nelayan. Pantai Menganti sangat luar biasa indah. Masih natural, jadi pengen banget kesana.
BalasHapuswah pintar ya bung kau mepromosikan kebumen. hehe
Bung Didin.. :) makasih atas komennya.. bner nih sya lgi mmperkenalkan pesona2 di kebumen.. blum banyak dikenal, pdhal cukup banyaaak..
HapusAyoo bung main k Kebumen, k sini lah.. hehe..
Cantikkk pantainya, udah pernah ke sana, perjalannya seruu, kangen pgn kesana lagii, kalau pulkam :)
Hapusbetuuull kak Alisa. Salam kenal..
Hapussaya sering ke Menganti tapi tak pernah bosan.. adem rasanya melihat samudera luas dengan bukit-bukit yg tinggi.. :D
siiip.. monggo main ke menganti lagi, pas sunset bagus banget lhoo./
nice post bang. ijin bookmark blog nya ya ;)
BalasHapusada rencana saya mau trip ke arah kebumen - purwokerto.. moga menganti dan pecaron worthed untuk mampir dikunjungi
numpang kasih saran yak, alangkah bagus kalo diberi penunjuk arah jalur agar memudahkan mencapai lokasi.. hehehe sekedar saran ^^
makasiiiih kak byyy.
Hapussudah berkunjung ke blog saya.. semoga bermanfaaat.. pentiiing itu ke kebumen klo gak ke Menganti dan Pecaron ntar gak dapat pesona pantai yg bagusnya.. :)
wokeeeey siip.. makasiiih sarannya.. tapi di internet udah buanyak kok arah ke Menganti.. :)
iya ada airterjunya bagus bgt bro... aku belum seneng ngeblog nanti mau bikin macam ni. haha semangat.....!!!
BalasHapusayooow mas mulailah ngeblog.. apapun silakan ditulis.. jepret2annya juga bisa dipasang di blog sambil dikasih cerita.. :)
Hapusfoto2 Menganti yg kmarin lum aku publish.. hehehe.. :)
saya jadi terlena dengan ceritanya. terbuai dengan kata2 puitis anda :D kapan ya saya bisa ke menganti
BalasHapusterima kasih kak Bruno.. salam kenaaal.. wah, syukurlah anda bisa menikmatinya dengan syahdu,.. :) hehe
HapusMariii mas main ke Pantai Menganti, Kebumen.. Dijamin tiada rugi.. :)
Pemandangan yang indah pantai Menganti bisa sebagai salahs atu tempat destinasi wisata romantis juga ya Sob ?
BalasHapusSalam,
kak Indra Kusuma Sejati. salam kenal. makasih sudah berkunjung. :)
HapusSangat bisa banget kak. Di tempat ini bisa untuk menikmati sunset krna letaknya menghadap barat. Manteeep kak..
Wwaaahhh bagus buuaanggeett mass Pantai menganti !!!
BalasHapusTambah bagus lagi hasil Foto-foto dan berikut kata kata nya.. :)
Bener bener fotographer dan penulis yang ga di ragukan sampean mas :)
terima kasih DIan atas kunjungan dan tanggapannya..
HapusAyook main ke Kebumen ya, kampung halaman saya.. :D
Wwaaahhh bagus buuaanggeett mass Pantai menganti !!!
BalasHapusTambah bagus lagi hasil Foto-foto dan berikut kata kata nya.. :)
Bener bener fotographer dan penulis yang ga di ragukan sampean mas :)
terima kasih DIan atas kunjungan dan tanggapannya..
HapusAyook main ke Kebumen ya, kampung halaman saya.. :D
mas iqbal kebumennya sebelah mana?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbagus tulisannya bang
BalasHapus