Beri Kami Sumba
Mei 02, 2013Sepenggal savana Sumba beserta kuda-kudanya. travel.kompas.com |
Rinduku pada Sumba
adalah rindu padang-padang terbuka / Di mana matahari bagai bola api, cuaca
kering dan ternak melenguh / Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda /
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Sepenggal bait akhir puisi “Beri Daku Sumba” sudah lama berputar-putar pada labirin otak saya. Menunggu jalan keluar. Mewujud nyata. Sang penyair, Taufik Ismail, tahu betul bagaimana saya begitu merindu pada tanah Sumba. Rindu sekali bisa hadir menyesap aroma savana-savana luas dengan kuda-kuda yang melenggang bebas. Rindu sekali dapat bercengkerama dengan pria-pria yang duduk gagah di punggung kuda mahir menggiring gembala. Rindu sekali Sumba bisa jadi nyata.
Sebuah senja pada sebuah awal Januari tahun ini, di
Malioboro Jogja. Ribuan kilometer dari Sumba. Saya terduduk di antara lalu
lalang pejalan. Di antara hiruk pikuk kendaraan. Di antara realitas bersenang-senang
wisatawan. Saya sedang menunggu seorang dia. Kami berjanji bertemu untuk menyusun
‘itenary’ perjalanan. Sebuah perjalanan petualangan yang saya beri tajuk
“Kembara Nusa Tenggara”. Sumba menjadi satu wilayah yang akan kami sambangi.
Flobamor – Flores Sumba Timor tapi tanpa Alor – pada penghujung akhir Februari.
Tapi, setengah jam sudah saya menunggu. Tak jua datang seorang
dia. Ah, bukannya cemas, suasana riuh Malioboro membawa imajinasi saya pada
sosok Umbu. Siapakah Umbu? Umbu tidaklah asing dengan Malioboro. Lelaki ini juga
tidaklah asing tentang Sumba. Karena Umbu lah, Malioboro dan Sumba menjadi
wilayah yang sangat dekat dan akrab. Ribuan kilometer tak lagi berjarak. Umbu
adalah “Presiden Malioboro”. Umbu adalah legenda puisi dari Sumba.
Nama lengkapnya Umbu Wulang Landu Paranggi. Padanya mengalir
darah bangsawan, cucu seorang raja Sumba. Dia dilahirkan di Kananggar,
Waingapu, NTT, 10 Agustus 1943. Meski lahir di Sumba, dia selalu menganggap
Yogyakarta adalah tempat kelahiran keduanya. Umbu terlibat membidani dan
mengasuh Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta tahun 1969. Karena kebiasaannya
nongkrong di kawasan Jalan Malioboro, dia dijuluki “Presiden Malioboro”. Hingga
1979, Umbu pindah ke Bali.
Di Uzbekistan, ada
padang terbuka dan berdebu / Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Tapi, bukan karena ingar bingar karyanya. Umbu adalah lelaki
sederhana yang gigih merasukkan sukma puisi kepada para remaja. Dia senang
menyemai benih-benih puisi di kalangan remaja yang mana mereka tidak harus
menjadi penyair. Baginya, puisi adalah kehidupan. Kehidupan adalah puisi. Umbu
sama sekali tak berniat mencetak barisan penyair. Sebab, menurutnya, seseorang
menjadi penyair adalah pilihan hidup atau panggilan jiwa, bukan hasil cetakan.
Dan hingga kini, Taufik Ismail senantiasa mengiming-imingi
saya untuk ke Sumba. Dan, Umbu selalu menanamkan kegairahan mencipta sajak-sajak
indah tatkala menginjakkan kaki di Sumba.
Sabana tandus / mainkan
laguku / harum nafas bunda / seorang gembala berpacu (Sabana – Umbu Landu Paranggi)
Tiba-tiba, kelana pikiran saya berujung pada kehadiran
seorang dia. Berkerudung ungu dibalut jaket putih semu abu-abu. Sebuah senyum
merekah di antara pipi tembem yang merona merah. Ah, biasa saja sebenarnya. Sudah
terlalu lama saya menunggu dia. Kami pun lekas menuju sebuah kafe di sebuah
pojok Jogja menemui seorang kawan lain yang juga daritadi menunggu. Kami
bertiga akan merangkai sajak perjalanan Kembara Nusa Tenggara.
Peta NTT. Tujuan Kembara Nusa Tenggara. www.lipsus.kompas.com |
Bersamanya Memetik I,
N, D, O, N, E, S, I, A
Mulanya
saya berkelana ke segala penjuru Indonesia ingin tak terkekang. Bebas
menggelandang akan dijalankan. Siapa saja tak masalah menjadi kawan
berpetualang. Tak masalah juga untuk sendiri berjalan-jalan. Pada intinya,
siapapun, bagaimanapun atau apapun bukan menjadi soal untuk menjalankan misi
pribadi saya: “Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A”
Hanya, soalnya adalah mengapa Memetik I, N, D, O, N, E, S,
I, A.
“Dan mencintai tanah air Indonesia dapat
ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat ... “
Soe Hok Gie.
Itulah
alasan saya mesti mendatangi daerah-daerah di Indonesia, bahkan sampai
pelosok-pelosoknya. Saya mesti membuktikan apa yang dikatakan Multatuli sejak
abad-abad silam dalam Max Havelaar (1860) bahwa “Kepulauan Nusantara sebagai
deretan kepulauan di khatulistiwa yang teruntai laksana zamrud”. Mengenal lebih
dekat, lebih intim dengan rakyat, alam, budaya, dan sejarah Indonesia tentu
lebih meyakinkan saya tentang Indonesia. Lebih tepatnya, tentang meyakinkan
saya mengapa mesti mencintai tanah air saya: Indonesia.
Saya
ingin mencintai Indonesia tidak dari sekedar tahu dari namanya: INDONESIA.
Namun bisa memetiknya dari tiap kata I, N, D, O, N, E, S, I, A. Memetiknya langsung
dari realitas-realitasnya. Membujur dari Sabang sampai Merauke. Melintang dari
Miangas sampai Rote. Seperti Jalaluddin Rumi pada The Masnavi mempertanyakan
dalam syair “Do names not tell of a
reality? Can rose grow from R, O, S, and E?” Tidakkah nama menunjukkan
realitasnya? Seperti mawar yang tumbuh dari M, A, W, A, R? Nama hanyalah
sekadar nama, tak bermakna, jika tidak tahu realitas yang sesungguhnya.
Kalau
sekedar nama, Indonesia hari ini seperti apa yang tersaji di media. Ah, begitu
menjemukan dan membiaskan. Mayoritas adalah segala ingar bingar manusia di
ibukota. Bukan tentang kebaikan (kalau ada pun itu sedikit). Tapi keburukan,
kejahatan, dan kerakusan para manusia. Itulah yang menjadi santapan masyarakat sehari-hari.
Bukankah adagium media, “Bad News is Good News”? Saya skeptis pada media.
Skeptis tidak berarti membenci, tapi tidak berarti sepenuhnya menyetujui.
Kabar
baik dan indah tentang Indonesia pun mulai saya cari. Bukan di media tapinya.
Saya mulai mencarinya dengan berkeliling Jogja. Panorama alam, budaya serta
kehangatan masyarakat sebegitu mudahnya dinikmati di Yogyakarta. Merapi,
Malioboro, Keraton, Boko, hingga Hutan Adat Wonosadi serta pantai-pantai elok
di Gunungkidul. Di Jawa Tengah, saya bisa temukan ‘indigenousity” Dieng dengan
anak gimbalnya, melengkapi pesona budaya dan alamnya. Dari ujung Barat hingga
ujung timur Jawa, pun sudah saya jelajahi untuk menemukan cerita-cerita
inspiratif di Baduy sampai Banyuwangi.
Bagaimana
luar Jawa? Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A seutuhnya masih memerlukan
perjuangan panjang. 34 provinsi di Indonesia begitu banyak. Apalagi ada 1.128 suku bangsa yang
tinggal hingga pelosok-pelosok. Atau, 13.487 pulau di seluruh Indonesia yang rasanya
tak mungkin dikunjungi semua. Namun, bukankah saya mesti memulainya dari satu
langkah. Lao Tzu bilang
“Perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama”
Pantai Tamban di Pulau Bangka. @iqbal_kautsar |
Memetik
I, N, D, O, N, E, S, I, A di luar Jawa, saya awali pada dua bulan Kuliah Kerja
Nyata di Sumatera Barat. Cakrawala saya tentang kehidupan Minang terbuka. Saya
bisa menikmati masakan terlezat di dunia, rendang, sambil memaknai kehidupan
matrilineal Minang. Seminggu penuh di Lombok Nusa Tenggara Barat, saya bersama
kawan menelisik keindahan alam Pulau Seribu Masjid sembari menelusuri kehidupan
Suku Sasak. Di Pulau Bangka, saya ber-solo
travelling menikmati batuan granit eksotis di tepian pantai sambil
menangkap ironi tambang timah di daratan dan lepas lautan.
Hingga,
sebuah sore di Teluk Kendari. Kami, saya dan seorang dia, duduk di tepian laut.
Bersantai menuju malam sembari beristirahat selepas bekerja seharian. Saat itu,
kami sedang bersama mengerjakan proyek di Sulawesi Tenggara.
“Suka jalan-jalan juga yah?” kataku menghangatkan
percakapan. “Iya, tapi tak jauh-jauh. Asalkan bisa menikmati senja” seraya dia
memandang lepas lautan yang mulai menghitam.
Ah, sekedar sebuah percakapan biasa saja. Tak ada yang
istimewa. Sekedar partner pekerjaan. Esok harinya, pesawat Garuda Indonesia
membawa kami pulang ke Yogyakarta transit di Jakarta. Sama juga seperti pesawat
yang memberangkatkan ke Kendari untuk merintis cerita.
Dua bulan kemudian. Saya dan seorang dia hadir di Makassar.
Kembali bersama dalam satu tim melaksanakan proyek di Sulawesi Selatan. Sebuah
sore yang sangat indah, dia mengajak ke Pantai Losari. Katanya, demi menemani
melihat sunset sempurna hingga
tertelan Selat Makassar. Begitu romantis kalau kami sepasang kekasih. Sayangnya
bukan. Saya sekedar sebagai kawan yang dia percayai untuk berbagi kegalauan
saat senja.
Sunset 'romantis' di Pantai Losari, Makassar. @iqbal_kautsar |
Akhir
pekerjaan di Makassar, tim kami memutuskan berwisata ke Toraja. Ah, begitu
senangnya saya. Ini kesempatan untuk bertakzim pada Tana Toraja, sebuah kawasan
yang penuh pesona alam dan budaya di jantung Sulawesi. Tempat yang dikenal
sebagai wisata orang mati ini sampai dianggap Patricia Schultz (2000) dalam
bukunya, sebagai salah satu dari 1000 tempat yang harus dikunjungi sebelum
mati. Toraja pun makin mendekatkan kami. Hingga kedekatan kami berlanjut di
pesawat Garuda Indonesia Makassar-Jakarta-Jogja. Saya dan seorang dia duduk
bersebelahan kursi.
Namun,
kedekatan kami terjalin dalam satu ikatan, setengah tahun berikutnya. Pada
sebuah pagi, akhirnya kami memutuskan saling memahami lebih dekat. Pepatah Jawa
bilang “witing tresna jalaran saka kulina”. Seseorang suka sesuatu/seseorang
karena terbiasa.
Bagi saya sepertinya “witing
tresna jalaran saka kelana” lebih tepat. Kami sering berkelana bersama
untuk menyegarkan pikiran, memaknai alam dan masyarakat sekaligus mendekatkan
diri kami. Ah, tapi dia tak mau kalah. “Witing
tresna jalaran saka senja”. Mentang-mentang seorang dia adalah penikmat
senja.
Kini, memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A seperti ada suntikan
inspirasi baru. Seorang dia ingin saya libatkan menjadi rekan berpetualang
menjelajahi Indonesia. Bukankah lebih indah tatkala bisa mengajak orang tersayang
ikut memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A, tanah air yang saya cintai? Bukankah lebih indah tatkala dia ikut memiliki
misi mencintai tanah airnya, seperti yang saya punyai? Bukannya saya
memaksakan. Nyatanya dia juga ingin menjelajahi pesona Indonesia dalam
ensiklopedi hidupnya. Tulus menemani. Sebuah kesamaan passion dan cita-cita.
Kembara
Nusa Tenggara pun kami rencanakan menjadi pembuka petualangan bersama memetik
I, N, D, O, N, E, S, I, A. Nusa Tenggara Timur dipilih karena setiap jengkalnya
menawarkan cerita yang romantis antara manusia dengan alamnya awet sejak
berabad silam. Masih banyak dijumpai khasanah tradisi asli masyarakat. Pada
alamnya, berserakan panorama yang bergantian savana, gunung api, hutan lebat yang
dikelilingi lautan membiru. Sebuah permulaan cerita kami yang kedengarannya romantis
nan eksotis.
Festival Pasola Sumba. www.photoblog.nbcnews.com |
Dan
Sumba adalah puncak segala pengembaraan kami di Nusa Tenggara. Kami berencana
hadir pada Pasola 7 Maret 2013 di Wainyapu, Sumba Barat. Kami ingin menjadi saksi
tradisi khas Sumba yang telah menggaung ke seluruh dunia. Menyaksikan
‘perang-perangan’ dua kelompok berkuda. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari
100 pemuda bersenjakan tombak yang ujungnya dibiarkan tumpul. Pasola untuk
memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik.
Orang bilang ada
kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga. Yang bisa timbul pada samudera,
pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. (Pramoedya Ananta Toer)
Sumba, (Masih) Sebuah
Cita Cinta
Tapi...
Penghujung akhir Januari, sebuah kisah muram terjadi.
Bukanlah sebuah cinta yang berakhir di bulan Januari, seperti lagu Glen Fredly.
Bukan pula kesedihan karena ditinggal Januari yang berarti memasuki Februari.
Peristiwa akhir Januari memaksa kami membatalkan Kembara Nusa Tenggara. Apa
gerangan? Maskapai penerbangan yang akan kami gunakan harus menutup usaha
karena pailit. Kecewa. Sebuah lara yang tajam menghujam.
Itu
artinya kami mesti menunda untuk memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A di Nusa
Tenggara Timur. Tertundalah petualangan loncat pulau. Timor – Flores – Sumba.
Dan, kami masih menabung rindu untuk Sumba. Menyimpan kangen pada Pasola..
Tanah rumput, topi
rumput dan jerami bekas rumput / Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan
gembala / Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut / Dan angin zat
asam panas dikipas dari sana
Sebait lagi puisi “Berilah Daku
Sumba”. Ah, benar-benar terus terngiang di telinga hingga saat ini. Terekam jelas
di lipatan-lipatan memori. Saya masih ingat baris-baris indah puisi itu
menemani saya menyusun rencana petualangan ke Sumba. Ringkik kuda dan teriakan
gembala begitu kentara saat mengiringi pencarian informasi di pulau yang dikenal
sebagai Pulau Sandelwood ini.
Sumba ternyata bukan sekadar padang sabana dan ringkikan
kuda sandel. Oleh para arkeolog, Pulau Sumba juga disebut sebagai “the living megalithik culture”. Di pulau yang luas wilayahnya 10.710 km²,
budaya megalitik terus hidup dari 4.500 tahun yang silam. Masih lestari hingga
sekarang. Kuburan megalitik mudah ditemukan di halaman rumah warga maupun di
setiap perkampungan adat. Bagi orang Sumba, kubur megalitik merupakan lambang
kebanggaan atau kebangsawanan.
Kampung-kampung di Sumba dengan rumah adat khasnya. http://fredyguty.files.wordpress.com |
Kampung Lai Tarung rencananya merupakan salah satu yang akan
kami kunjungi di Sumba. Kampung adat tua di Sumba Barat ini menyediakan batu kubur
megalitik yang telah ada dari berabad-abad lalu. Tak kalah eksotisnya, adalah
adanya rumah yang berbentuk atap menara dengan tutupan ilalang. Seperti itulah
wujud rumah tradisional khas Sumba. Imajinasi kami berada di dalamnya. Membaur
sehari bersama warga kampung. Belajar tentang kearifan budaya setempat. Ah,
setidaknya kami bisa menyicil imajinasi.
Pesona Sumba juga hadir pada pantai-pantai pasir putihnya. Sumba
adalah surga pasir putih, tak kalah dengan Bali Pulau Dewata. Merata di pesisir
Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, hingga Sumba Timur,
pantai-pantainya memanjakan mata.
Apalagi hadir saat peralihan hari, fajar atau senja. Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit
dari laut. Dan juga terbenam. Pantai
Marosi, Pantai Etreat, Pantai Nihiwatu di Sumba Barat menjadi beberapa pantai
yang akan kami kunjungi. Begitu indah rasanya bisa menari-nari berkejaran di atas pasir putih di kolong
langit biru. Selain itu untuk menikmati
panas Sumba. Bukankah di pantainya, panas khas Sumba bisa mencapai derajat
tertingginya? Tak masalah kami gosong. Sudah layak menjadi oleh-oleh kenangan
di Sumba.
Baiklah.. Begitulah. Seperti itulah yang membuat kami mendamba Sumba.
Tapi, tulisan di atas masih sekedar di atas kertas. Sekedar
secuil narasi rencana perjalanan di Sumba. Masih menunggu untuk terwujud.
Demi
menolak lupa, sampai sekarang kami terus setia merawat mimpi untuk menginjakkan
kaki di Sumba. Kami masih menumbuhkan asa bahwa kami bisa hadir di tengah
savana. Bisa bermain bersama kuda dan para penunggang kudanya. Bisa
berinteraksi dengan warga di halaman depan rumah-rumah khas. Bisa tertawa
bersama anak-anak lugu dan lucu. Bisa tahu cara menenun kain ikat khas Sumba.
Bisa menyaksikan kubur megalitikum. Bisa belajar budaya Sumba, Bisa menikmati
khasanah panorama alam. Bisa berlarian di atas pantai berpasir seputih permata.
Dan, bisa menjadi saksi tradisi Pasola.
Maka, beri daku Sumba, beri dia Sumba. Beri kami Sumba! Ya
Allah, semoga secepatnya. Begitulah sebuah doa kami agar dengan penuh cinta
bisa memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A di Sumba. Serta, tak tertunda lagi. gar kami tidak kehabisan asa untuk Sumba.
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan (Melodia – Umbu Landu Paranggi)
Itulah juga kenapa kami bersabar demi Sumba.
Peta Sumba. Menabung rindu ke sini. http://dians999.files.wordpress.com |
0 komentar