Menjemput Misty Sunrise Puncak Suroloyo
Maret 05, 2013Sunrise of Suroloyo Peak. @iqbal_kautsar |
Setitik terang yang redup telah muncul di ufuk timur. Padahal rembulan masih menampakkan wajahnya yang syahdu. Tapi, sang kabut menelannya buru-buru. Serta, menelan motor yang kami pacu. Kini, jejalanan naik. Menanjak tiada ampun. Kelebatan hutan bergantian dengan noktah-noktah pemukiman. Sunyi dan lengang.
Untung, desir suara serangga dari rimbun pepohonan mengusir kesepian perjalanan kami selepas shubuh. Suhu dingin khas pegunungan tiada hentinya menyapu badan kami yang rapuh. Hingga kami berhenti di tempat parkir Suroloyo, Dusun Keceme, Gerbosari, Kec. Samigaluh, Kulon Progo, DIY.
Petualangan belum berakhir. Masih berlanjut malah makin menantang. 286 anak tangga mesti kami tempuh demi membawa diri ke puncak. Belum sampai 50 anak tangga, kami ngos-ngosan. Kemiringan tangga memang kejam. Hingga 60 derajat. Dan, juga kami tak sempat beradaptasi pada ketinggian. Serba tergesa-gesa untuk menjemput mentari terbit di Puncak Suroloyo. Kami pun mendesah nafas tiada beraturan.
Puncak Suroloyo ternyata sudah ramai dengan kehadiran anak-anak manusia. Kami kalah pagi. Untung saja kabut putih tidak turut meramaikan puncak Suroloyo. Kalau tidak, lekukan lanskap di kaki perbukitan dan empat gunung di seberang pandang hanya sekedar putih nan membosankan.
Ah, betapa indahnya sekarang. Berada di puncak tanpa selimut kabut. Sayangnya, langit tak begitu sempurna pagi itu. Awan menghijab seluruh penjuru. Namun, tetap saja saya bersyukur. Dari ketinggian 1.091 meter, titik tertinggi pegunungan Menoreh, hamparan daratan Borobudur dan Magelang begitu jelas. Dan eksotis. Karena kabut tipis berada rendah di atas daratan itu. Menyelubungi rumah, sawah, bukit rendah, dan Candi Borobudur, mahakarya Mataram Kuno abad 9 yang menjadi keajaiban dunia.
Akhirnya, yang dinantikan pun datang. Sesosok bulat merah muncul dari balik perbukitan. Itulah mentari yang molek nan rupawan. Sinar pertamanya menyala laksana ingin membakar sepenggal pagi. Hanya saja sekarang bulan Maret. Mentari tak muncul dari titik paling memesona. Yakni, di antara belahan dua gunung Merapi dan Merbabu. Dan pagi itu, kedua gunung kembar di timur seberang pandang Puncak Suroloyo sepertinya masih nyenyak tidur dalam selimut kabut. Tidak kelihatan. Tidak menampakkan kegaharannya.
Baiklah, saya memilih menghirup udara yang begitu sejuk. Pas untuk membersihkan paru-paru yang terkontaminasi polusi udara kota Jogja. Saya duduk tenang. Sesekali memejam. Ah, saya seperti terlempar pada sosok Raden Mas Rangsang. Saya terangsang untuk menapaki jejak orang yang dikemudian hari bergelar sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo. Seorang Raja Mataram paling agung yang bercita-cita menguasai Tanah Jawa.
Di Puncak Suroloyo inilah Sultan Agung Hanyokrokusumo bertapa untuk menjalankan wangsit yang datang padanya. Dalam Serat Cebolek karya Ngabehi Yosodipuro yang ditulis pada abad 18, Sultan Agung mendapat dua wangsit, pertama bahwa ia akan menjadi penguasa Tanah Jawa sehingga mendorongnya berjalan ke arah barat Kotagede hingga sampai di Pegunungan Menoreh. Kedua, bahwa ia harus melakukan tapa kesatrian agar bisa menjadi penguasa.
Kelana imajinasi sejarah saya berakhir pada pandangan jauh ke arah Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Saya mendamba sang kabut lekas enyah dari seberang pandang utara. Tentu begitu jelita kala kedua gunung itu terlihat dengan berkakikan hamparan daratan berkabut rendah.
Tapi apa yang dinanti tak kunjung datang. Sang surya telah meninggi. Cahayanya mengusir nuansa mistis pemandangan di tempat yang sarat mitos sebagai kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa. Masyarakat Jawa percaya Suroloyo adalah pertemuan dua garis yang ditarik dari utara ke selatan dan dari arah barat ke timur Pulau Jawa. Kami pun memutuskan turun. Pulang lagi ke Jogja, mengarungi jejalanan aspal sejauh 50 km.
Pengalaman bertakzim ke Puncak Suroloyo adalah untuk yang kesekian kalinya bagi saya. Tapi, tiada bosannya. Dan, baru perjalanan kali ini saya bisa mendapatkan sunrise di Puncak Suroloyo. Sebelumnya? Saya hanya mendapati sebuah puncak yang dikerumuni oleh kabut putih yang tebal di pagi hari. Berkali-kali dan berulang-ulang. Pegunungan Menoreh memang terkenal sebagai kawasan berkabut. Mistis.
Tak terasa. Kami sudah sampai di Banjaroya, Kalibawang. Bau durian menguar dari mana-mana. Inilah sentra durian Menoreh, terbaik di Jogja. Ingin mampir. Sarapan pagi dengan durian. Tapi, Lingga, rekan saya bukanlah penikmat si raja buah berduri ini. “Saya bisa ‘tewas’ karena makan durian, huweeeeeek” katanya. Ah, padahal durian bagi saya adalah semacam buah surga, nikmat tiada terkira. Motor pun lekas meninggalkan Banjaroya. Jalanan kini datar dan lebar. Lancar.
1 komentar
Sepertinya asik ni kesana, sambil mampir kesini
BalasHapusCurung Kembang Soko