Tana Toraja (Bagian I), Nirwana Alam dan Budaya di Jantung Sulawesi
Januari 21, 2013Tana Toraja, Pesona di Jantung Sulawesi. @iqbal_kautsar |
Malam baru saja menjelma pagi. Langit berselimut mendung.
Sesekali kabut melintas menghijab puncak-puncak bukit. Tanah masih basah bekas
hujan sepanjang malam. Hawa dingin setia bersarang. Sepertinya sebuah pagi yang
pucat dan muram di Tana Toraja.
“Ini lagi musimnya setiap hari di Toraja turun hujan. Semoga
kita beruntung mendapatkan hari yang cerah.” Sebuah harapan optimis keluar dari
Basho, pria yang menjadi guide saya di Toraja. Cukup menentramkan bagi saya
yang terbatas satu hari berkeliling Toraja.
Tentu saya tak ingin hadir ke Toraja dalam kesia-siaan. Para
traveller menyebut Tana Toraja adalah sebuah daerah wisata yang istimewa di
Indonesia bahkan di dunia. Patricia Schultz (2000) dalam bukunya, menempatkan
Tana Toraja sebagai 1000 tempat yang harus dikunjungi sebelum mati. Tana Toraja
memiliki kekhasan budaya yang harmonis dengan alam yang memesona. Bagi orang
yang pernah mengunjunginya, eksotikanya tiada tara di dunia.
Terance W. Bigalke dalam A History of Tana Toraja (1981)
menyatakan bahwa Tana Toraja sebagai museum hidup sebuah kultur tradisional
yang lestari berabad-abad. Suku Toraja merupakan suku yang masih memegang teguh
budaya khas Austronesia yang asli. Di Tana Toraja, kita bisa menjumpai rumah
khas, pekuburan batu, goa, dan pohon, upacara adat yang berlangsung sejak masa
leluhur mereka berabad-abad silam.
Secara sosial, dalam Tana Toraja: a social history of an
Indonesian people (2005) juga karya Terance W. Bigalke, disebutkan Toraja dapat
menjadi contoh sebuah tradisi leluhur berakulturasi dan selaras dengan agama.
Mayoritas masyarakat Toraja memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik,
tetapi setiap upacara tetap harus melandaskan pada ajaran leluhur. Inilah yang
disebut sebagai ‘aluk’ yakni adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan
ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya.
Menjelang keluar dari penginapan di Rantepao, ibukota Toraja
Utara, kekhawatiran saya terbukti. Rintik gerimis jatuh membasahi bumi Toraja.
Namun. “Ayo buruan berangkat, biar kita bisa menemukan upacara Rambu Solo.”
ajak Basho. Pria ini memang terlihat selalu semangat meski usianya sudah
setengah abad. Kekhawatiran saya pun tiba-tiba pudar oleh ajakan Basho yang
bersemangat.
Mesin dinyalakan. Mobil mulai berjalan. Petualangan di Tana
Toraja dimulai. Kami menembus gerimis yang sepertinya akan awet. Seawet saya
memandangi kanan kiri perjalanan menuju bagian selatan Toraja ke Makale.
Pegunungan hijau dengan sawah menguning di kaki-kakinya menyambut sebuah garis
perjalanan saya di Toraja.
|| Selanjutnya cerita petualangan saya di Tana Toraja ada di bagian dua --> Tana Toraja (Bagian II), Rambu Solo yang Terlewatkan
Sawah Toraja.. Mulai menguning. |
Pagi diselimuti kabut dan mendung. Khas Toraja selepas hujan. |
Bunga sepatu di kolong langit Toraja yang mendung. @iqbal_kautsar
|
0 komentar