Pantai Sadranan Gunungkidul, Tatkala Sunyi Tinggal Memori
Januari 06, 2013Seorang wanita paruh baya menghampiri dengan senyum ramahnya. Anak kecilnya turut serta mengikuti seakan tak mau ditinggal emaknya. “Mas, mau pakai payung?” Seraya tangannya mengarahkan ke payung miliknya. Saya cukup terpana ketika melihat deretan payung memanjang, mengisi sebagian tepian Pantai Sadranan. Hanya satu yang masih terisi. Sepasang muda-mudi yang sedang sibuk dengan foto narsisnya sambil saling mendekatkan wajah dan badannya.
“Oh, gak Bu. Terima kasih” saya sopan membalas.
Transformasi besar telah terjadi di Pantai Sadranan. Pantai Sadranan sudah jauh berubah dari stigma pantai yang sunyi. Kini ia menjadi pantai yang riuh dengan eksistensi para pelancong dari berbagai daerah.
Hari itu, di penghujung pagi menuju siang, Pantai Sadranan sudah ramai dipenuhi belasan anak muda. Ada juga beberapa keluarga beserta anaknya bersantai penuh canda di pantai yang letaknya diapit Pantai Krakal dan Pantai Sundak, Gunungkidul.
Namun, itu hanya sebentar. Pengunjung semakin banyak. Semakin mendesak ke tengah. Di pantai, para wisatawan jelas butuh ruang-ruang yang tak berbatas ke lautan lepas. Mereka butuh untuk sekedar memandang lautan. Bisa juga butuh untuk ‘ruang’ mandi, berenang di pantai. Paling penting, butuh ruang yang lapang untuk menjadi background kenarsisan mereka di depan kamera.
Ah, saya tidak terlalu nyaman dengan keramaian ini yang makin menjadi-menjadi. Saya buru-buru ingin enyah dari tempat ini. Tapi, tunggu!
Tiba-tiba, saya tertarik dengan perangai beberapa gadis seusia SMA-an. Mereka tampaknya sedang menghabiskan liburan sekolahnya. Entah karena saking tersihir dengan mantra kamera, mereka berfoto narsis menggunakan kamera DSLR berlensa standar yang dipegang salah satu dari mereka. Pasti itu perkara susah, karena lebar lensa sepertinya tak bisa menampung mereka. Mereka berdesak-desakan berebut agar bisa masuk dalam jangkauan frame. Sungguh lucu nan geli.
“Kok tidak meminta saya saja menjepret mereka.” pikir saya dalam hati setengah menunggu harap. Padahal jarak saya dan mereka tidak sampai semeter. Baiklah. Mereka sudah asyik dengan keabsurdan ruang kecil mereka. Saya hanya senyum sendiri sembari mencuri pandang atas perangai mereka.
“Owalah, dasar anak-anak yang lagi seneng-senengnya foto-foto di depan kamera. Apalagi pake DSLR.” kata Handa, teman saya berkomentar.
Tiga tahun lalu, tengah Januari 2010, saya berkunjung ke Pantai Sadranan pertama kali. Pantai itu saya datangi karena saya sedang mencari pantai-pantai yang tidak mainstream di Gunungkidul. Khususnya di kawasan Baron-Kukup-Krakal-Sundak. Saya sudah bosan dengan pantai-pantai yang telah terkenal di media.
Saya bisa menemukan Sadranan karena ada plang reot bertuliskan “Sadranan Beach Love” di pertigaan sebelum pantai Sundak. Melihat namanya romantis, libido keingintahuan saya terangsang.
Pertama kali menginjakkan kaki di Pantai Sadranan, saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Le coupe de foudre pada Pantai Sadranan. Saat itu, akhir pekan tak membuat pantai ini terjamah. Tak ada bekas jejak di hamparan pasir putihnya. Bersih. Tak ada juga bekas rumput laut yang terdampar di pantai. Benar-benar bersih.
Saya pun mulai melangkah di atas pasir. Menari-nari di atasnya. Adalah kebanggaan pribadi, menjadi makhluk pertama yang menjejakan tapak kaki di Pantai Sadranan hari itu. Seorang kawan yang menemani adalah orang kedua. Saya minta dia untuk berjalan agak di belakang saya. Seolah-olah, saya tak ingin dia mendahuluiku menikmati pesta sunyi di sebuah pantai yang belum terjamah.
Tak sabar rasanya untuk mengeksplorasi seluruh Pantai Sadranan. Serasa ingin menjamah semua keperawanannya. Menelanjangi setiap lekuk tubuh indahnya. Saya berlari mendekat ke arah pulau. Kokoh di seberang pandang sana. Pulau karang ini tegar bertahan, menutup pandangan ke samudera. Sepertinya ia setia menjaga Pantai Sadranan. Setia pula ia menemani kesunyian Pantai Sadranan sepanjang masa. Meski ombak senantiasa menerjangnya, ia tak goyah. Dan berusaha tak pernah goyah.
Pantai Sadranan benar-benar milik kami berdua. Ah benar-benar romantis, andaikan kami sepasang muda-mudi. Sadranan Beach Love! Sayangnya keromantisan itu ternyata milik dua pasang turis asing. Empat orang bule adalah pengunjung berikutnya setelah kami. Langsung saja mereka menceburkan diri ke laut. Tentunya, dengan pakaian minim mereka.
Mengapa bukan wisatawan lokal? Itulah yang kami tanyakan kepada Pak Sugeng, pria tua renta seusia 70 tahunan, penjaga parkir sekaligus penduduk penghuni di Pantai Sadranan. “Turis asing itu menginap di resor puncak bukit. Mereka suka pantai yang sepi. Wisatawan lokal lebih suka di Pantai Krakal dan Sundak yang ramai. “ungkap Sugeng, sambil berbatuk-batuk.
Sembari membersihkan pasir di celana yang menempel erat, saya bangkit beranjak. Tiga tahun lewat, dimana sekarang kesunyian itu? Ah, itu kan sudah tiga tahun lalu. Sudahlah, biar menjadi memori masa lalu.
Lalu, di manakah Pak Sugeng sekarang? Tak kelihatan lagi dia di tempat parkir. Petugas parkir sudah berganti menjadi beberapa orang. Usianya lebih muda. Masih sumringah. Mereka adalah penduduk-penduduk pesisir Gunungkidul. Bekas rumah kecilnya sudah berganti menjadi warung kelontong. Dalam hati saya berucap, “Mungkin Pak Sugeng sudah istirahat, sudah sepuh.”
“Barangkali Pak Sugeng sudah menjadi bos. Kan, Pantai Sadranan udah jauh berkembang, udah lebih komersial.” celetuk Bobby, teman saya bercanda.
Kami ingin sekali dibuai mesra oleh hamparan biru cakrawala dengan awan-awan yang riang berarak di atasnya. Kami ingin disentuh penuh cinta oleh semilir angin pantai, murni tanpa campuran bau-bau manusia.
Kami menaiki bukit di sebelah barat pantai Sadranan. Sebuah bangunan kusam tanpa atap di puncak bukit menjadi tujuan kami. Akhirnya panorama lepas lautan bisa kami dapatkan. Pandangan kami hanya berbatas pada cakrawala di ufuk selatan sana. Tak ada lagi halangan. Angin dari tengah laut dan balik daratan pun kuat menyongsong kami. Yang kami inginkan, di sini kami dapatkan.
Di bawah sana, hamparan pasir putih Pantai Sadranan laksana dibubuhi oleh titik-titik kecil manusia. Seperti juga dipenuhi semut yang menyerbu air tatkala ombak menyerbu daratan, menyerbu gula-gula. Hijau toska keliatan jelas memanjang di samping pasir putih mengiringi persinggungan lautan dengan daratan. Pulau karang di seberang yang kelihatan besar di bawah, dari sini tampak mungil diombang-ambing lautan lapang.
Cobalah saya menengok Pantai Krakal di arah kebalikan Pantai Sadranan. Sepertinya saya menemui kontradiksi. Hamparan pantai Krakal yang lebih panjang, tampak lebih sepi pengunjung. Hanya saja, Krakal lebih ramai dengan bangunan-bangunan yang merentang mengikuti pasir putihnya. Tapi, tak jauh berubah dengan tiga tahun lalu.
Oh, kenapa sekarang berbalik? Pantai Sadranan kini lebih meriah ketimbang Pantai Krakal yang dulunya jauh lebih populer. Popularitas Sadranan telah bergema kencang, menjadikannya menjadi salah satu pantai terfavorit di Gunungkidul.
Surya lepas dari titik tengah hari, kami meninggalkan Pantai Sadranan. Beberapa mobil yang masuk melewati jalan yang sempit dan berkerikil terlihat sabar mengantri, menunggu komando tukang parkir. Parkir seperti tak muat lagi. Di pertigaan, tak ada lagi papan Sadranan Beach Love yang menyimbolkan pantai sepi nan romantis. Sudah diganti dengan tulisan baru Pantai Sadranan. Oke. Bagi saya, romantisme Pantai Sadranan dengan kesunyiannya telah berakhir. Selamat tinggal Pantai Sadranan.
9 komentar
ketok e luwihh apik dibandingke siung yoooo, aku pernah mrono tapi ra patek ngerti posisinya Sadranan, cerak ndi dul?
BalasHapusmas Felix.. ya kalo menurutku sih pantai ini lebih eksotis dari Siung.. haha.. cuma skrg udah rame gitu,.
Hapusposisinya di daerah Krakal - Sundak.. :)
sehat kabare mas?
Terima kasih untuk update-nya, Iqbal... Aku jadi tau kabar sedih dari Sadranan. Tapi aku punya 1 lagi pantai rahasia di dekat sana. di timur Indrayanti, cobalah berjalan kaki ke sana. Stttt... diam2 ya.
BalasHapusOh ya, aku mengikuti sedikit dari perjalananmu ke daerah timur di twitter. I love to see you this way. Travelling passionately. Keep searching!
Mbak Re.. makasih udah dikomenin juga.. :) smoga bermanfaat infonya ini.. kayaknya pante ini istimewa yah buatmu mbak? haha..
Hapuspantai di timur indrayanti tuh pantai watulawang to mbak? kayaknya udah pernah mampir k sana.. hehe.. wah mbak Re suka petualangan di pante gunungkidul yah.. manteeep.
siiip mbak.. kayaknya juga traveling juga hobi mbak Re,.. Juooossss.. dolan ke indonesia timur mbak.. manteeep2.. hehe.. :)
Oh ya, aku pernah nulis ttg pantai2 itu juga. Monggo mampir. http://aureliaclaresta.wordpress.com/2010/06/15/wisata-jogja-2-pantai-pantai-berpasir-kuning/
BalasHapusSiaaaap mbak.. wah tulisannya menarik mbak.. 'pantai2 yg virgin'.. hehe.. blog mbak Re rutin nih postingnya.. pingine aku juga gitu mbak.. hehe.. :)
Hapuskalo aku tahun 2011 pas ke indrayanti masih sepi banget mas. dalam setahun, pengunjung & penjualnya sekarang menjamur. untung sadranan belum serame indrayanti :)
BalasHapusAna.. wisata pantai gunungkidul smakin menggeliat emang.. trutama di area Baron-Pok Tunggal.. konsekuensiny ya rame jadiny.. hehe.. sadranan kayakny sdang menuju kayak indrayanti.. harus makin ke timur klo nyari pante2 yg sepi.. hehe
Hapussudah pernah ke pantai njungwok mz? masih sepi juga dan sebelahny ada pantai greweng yg blm terjamah.
BalasHapus