Baluran National Park, Jawa Cita Rasa Afrika
November 16, 2012“Itu merak!” saya berteriak. “Merak jantan!”
Suara itu memecah kesyahduan senja menuju malam di savana Baluran. Suara itu pulalah membuat si merak terusik berat. Tadinya ia tenang berjalan di sela rerumputan. Kali ini ia percepat langkah menjauh dari jangkauanku. Bergegas mencari tempat aman.
Saya tak menyerah. Semakin ia berusaha menjauh, saya percepat langkah untuk mendekat. Saya tahu ia malu dengan kehadiranku. Atau bisa jadi ia sedang jual mahal padaku. Apapun yang ada di benak si merak, saya tak pedulikan. Saya hanya ingin melihatnya dari dekat. Memandanginya seksama dari jarak yang mana saya bisa secara sempurna menikmati setiap lekukan tubuh moleknya.
Namun itu utopia!
Rupanya dia tahu bahwa saya mendekatinya penuh nafsu. Dia pasti terancam dengan perangai seperti itu. Dia akhirnya memilih menjauh dariku sejauh-jauhnya dimana saya tak bisa mendekatinya lagi. Dia memutuskan terbang. Mungkin anggapnya dengan pergi, akan membuat saya kecewa berat. Tapi dia salah!
Saya suka dan cinta dia terbang. Seekor merak jantan terbang melintas savana adalah sebuah panorama surgawi. Ekornya yang panjang menciptakan eksotika yang khas dari seekor merak. Ia layaknya primadona yang bercahaya di tengah suramnya sebuah savana kering.
Saya takjub. Sempat beberapa waktu badanku terpaku tak bergerak. Hanya sepasang bola mataku yang bisa bergerak mengikuti kemana sang primadona terbang. Hingga akhirnya dia menyelinap masuk ke tengah rimbunnya hutan akasia. Kini dia tak terlihat lagi. Dia telah diselimuti hangat oleh pepohonan menuju peraduannya di malam hari.
Tiba-tiba, terdengar suatu teriakan. Samar-samar seperti suara rusa. Samar-samar juga seperti suara manusia yang heboh menyaksikan rusa. Ternyata dia adalah kawanku yang sedang berteriak memanggilku. Saya bergegas menuju sumber suara. Dan, memang benar, ada dua ekor rusa yang hendak minum di sebuah kolam. Kolam itu buatan pengelola taman nasional untuk menyediakan minum para satwa di Baluran.
Namun, saya tak terlalu bergairah pada rusa-rusa Baluran. Anggapku, rusa lebih mudah ditemui dan tidak jual mahal kepada orang-orang yang ingin bertemu dengannya. Menemuinya bukanlah sensasi yang luar biasa. Maka, pertunjukkan rusa Baluran saya lewatkan begitu saja.
Saya berjalan kembali ke Wisma Banteng Bekol. Di beranda, tampak beberapa kawan duduk bersantai mengantarkan senja. Mereka sedang masyhuk bercanda tawa. Sungguh sebuah pemandangan yang menggembirakan.
Kawan-kawan saya ini baru tadi pagi saling mengenal. Entah kebetulan atau bukan, mereka dipertemukan dalam petualangan ke Baluran. Masing-masing berasal dari latar belakang yang beragam: mahasiswa, karyawan, calon karyawan ataupun mantan mahasiswa. Meski berbeda tetapi semua punya kesamaan tujuan, yakni menaklukkan Baluran. Hingga petang ini, Baluran sepertinya berhasil merekatkan serpihan-serpihan persahabatan yang potensial.
Perlahan saya menaiki tiga tangga beranda wisma. Saya ikut membaur dengan obrolan hangat kawan-kawan saya. Badan sudah terasa lelah. Ingin rasanya duduk meletakkan badan di lantai kayu wisma. Di tepian tangga akhirnya pantatku mencumbu lantai. Sembari punggungku kusandarkan pada dinding kayu berwarna coklat. Nikmat.
“Hoi, ada banteng di savana”, teriak Ardani seraya menunjuk ke salah satu sudut savana.
“Banteng kah itu?” saya meragu.
Salah satu kolam buatan di tengah savana. Tampak siang hari. @iqbal_kautsar |
Kegelapan memang sempurna membiaskan penglihatan manusia yang terbatas. Sorot senter akhirnya menjawab keraguanku. Mereka ternyata adalah sekawanan kerbau liar. Mereka baru saja keluar dari rerimbunan hutan akasia. Berjalan menuju savana. Sepertinya ihwal mereka adalah demi mendapatkan air.
Kolam buatan di tengah savana menjadi tujuan mereka keluar hutan. Puncak musim kering menjadikan satwa-satwa susah mendapatkan air sehingga kolam-kolam rekayasa manusia menjadi favorit mereka.
Memang kami tak dapatkan banteng, tetapi kami cukup terhibur dengan pertunjukkan kerbau liar. Setidaknya ada kesamaan umum di antara banteng dan kerbau liar. Sama-sama bertanduk. Hanya banteng memiliki tanduk lebih besar dan eksotis.Kolam buatan di tengah savana menjadi tujuan mereka keluar hutan. Puncak musim kering menjadikan satwa-satwa susah mendapatkan air sehingga kolam-kolam rekayasa manusia menjadi favorit mereka.
Saya berusaha mendekati kerbau liar. Ah, sama saja seperti merak. Mereka lari menjauh. Padahal kini saya tanpa nafsu mendekatinya. Saya hormat padanya. Sekedar saya ingin melihatnya tersenyum menampakkan gigi sembari dia memamerkan tanduknya.
Sekawanan kerbau liar kini telah hilang ditelan kegelapan. Kami pun tak betah sendiri dalam gelap. Telah habis pertunjukkan. Sepertinya sutradara teater savana Baluran telah mengakhiri pertunjukkan satwa petang itu. Merak sudah. Rusa sudah. Kerbau liar sudah. Banteng? Sepertinya sang aktor utama sengaja tak ditampilkan. Barangkali dia tidak sedang berada dalam jadwalnya menghibur pengunjung. Atau bisa jadi sang pemeran utama salah kostum, sehingga dia keluar memakai kostum kerbau liar. Atau bisa jadi ini sekedar absurdisitasku. Sekedar lelucon hiburan untuk memutus pengharapan pertunjukkan banteng.
Kegelapan hitam sempurna menutup tirai panggung savana. Pertunjukkan berpindah ruang di atasnya. Di langit yang cerah. Tampak jutaan bintang bertebaran mewarnai malam. Kerlap-kerlipnya mengagungkan suasana malam. Sesekali bintang berpindah membuang kemonotonan. Kami pun tinggalkan padang savana gelap menuju wisma yang terang.
Terlempar ke Afrika
Serasa berada di Afrika! Vegetasi pepohonan yang meranggas. Savana luas dengan rumput-rumput pendek yang kering. Mentari memancar kuat mencipta terik yang membakar kulit. Cuaca panas yang membuat penghuninya keras berjuang bertahan hidup.
Itulah penampakan khas dari Baluran. Savana luas, pepohonan meranggas, serba kering, serba keras dan serba panas adalah perpaduan yang mengantarkannya identik dengan Afrika. Tak salah, orang menyebut Baluran sebagai Africa van Java.
“Berkunjung pada bulan Oktober dan November tepat sekali untuk mendapatkan nuansa Afrika di Baluran” kata Tri Hari, petugas Taman Nasional Baluran yang berjaga di Visitor Centre Batangan.
Kunjungan kami pada 3-4 November 2012 ke Baluran seolah mendapatkan legitimasinya. Niat kami merasakan sensasi Afrika di Baluran menemukan realisasinya. Sungguh beruntung bisa menikmati Baluran tepat pada puncak musim kemarau.Taman Nasional Baluran berlokasi di ujung timur Pulau Jawa. Tepatnya berada di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. TN Baluran berhadapan langsung dengan Selat Bali dan Selat Madura. Luas TN. Baluran adalah 25.000 Ha yang terbagi dalam zona daratan dan perairan. Secara iklim, Baluran memiliki iklim kering tipe F dalam klasifikasi Schmidt-Ferguson, sehingga memungkinkan terciptanya savana dan vegetasi yang kering selayak Afrika.
Menurut sejarahnya, Baluran ditetapkan menjadi Taman Nasional pada 6 Maret 1980. Namun begitu, jauh lebih lampau kawasan Baluran telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi. “Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi tertua di Indonesia” ungkap Sukadi, petugas TN. Baluran yang sekaligus sebagai sopir di TN. Baluran.
Seperti kembarannya di Afrika, TN. Baluran memiliki keanekaragaman hayati yang kaya. Terdapat sekitar 444 jenis flora yang tergolong ke dalam 87 familia meliputi 24 jenis tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan penghasil obat dan 37 jenis tumbuhan yang hidup pada ekosistem mangrove.
Dari segi kekayaan fauna, terdapat mamalia (28 jenis), aves (155 jenis), pisces dan reptilia. Dari jenis-jenis tersebut, 47 jenis merupakan satwa yang dilindungi undang-undang yaitu insektivora 5 jenis, karnivora 5 jenis, herbivora 4 jenis, burung 32 jenis dan reptilia 1 jenis.
Daya tarik utama fauna di Baluran adalah banteng. Dialah sang maestro Baluran. Selain itu, ada merak hijau, ayam hutan, kijang, rusa, macan tutul, kucing hutan, ajag, kerbau liar, lutung, dan kera ekor panjang yang menjadi hewan eksotik penghuni Baluran. Adapun flora yang cukup dominan adalah akasia, gebang, santigi, ketapang, manting, dan widoro bukol. Tak ketinggalan rumput-rumput rendah yang menghampar luas di padang savana Baluran.
Hari pertama, kami agendakan trekking menyusuri savana dan hutan Baluran. Rute yang kami rencanakan adalah Bekol menuju Kajang lewat Bama. Dari Bekol ke Bama, kami berjalan di tengah savana. Dari Bama, trekking susur pantai menuju Kajang. Setelah itu kembali ke Bekol melalui jalur interpretasi via Kalitopo. Dengan berbekal peta kawasan, kami merencanakan petualangan di alam liar Baluran tanpa pemandu. Kami sengaja berpetualang mandiri untuk mendapatkan kejutan-kejutan tak terduga.
Siang itu sangat panas membakar kulit. Matahari memancar dengan kuat. Namun, inilah momen yang kami nantikan. Inilah cuaca yang diharapkan jauh-jauh ke Baluran demi merasakan semirip mungkin sensasi ala Afrika. Tepat di penghujung setengah hari, kami berangkat dari Bekol menuju Bama. Benar sekali, berjalan di tengah savana Bekol dalam cuaca terik berarti melemparkan kami ke suasana savana Afrika. Dalam perjalanan 2 km pertama menuju Bama, saya tak menemukan tanda-tanda kehidupan satwa. Savana yang begitu lapang, seperti sepi tiada senoktah kehidupan fauna.
Menjelang memasuki areal Bama, vegetasi mulai berubah. Formasi pohon mangrove dan gebang mulai menggantikan savana yang kering. Di sini, kami mulai menemukan geliat kehidupan. Ternyata ada sekumpulan monyet ekor panjang yang sedang berkejaran dari satu pohon ke pohon lain. Perilaku monyet ekor panjang ini cukup menjadi hiburan pada saat kami hampir putus asa tak berjumpa satwa. Ada bahan bakar baru harapan untuk mengeksplorasi hutan Baluran selanjutnya.
Sekarang kami memasuki areal Bama. Ada papan petunjuk ke arah Manting. Di kawasan Manting, konon ada mata air tawar yang sakral di tepi pantai. Mata air ini dikeramatkan oleh orang Osing Banyuwangi. Bagi satwa, mata air itu sering digunakan sebagai tempat minum mereka. Ini jelas kejutan. Tak ada dalam rencana awal penjelajahan. Kami putuskan berbelok kanan menyusuri jalan interpretasi menuju Manting.
Sepanjang perjalanan, kami mendengar bermacam suara kicauan burung. Mereka bersahut-sahutan. Barangkali mereka sedang pamer keindahan kicauan kepada kami. Sayangnya kami tak paham jenis spesies apa saja dari mereka. Kami sekedar penikmat suara. Area Manting merupakan area bird watching. Hutan yang lebat dan tinggi menjadi arena yang pas bagi burung-burung untuk leluasa menari, bernyanyi dan terbang kesana kemari.
Tibalah akhirnya kami di sebuah pantai pasir putih yang dikerumuni hutan mangrove alami. Didekatnya ada sebuah kolam air tawar. Tampak akar-akar mangrove menyembul ke permukaan. Kami melepas penat sejenak. Sembari menikmati birunya laut di tepian. Di kejauhan puluhan ekor monyet ekor panjang malu-malu bergelantungan di dahan-dahan mangrove. Inilah pantai pertama yang kami temui di Baluran. Kami tak tahu nama pantai ini. Yang pasti, pantai ini dekat dengan Manting.
Kami memutuskan beranjak menuju Bama. Meski sepertinya jarak ke mata air Manting sudah dekat, kerongkongan yang tersandera dahaga lebih menjadi prioritas demi menyelamatkan petualangan di Baluran. Sayonara mata air Manting! Kami tak jadi berikram padamu.
Di bawah pohon rindang di Pantai Bama. Sebuah naungan yang menyejukkan. @iqbal_kautsar |
‘Mata air’ Bama lebih menggiurkan dan relevan di tengah terik yang menguras habis keringat. Beberapa di antara kami langsung menyerbu kantin di Bama. Area Bama seperti oase bagi wisatawan TN Baluran karena di sana tersedia fasilitas makanan, minuman, penginapan, mushola, toilet dan sebagainya. Saya memilih berdiam diri di bawah pohon beralaskan pasir putih Pantai Bama. Menyesapi angin lautan Selat Bali yang membelai mesra tubuh yang lelah. Sempat saya takluk pada kantuk. Sampai saya dibangunkan oleh Maria.
“Ayo kita lanjutkan jalannya” Seketika tersadar. Langsung saya kencangkan ikat pinggang. Penjelajahan ke Kajang pun dimulai dari Bama.
Kali ini kami menyusuri hutan kering sepanjang pantai. Jalan berdebu dengan guguran daun-daun yang menutupinya mau tak mau menjadi sasaran pijakan tapak-tapak kami. Hingga di suatu tempat kami melihat tepian pantai yang eksotis. Sebuah pantai pasir putih dengan hiasan bebatuan granit hitam. Kami mendekat. Voila! Ini panorama yang menyegarkan mata. Laksana menemukan surga tersembunyi di pantai kawasan Baluran. Sepertinya, kami telah masuk area Kalitopo.
Bebatuan granit menghias pantai pasir putih di perbatasan Bama dan Kalitopo. @iqbal_kautsar |
Sepanjang Kalitopo trekking dilakukan dengan menyusuri pantai. Hamparan pasir putih yang lapang di Kalitopo menjadikan lebih nyaman berjalan di atasnya dibandingkan menembus rimba yang kering. Setidaknya kami lebih mungkin untuk mendapatkan semilir angin. Dan, kaki-kaki kami pasti disegarkan oleh riak kecil lautan dingin
Kolam di Kalitopo. Gunung Baluran tampak menjulang di kejauhan. @iqbal_kautsar |
Susur tepian pasir pantai kini berakhir. Mangrove lebat yang menjorok ke laut menjadikan kami harus berjalan masuk menjorok ke darat. Trekking memasuki rimba. Jejalanan interpretasi kini makin kabur. Tertutupi oleh dedaunan dan rerantingan kering. Ini pertanda bahwa jalur tersebut jarang dilewati. Semakin jauh dari Bama semakin sedikit orang yang melintas. Mungkin hanya petugas Taman Nasional Baluran saja yang melewatinya dalam rangka patroli hutan.
Akhirnya, tujuan terjauh trekking Baluran tercapai. Kami tiba di area Kajang. Kami memilih mengaso seketika saat melihat Kajang. Cukuplah kami di sisi selatan memandang Kajang yang berbentuk teluk. Tak usahlah kami menjangkau sisi utara Teluk Kajang yang lebih menarik dengan hamparan pasir putihnya yang memanjang.
“Ada lumba-lumba itu lho DA!” sebuah suara keluar dari mulut Mega.
Mengusik telingaku. Mau tak mau mendengar suara itu saya terbangun. Ini pasti petunjuk yang absurd penuh tipu daya. “Mana mungkin di Baluran ada lumba-lumba?” Saya menduga. DA yang sedang menjangkau pohon mangrove di seberang sontak tergerak untuk membuktikan keberadaan lumba-lumba.
Saya tahu maksud Mega adalah untuk mem-bully DA. Tidak tahu ini kesengajaan, kepolosan atau memang sebuah hobi, DA tetap menjalankan petunjuk Mega. Saya pun berkonklusi bahwa nyatanya di-bully orang adalah sebuah hobi favorit bagi DA. Dia tampak sangat menikmatinya. Lebih-lebih, menikmati dengan setulus jiwa. Kami tertawa puas. DA juga tertawa puas.
Matahari sudah bergegas menuju ufuk barat. Sudah tiga perempat perjalanannya di siang hari. Tetapi, ia masih saja bersinar kuat. Bagi kami, ini saatnya berkemas untuk pulang ke Bekol. Kami pulang menempuh jalur menyusuri hutan. Namun, jalur ini masih di sekitar pinggir pantai. Tak banyak kami berhenti karena menargetkan sampai di wisma sebelum gelap menghadang.
Jalur pulang. Jalur interpretasi Bama-Bekol sepanjang Kalitopo. Kering. @iqbal_kautsar |
Perjalanan pulang kami lakukan melewati jalur interpretasi Bekol dan Bama. Jalur ini bersanding dengan Kali Topo yang kerontang. Tampak sungai ini hanya bersisakan batuan-batuan hitam. Pada musim kemarau seperti ini air enggan mengalir. Kami trekking menembus rerimbunan akasia kering. Tak ada lagi nuansa hijau pada jalur ini. Vegetasi didominasi dengan formasi pepohonan dan semak meranggas. Jalan berbatu yang sudah ditata menjadi alas perjalanan kami.
Hingga kami tiba pada sebuah pertigaan. Tak ada papan petunjuk. Jalan ke kanan dan ke kiri sama-sama menyediakan tanda yang sama-sama samarnya. Sempat kami berdiskusi tak berapa lama. Akhirnya bersepakat, kami memilih jalan ke kiri. Naluri kecilku sebenarnya ingin mengambil jalur ke kanan. Saya percaya ke kanan atau ke kiri sama saja menuju Bekol. Hanya masalah kelegaan pikiran menempuh jalan yang disepakati di tengah hutan ini. Tidak bisa berjalan memenangkan ego sendirian.
Semakin masuk ke dalam rimbunan akasia. @iqbal_kautsar |
Rasanya sudah cukup jauh dan lama kami berjalan. Namun, tak ada tanda-tanda ujung jalan. Masih saja kami berkutat di tengah hutan yang kering. Padahal, matahari sudah tampak lemah bersinar. Ia sayup tak lagi kuasa menerobos deretan pohon yang rapat.
Akhirnya berjumpa juga dengan penghujung jalan. Kami lepas dari hutan. Kami sampai di savana kembali. Di pertengahan jalan Bekol dan Bama yang tadi kami lalui. Di sana ada truk yang telah menunggu kami. Rupanya rombongan depan berhasil hijacking truk yang kebetulan melintas. Ini kejutan. Sekaligus keberuntungan.
Kecuali saya, semua rombongan naik di kursi depan samping Pak Supir. Saya memilih di atas bak truk. Sudah tak cukup lagi duduk di depan. Kini saya sendirian di bak truk. Saya terlempar-lempar ke sudut kanan kiri bak. Jalan bergelombang menjadi penyebabnya. Namun, saya tetap teguh memandang hamparan lapang savana. Tak tergoyahkan.
Bukankah ini seperti merasakan suasana Afrika menjelang senja? Oh, betapa indahnya. Betapa syahdunya. Dalam hati terdalam, saya tak hentinya bersyukur. Betapa besar karunia Ilahi di tanah Jawa. Betapa lengkapnya alam Jawa. Sampai kita tak perlu ke Afrika hanya untuk menemukan sensasi savana kering dengan cuacanya yang panas. Saya sudah bisa menemukannya di sini. Saya benar-benar merasakan kelezatan sajian cita rasa Afrika di Baluran.
Saya masih memastikan apakah ini kenyataan atau khayalan. Kucubit tanganku sendiri, tetapi enggan menyakitinya. Ternyata ini memang nyata! Seketika, saya teriakkan kencang-kencang ke penghuni savana. “Saya di Baluran!”. Suara itu mengiringi deru mesin truk yang menerabas jalanan terjal savana.
Tapi, “Oh kenapa saya belum berjumpa dengan Banteng, sang maestro Baluran?” tanyaku dalam hati menggantung, sekaligus menggulung kisah petualangan hari pertama.
Cakrawala di atas Selat Bali memerah nyala. Ia berpadu harmonis dengan langit ungu menjanda. Air lautan yang tenang memesona merefleksi penampang fajar. Inilah saat-saat mendebarkan. Menanti surya terbit dari horison lautan. Menunggu ia bangkit dari tidurnya sepanjang malam. Kami berharap bisa mencumbu “Sunrise of Java” di Pantai Bama.
Sialnya, masih membekas kantuk di ujung pelupuk mata. Masih terngiang, kami mesti berangkat pagi-pagi selepas dini hari. Pukul 04.30 kami berangkat dari wisma. Lagi-lagi, kami berjalan menyusuri savana Bekol menuju Bama sepanjang 3 km. Untungnya, rembulan terang selepas purnama mengiringi perjalanan kami. Itulah sebuah pengorbanan demi mendapatkan sinar mentari pertama di tanah Jawa.
Namun, saya agak kecewa. Tak bisa menjemput serah terima malam kepada siang secara sempurna. Di ufuk timur, tampak awan putih menjadi hijab tatkala menyambut matahari keluar dari peraduannya. Saya baru bisa menemui mentari setelah ia terbang cukup tinggi. Setelah ia kuat bersinar menghangatkan pagi. Apa yang saya jumpai hanyalah remah-remah kesempurnaan Sunrise of Java.
Baiklah. Itu sekedar cerita permulaan di hari kedua. Rencana terbesar kami hari ini adalah menyambangi area Bilik Sijile. Rencana ini baru diputuskan tadi malam hasil obrolan menjelang tidur. Untuk menuju ke sana, kami akan menggunakan perahu. Hari kedua pun tentang jelajah lautan Baluran.
Saya datangi pos penjagaan Bama. “Apakah ada perahu untuk menuju Bilik Sijile?”. Seorang petugas Bama, Ferdi, menjawab. “Tidak ada mas.”
“Kalau ingin sewa perahu ke Bilik Sijile, masnya pakai kapal nelayan Pandean. Ini bentuk kerjasama Taman Nasional dengan masyarakat di sekitar Baluran” lanjutnya. Tak berlama-lama, kami memutuskan segera pergi ke Pandean. Mengejar sebelum terik panas, kami targetkan sudah bisa berlayar.
Kami kembali dulu ke Bekol. Tapi kali ini tidak jalan kaki. Kami menyimpan tenaga. Kami sewa sebuah mikrobus yang menganggur, yang sedang menunggui acara suatu sekolah di Bama. Di tengah perjalanan, kami cukup beruntung. Tak dinyana, kami berjumpa aneka satwa. Monyet ekor panjang, lutung hitam, rusa. Bahkan merak hijau jantan yang sedang terbang pun kami dapatkan. Namun, di mana banteng? Lagi-lagi saya masih mengharapkan penampakan sang maestro Baluran.
Lekas kami berkemas. Bergegas saat mobil patroli yang mengantarkan ke Pandean telah datang. Sebelum ke Pandean, kami untuk kesekian kalinya kembali ke Bama. Kali ini mengambil alat snorkeling dan pelampung untuk Ardani dan Endah. Rencananya hanya mereka berdua yang snorkeling melihat panorama bawah laut lepas pantai Baluran.
Tibalah kami di Dusun Pandean. Dusun ini berada di perbatasan Taman Nasional Baluran. Secara administratif terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih. “Pandean merupakan kampung termaju di Situbondo” kata Sukadi, sopir mobil patroli TN. Baluran yang mengantarkan kami.
Dusun ini tampak asri dan bersih. Pemukimannya tertata rapi. Di Pandean ada pelabuhan nelayan tradisional yang menjadi tempat berlabuhnya perahu-perahu milik masyarakat setempat. Sebagian besar penduduk Pandean bermata pencaharian sebagai nelayan.
Di Pandean, kami menemui Munib. Seorang nelayan Pandean yang biasa mengantarkan wisatawan menikmati Baluran melalui lautan. Biasanya wisatawan ingin diantar di titik-titik snorkeling dan diving di Baluran. Perawakannnya kecil. Kulitnya sawo matang. Kira-kira dia berusia 60 tahunan. Meski cukup uzur, dia masih bersemangat memperjuangkan hidup dari laut. Selagi kami istirahat dan menaruh tas di rumahnya, dia berangkat dulu mempersiapkan perahu kami.
Lepas dari kampung nelayan Pandean. Petualangan di perairan Baluran dimulai. @iqbal_kautsar |
Kami segera menyusulnya. Tampak perahu bersauh agak ke tengah. Untuk menuju ke perahu, kami harus terjun membasahi kaki. Selutut digulung oleh riak-riak kecil Selat Bali. Di atas perahu sudah menanti tiga orang awak kapal. Selain Munib, ada dua anak buahnya yang menemani pelayaran kami melingkari Baluran.
Semua sudah naik di atas perahu. Petualangan di lautan dimulai. Mesin tempel kapal pun dinyalakan.
Perlahan tapi pasti kami meninggalkan daratan Pandean. Kini, kami siap mengarungi Selat Bali yang selanjutnya berganti Selat Madura. Pelayaran menuju Bilik Sijile.
Perlahan tapi pasti kami meninggalkan daratan Pandean. Kini, kami siap mengarungi Selat Bali yang selanjutnya berganti Selat Madura. Pelayaran menuju Bilik Sijile.
“Kira-kira tiga jam, kita sampai di Bilik Sijile” jelas Munib.
Wow, tiga jam di lautan? Tentu ini akan menjadi petualangan yang seru. Di kejauhan Gunung Baluran tampak gagah menjulang. Namun, kali ini dia tidak berkakikan dataran savana. Melainkan berkakikan lautan biru. Jelas pemandangan yang kontras dengan sehari lalu.
“Sudah berapa lama usia perahu ini?” tanyaku sambil mengamati sudut-sudut perahu. Beberapa bagian terlihat tua. Kayunya ada yang mengelupas. Dalam hati, amankah ini untuk pelayaran? Namun, saya berprasangka positif. Pasti perahu ini sudah aman teruji dalam penjelajahan di lautan.
“Perahu ini sudah berusia 12 tahun.” Jawab Munib. Tak meleset pradugaku. Bahwa kapal ini sudah sepuh.
Tidak berapa lama, perahu mulai bergoncang-goncang. Saya lihat ternyata ombak kini mulai gemar bergoyang-goyang. Sesekali air masuk ke perahu. Membasahi tempat duduk para penumpang. Namun, itu hanya sesaat. Sampai perahu tiba di dekat area gosong karang. Perahu kembali tenang. Mesin perahu pun diperlambat.
Waktunya melempar jala ikan!
Sembari perahu tetap berjalan, Munib dan dua anak buahnya mengeluarkan jala dan menebarkannya di lautan. “Tempat ini banyak ikannya” ujar salah satu anak buah Munib. Tampak di sekitar wilayah ini banyak nelayan lain yang juga mencari peruntungan. “Jala ini kami tinggalkan dan besok kami akan mengambilnya.” lanjutnya.
Tepat selesai dengan urusan jala, kapal mulai bergoncang lagi. Rupanya gosong karang telah selesai meredam gulungan ombak. Goncangan terasa lebih keras. Namun, Munib mendamaikan kami. “Tenang saja, sebentar lagi setelah ujung daratan yang ada bangunannya itu, ombaknya akan tenang.” seraya dia menunjuk daratan itu. Menurut Munib, tempat itu keramat karena ada dua makam orang sakti. Biasanya ramai dengan orang-orang yang meminta petunjuk di sana. Daerah itu dikenal sebagai Candi Bang.
Percaya tidak percaya itu tidak terlalu penting. Saya lebih percaya perahu ini selekasnya melampaui ujung daratan keramat itu. Demi ketenangan. Dan, demi kelegaan.
Sekarang, perahu sudah berada pada kawasan perairan tenang. Tak ada lagi ombak yang mengguncang. Angin tak lagi menghela kencang. Tetapi, cuaca berubah terasa panas. Serupa panas di tengah savana. Tenda pun mulai dipasang. Setelah tenda berhasil memayungi, sebagian penumpang terlelap. Mereka tak kuasa menahan kantuk. Mungkin juga tak kuasa menanggung bosan.
Saya berpindah duduk mendekat ke kemudi kapal. Letak kemudi kapal di belakang. Di sinilah para awak kapal duduk memandu kapal. Saya pun akrabkan diri bertukar kata dengan para awak kapal. Ihwal utamanya adalah mengulik pengetahuan area-area Baluran.
Di daratan adalah area Simacan. Ada bukit yang khas. @iqbal_kautsar |
Munib lah yang paling paham dengan area-area di Baluran. “Itu area Manting, itu area Bama”. Begitu seterusnya.
Dari lepas lautan inilah, saya bisa menyisir setiap area di daratan Baluran. Kalau menyusur via daratan dibutuhkan waktu lebih lama. Area-area yang bisa saya kenali adalah Manting, Bama, Kalitopo, Kajang, Balanan, Simacan, Lempuyang, Labuhan Merak, sampai Bilik dan Sijile. Setiap area memiliki karakteristik yang khas. Ada yang didominasi mangrove, pasir putih panjang, pasir hitam, kampung nelayan maupun bukit terjal. Namun, semua memiliki kesamaan. Sama-sama Gunung Baluran setia memangku area-area itu.
Sepanjang pelayaran, beberapa kali saya juga menjumpai burung-burung air Taman Nasional Baluran. TN. Baluran sendiri memiliki keragaman burung yang kaya. Ada 44 jenis burung perairan yang tergolong dalam 11 famili. Burung-burung ini seperti jenis kuntul, cangak, bangau, raja udang, cerek, cekakak, daralaut, dan trinil.
Ada momen menarik yang berhasil menyihir pandanganku. Yakni, saat kuntul jantan mendekati kuntul betina di suatu batuan karang di area Simacan. Begitu si jantan mendarat, si betinanya malah terbang. Si betina tampaknya sedang jual mahal. Si jantan pun terlihat hanya terpaku di atas karang. Tak kuasa bergerak menyaksikan si betina pergi menolaknya. Sepertinya si jantan merasa sangat kecewa. Begitulah imajinasi absurdku membingkai momen interaksi burung selayak narasi FTV. Ini sekedar hiburanku untuk mengusir kantuk di tengah perjalanan.
Akhirnya, perjalanan tiga jam menemui tujuannya. Bilik Sijile!
Si Patrick Bilik Sijile. Persembahan Ardani untuk Diba. @iqbal_kautsar |
“Wah, ada Patrick! Biru” seru Diba.
Ardani pun mendekati bintang laut biru. Ia tanggap mengambilkannya untuk Diba. Diba sangat senang diberi Patrick oleh Ardani. Setelah membahagiakan Diba, Ardani melanjutkan snorkeling berburu keindahan bawah laut lainnya. Ia semakin ke tengah. Di sisi lain, si bintang laut biru dilepaskan ke perairan. Dikembalikan ke habitatnya. Ia kembali melekat pada terumbu karang yang menjadi sandaran hidupnya.
Empat puluh lima menit di perairan Bilik Sijile sepertinya sudah cukup. Pertimbangan waktu menjadi alasan kami segera balik ke Pandean. Tiga jam berarti waktu yang harus kembali kami tempuh menuju Pandean. Namun, sepertinya akan lebih lama dari keberangkatan. Mengapa? Kini, arus air laut berlawanan dengan arah kapal. Angin pun kian kencang berhadapan.
Sesuai perkiraan. Kapal berjalan lebih lambat daripada saat berangkat. Sesampai di area Labuhan Merak, kami merapat ke daratan. Ini untuk mempersilakan beberapa kawan yang ingin menyantap makan siang. Bukankah perjalanan masih lama? Maka, butuh perut yang terisi agar terhindar dari mabuk laut.
Empat anak malu-malu mendekat ke kapal. Mereka adalah anak-anak kampung nelayan di Labuan Merak.
Saya melempar tanya, “Kalian sekolah?” Jawab mereka serentak “Ya”. Saya lantas mengamati kondisi perkampungan. Dugaanku tidak ada sekolah di dekat sini. “Di mana kalian sekolah” lanjutku. Mereka menjawab lagi-lagi serentak. “Jauh. Di sana” sembari salah satu mengacungkan arah.
Pikirku, pasti anak-anak ini berada dalam keterbatasan akses pendidikan. Jarak yang jauh ke sekolah membuat pergi ke sekolah adalah pengorbanan yang besar. Padahal, ini masih Pulau Jawa. Dimana gula-gula pembangunan di Indonesia terpusat di pulau ini. Namun, di ujung timur Jawa masih ada ironi yang hingga kini sepertinya belum teratasi. Empat anak Labuan Merak bisa menjadi saksi betapa keterpencilan di pulau terpadat di dunia belum bisa diatasi oleh pemerintah negeri ini.
Ombak mulai kencang selepas area Balanan. Pelayaran kian menantang. @iqbal_kautsar |
Tak dibutuhkan waktu lama, prediksi saya tepat menemukan buktinya. Ombak makin kencang menggulung-gulung di permukaan. Angin dari depan terasa lebih kuat bertenaga. Perahu renta ini pun terasa mudah diombang-ambingkan. Kali ini air laut dengan mudahnya memasuki rongga-rongga kapal. Bukan karena bocor di lambung kapal, tetapi memang air laut beberapa kali menciprat melampaui sisi kapal. Salah satu anak buah kapal berkali-kali menguras air di lambung kapal.
Tapi, hei? “Apakah ini sedang bercanda dengan kematian?” tanya hati kecilku pada rasio sadarku. “Tidakkah kau tahu bahwa life vest hanya ada dua? Tidakkah kau tahu perahu ini sudah uzur? Tidakkah kau tahu perahu ini tidak sesuai dengan standar keselamatan wisata? Tidak pula semua penumpang bisa berenang? Bukankah perjalanan masih 2 jam di lautan?”
“Ini masih kecil ombaknya. Selepas Candi Bang, ombaknya pasti makin besar” ungkap Munib dengan raut muka santai. Sebagai nelayan, pasti dia menganggap kondisi ini adalah hal yang biasa. Tak ada nelayan yang takut pada ombak. Kalau takut tak akan mendapatkan tangkapan. Saya paham maksud Munib, ia tidak bermaksud menakuti melainkan sekedar memberitahu medan sesungguhnya. Dan, pemberitahuan itu cukup untuk membuat keputusan.
Pilihan konservatif akhirnya diputuskan. Lebih bijak kami menepi di Bama. Meskipun ‘permainan’ guncangan ombak sangat mengasyikkan, tetapi sekali terjadi kesalahan fatal maka sesuatu paling buruk bisa menjadi ganjaran. Itu harus dihindari. Inilah gunanya ikhtiar. Mencegah sedari awal daripada mengalami musibah di waktu kemudian. Mungkin lebih tepatnya, melegakan alih-alih bertahan pada kewas-wasan.
Ombak mereda ketika merapat ke daratan Bama. Kecuali Ardani yang snorkeling di sekitar pantai Bama, semuanya menepi. Beristirahat sembari menghela nafas lega. Kini kami harus menunggu mobil patroli jemputan.
Telah habis sore, tak jua datang mobil jemputan. Saya dan Maria meminta bantuan kepada pengunjung dari Banyuwangi untuk mengantarkan ke Batangan. Menjemput mobil jemputan. Sedangkan yang lain, dengan sisa-sisa semangat dan tenaga, merelakan diri berjalan dalam kegelapan menuju Bekol. Berjalan kaki untuk kesekian kalinya Bama-Bekol.
Akhirnya, kami bertemu dengan mobil jemputan tak jauh selepas Bekol. Ini selaksa tindakan penyelamatan di tengah keputusasaan. Kami lekas tancap gas menjemput delapan kawan lainnya. Tak berapa lama, mobil pun menemukan kawan-kawan saya. Selamatlah kami semua. Kini kami menuju Pandean. Menjemput barang-barang kami di rumah Munib.
Munib sudah duduk di beranda rumah. Sembari dia nikmat mengisap rokoknya. Sepertinya dia dari tadi telah menanti kedatangan kami. “Untung kalian turun di Bama. Tadi perahu sempat berputar balik diterjang ombak” katanya datar.
Itu pasti klimaks dari perjalanan perahu dari Bama ke Pandean. Namun, saya bisa membayangkan untuk menuju ke klimaks dan lepas dari klimaks, pasti ombak yang sedikit di bawah level klimaks sangat banyak. Perut pasti tak hentinya dikocok. Belum lagi adrenalin terus menerus dipacu.
Kini, penghujung petualangan Baluran telah tiba. Hari sudah menuju malam. Sepuluh orang telah berdiri di depan gerbang Taman Nasional Baluran. Masing-masing menenteng tas di punggungnya. Masing-masing juga memanggul kisah dari Africa van Java.
Bukankah masih sehari lalu, kita memasuki gerbang Baluran dengan segudang penasaran? Sebrankas pertanyaan? Sekotak keingintahuan? Kini, setelah 32 jam kemudian keluar dari gerbang, apakah rasa penasaran, kumpulan pertanyaan dan hasrat keingintahuan kita telah terjawab?Tiba-tiba, bus AKAS jurusan Surabaya telah sampai di gerbang Baluran. Diana, Endah, Ardani, dan DA menjadi rombongan pertama yang meninggalkan Baluran. Mereka menuju Surabaya sebelum berpencar menuju tujuan masing-masing. Beberapa menit berselang, Bus AKAS jurusan Banyuwangi tiba. Rombongan yang tersisa: Iqbal, Mega, Dodo, Maria, Ana dan Diba, berangkat menuju Banyuwangi.
Dari atas bis, saya sempat memandang gerbang Baluran kali terakhir. Kosong begitu kami tinggalkan. Hanya temaram lampu redup menghias portal gerbang yang tertutup. Dalam hati saya mengharap. “Apapun yang didapat dari Baluran, semoga gerbang Baluran tidak menutup pintu persahabatan yang telah dirintis.
Perpisahan ini semoga membuka lembar perjumpaan kembali untuk berpetualang bersama di lain waktu dan di lain tempat.”
Saya mengusap wajah. Duduk lalu seketika terlelap hingga Terminal Banyuwangi.
Pintu gerbang Baluran ketika siang. Titik awal dan titik akhir petualangan di Baluran. Dok @endah_banged
|
***
Logo Taman Nasional Baluran dengan sang maestronya: Banteng. www.balurannationalpark.web.id |
Ternyata, segudang penasaranku tertambat pada logo Taman Nasional Baluran. Lebih tepatnya pada bantengnya. Sampai-sampai ditahbiskan menjadi logo Taman Nasional, banteng tentu sangat spesial di Baluran. Banteng menjadi maestro Baluran.
Sayangnya, dua hari penjelajahan di Baluran, saya tak cukup beruntung untuk berjumpa sang maestro. Banteng enggan keluar menemuiku. Hewan yang diasosiasikan gahar, sangar dan kuat ternyata cukup malu untuk tampil di depan publik Baluran.
Namun, masalah terbesarnya bukan pada malunya. Jumlah banteng sekarang lah yang makin sedikit. Itulah pangkal masalah sehingga saya susah menemui banteng.
“Dulu tahun 90-an di Baluran, jumlah banteng sangat banyak di savana Bekol. Suasanaya mirip sekali dengan Afrika.” tutur Arga, petugas di resort Bekol mengenang masa silam. “Semenjak banyak kerbau liar diambil untuk pembibitan kerbau unggul, banteng menjadi santapan para predator, seperti ajag, kucing hutan, dan macan. “ lanjutnya. Padahal, pengambilan kerbau itu tadinya dimaksudkan agar banteng memiliki lahan lebih luas untuk mencari makan di savana.
Berarti itu kontradiksi. Kontradiksi dalam kebijakan.
Tapi, kontradiksi tak bisa disalahkan. Mungkin itulah bagian dari kehendak alam. Manusia dengan kebijakannya hanya sebagai agen-agen takdir untuk dinamika Baluran.
Saya coba mengamati banteng dalam logo TN. Baluran. Lebih cermat dan teliti. Sepertinya wajahnya muram. Jauh dari kesan sangar nan berwibawa. Sang banteng seperti berekspresi tersandera dalam simbol yang tidak lagi penad dengan realitas sekarang di Baluran. Dia terlalu berat menyandang gelar maestro Baluran.
Benarkah? Ah, saya mungkin mengada-ada.
0 komentar