Kabupaten Kulonprogo memiliki segudang potensi wisata sensasional. Hanya saja, potensi itu belum banyak diungkap. Orang lebih mengenal wisata Kulonprogo sekedar wisata ‘standar’ seperti pantai laguna Glagah dan Puncak Suroloyo. Padahal, masih banyak obyek wisata eksotis di Kulonprogo yang belum dikenal dan dikunjungi, seperti air terjun, perkebunan rakyat dan obyek panorama alam.
Saya bersama kawan-kawan CLR mengeksplorasi Air Terjun Watu Jonggol di Dusun Nglinggo, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh. Agenda ini berawal dari kejenuhan CLR yang tak pernah kongkrit melaksanakan agenda. Hanya sekedar diskusi meriah di dunia maya. Saya mengajak Mas Owo, DA, Bang Yoga, serta pasangan Dzul-Mega untuk pergi berpetualang ke sana.
Gerimis di minggu pagi tak sanggup menghalangi niat besar kami berpetualang. Start dimulai di Bahagia Institute di Pogung Dalangan. Selanjutnya perjalanan mengarah ke Jalan Godean. Ke barat terus sampai perempatan setelahnya jembatan kali Progo lalu ke kiri–arah Borobudur. Kami kemudian berhenti di perempatan Dekso, istirahat sambil menunggu Bang Hendra.
Ternyata sosok yang ditunggu cukup lama. Kami terlebih dulu mencari sesuap nasi di dekat Pasar Kebonagung, Minggir, Sleman. Saya menikmati nasi rames dengan sayur bung (apa itu? Bambu muda. Mantap Bung!) dan lauk ikan Kali Progo (apalah jenis ikannya, kayaknya tawes). Masih menunggu juga, kami berhenti di Jembatan Kali Progo di Dekso menyaksikan material lahar dingin Merapi menggerus sisi-sisi kali Progo. Anda bisa menyaksikan Kali Progo makin lebar, tetapi di tengah-tengah sungai makin dangkal tertimbun daratan pasir. Bahkan, kalau debit airnya sedang sedikit, daratan pasir itu akan muncul layaknya sebuah pulau.
Bang Hendra akhirnya menyusul juga setelah berkali-kali berpindah tempat menunggu. Anda pantas menyelamatinya dengan ucapan “Selamat Ulang Tahun” kepadanya. Ia genap berumur seperempat abad hari itu. “Selamat ulang tahun, Bang Hendra” Semoga blablablablabla, standar ucapan ulang tahun” hehe..
Kami lanjutkan perjalanan dari perempatan Dekso ke arah Pasar Ponco, via Samigaluh. Anda bisa menempuhnya sejauh 15 km, kira-kira setengah jam. Saat itu kami sungguh merasakan kedinginan, brrrrrrrrrrrrr. Cuaca lembab bekas hujan menemani perjalanan kami menaiki Perbukitan Menoreh sampai ke Pasar Ponco. Untungnya sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang benar-benar indah. Anda akan menemukan bukit-bukit berkontur hijau asri dengan dipadu aliran sungai berbatu di bawahnya. Tak jarang, tetumbuhan padi yang menguning menjadi hiasan di daratan sempit kanan kiri sungai. Sayangnya semakin ke atas, mendung disertai kabut semakin hebat menggelayuti puncak-puncak bukit. Matahari tak berhasil menjangkau Bumi Menoreh pagi itu.
Sesampai di Pasar Ponco, terdapat pertigaan. Kami belok kanan menuju Dusun Wisata Nglinggo. Mulailah kami disambut kabut putih khas Menoreh yang ‘mistis’. Jalanan aspal naik curam pun harus ditembus melalui kabut-kabut mistis itu. Jarak pandang tak sampai 5 meter. Lampu sorot motor tak sambut menembus pekatnya kabut. Parade jalan kaki pun tak terhindarkan bagi yang dibonceng. Sebuah upaya bijak menyelamatkan mesin motor yang ‘ngos-ngosan’ mendaki jalanan curam. Tak ketinggalan, cuaca semakin dingin merasuk tulang disertai angin kencang menghantam sisi-sisi bukit. Subhanallah.
Anda perlu tahu Dusun Nglinggo ini berketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan air laut. Tentu, hawa desa ini sejuk agak dingin. Jadi, anda perlu bawa jaket agar tidak menggigil kedinginan. Uniknya, dusun ini berada di ujung timur Kabupaten Kulonprogo, berbatasan langsung dengan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Andaikan Yogya merdeka jikalau ditolak keistimewaannya, mungkin Nglinggo ini akan menjadi salah satu pintu perbatasan antara Indonesia dengan Negara Jogja, hahaha. Absurd ya.
Dusun Nglinggo beberapa waktu ini mulai dikenal sebagai kampung wisata yang memadukan daya tarik budaya dengan keindahan alamnya ditambah aktivitas pertanian, perkebunan dan peternakan masyarakatnya. Bagi, anda yang suka dengan alam pegunungan asri dipadukan kehidupan masyarakatnya yang unik, Dusun Nglinggo bisa menjadi referensi pas untuk liburan Anda.
Anda bisa menemui berbagai obyek di Dusun Wisata Nglinggo. Peta wisata dusun Nglinggo tersedia di pertigaan utama Dusun Nglinggo di depan Dalem Jayeng Hadi Purnomo. Anda bisa menjelajahi Curug Nglinggo, Curug Watu Jonggol, Puncak Nglinggo, Perkebunan teh, perkebunan atsiri, juga hutan pinus. Tak sekedar itu, dalam waktu-waktu tertentu Anda bisa menikmati suguhan budaya khas masyarakat Nglinggo, seperti Lengger Tapeng, Karawitan, Jathilan Galuh Turonggo Mudo. Selain itu, Anda bisa menemui rumah-rumah tradisional masyarakat yang berbentuk joglo.
Niatan kami sesampai di Nglinggo adalah mengeskplorasi semuanya. Sayangnya kami harus realistis, terhadang oleh kabut. Wisata panorama jelas tak akan terjangkau mata karena pekatnya kabut. Kami kembali pada niatan awal: fokus saja menuju Curug Watu Jonggol !
Sesampai di kawasan Watu Jonggol, kami memarkir sepeda motor di rumah penduduk dekat pintu masuk. Anda jangan membayangkan bahwa kawasan ini sudah dipoles khusus diperuntukkan sebagai tempat wisata. Tempat parkir yang ada hanya seadanya. Tak ada petugas retribusi masuk tempat wisata. Anda masuk gratis. Anda cuma membayar ‘infak’ parkir seikhlasnya kepada masyarakat sekitar yang memiliki tempat parkir.
Untuk menuju ke lokasi curug, Anda harus berjalan kaki melalui tangga. Tetapi, Anda tak akan menemukan tangga semen untuk menuruni bukit menuju lokasi curug. Anda harus melalui tangga berbahankan tanah dengan pegangan di sisi-sisinya berupa batang-batang dan ranting-ranting pohon. Tak ada penjual minuman atau makanan di sepanjang jalan. Bagi Anda yang suka berpetualang mencari tempat alami, medan seperti ini sangat pas memuaskan hasrat Anda.
Saat itu cuaca lembab, bekas hujan beberapa waktu sebelumnya. Kami menuruni tangga itu dengan sangat hati-hati. Licin ala tanah lempung menyambut kami dengan senang hati. Kalau tidak yakin dengan sandal anda, Anda lebih baik menanggalkan sandal saja dan menentengnya. Atau seperti caranya mas Yoga, ‘menitipkan’ sandal pada pohon dan belukar di samping tangga tersebut. “Wahai pohon, titip ya sandal saya!” ungkap bang Yoga. Selain itu, kami merasakan sensasi luar biasa selanjutnya. Kami melewati jalur tangga yang licin sembari diselimuti kabut tebal. Rasanya seperti berpetualang ke “dunia yang hilang”. Haha..
Kira-kira seperempat jam waktu yang ditempuh sampai kami berada di sisi tepi bukit. Di balik kabut yang tebal, terdengar suara deras menghujam rasa penasaran kami. Wow! Itulah Curug Watu Jonggol . Sebuah permata alam di tengah pekatnya kabut Menoreh. Tersembunyi di balik kekarnya bukit-bukit hijau nan alami. Sungguh asri lingkungan sekitar Curug Watu Jonggol . Kami mengintip Curug Watu Jonggol beberapa saat dari sini sembari beristirahat dan menghirup udara lembab nan segar. Sudah tersedia tempat duduk berbahankan potongan-potongan bambu sederhana buatan masyarakat setempat.
Rasanya tak elok berkunjung ke Curug Watu Jonggol hanya dari kejauhan di tepi bukit, sayup-sayup ditutupi kabut. Kami harus turun ke muasal Curug Watu Jonggol . Lagi-lagi menuruni jalanan tanah. Kali ini medan ‘laga’nya lebih ekstrem. Segala teknik penurunan bukit harus dikeluarkan dengan level paling efektif dan efisien. Namun, demi sebuah permata yang berharga. Itu tak menjadi soal.
Sampailah kami di sebuah sungai yang jernih dan dangkal. Gemericik air terjun makin keras suaranya, pertanda tinggal beberapa langkah lagi sampai di TKP. Kami menyeberang sungai itu dan berpindah ke sisi lain bukit. Tidak perlu mendaki tinggi. 100 meter kemudian, akhirnya kami sampai di Curug Watu Jonggol Nglinggo. Permata di balik mistisnya kabut Menoreh pun terengkuh setelah melalui usaha yang tak kenal menyerah. Tak sia-sia juga sampai di daerah alami dan eksotis ini, meskipun terpencil sejauh 50an km dari kota Yogyakarta.
Menikmati Curug Watu Jonggol, Anda bisa melakukannya dengan beragam cara. Kalau hanya sekedar ingin menikmati pemandangan air terjun dan suasana asrinya, Anda tinggal duduk di bebatuan besar yang secara alami seakan-akan tersedia khusus bagi para pengunjung. Dari situ, anda dapat memandang indahnya air jernih yang jatuh di atas batuan keras sembari menikmati irama suara khas air terjun tak beraturan. Sesekali anda mendapat ‘bonus’ cipratan air yang mengusik lamunan Anda. Dapat didengar pula kicauan burung yang malu-malu bersembunyi di lebatnya hutan. Kalau anda adalah orang yang sedang butuh ketenangan jiwa dan pikiran, duduk menikmati Curug Watu Jonggol dapat menjadi pilihan terbaik.
Kalau Anda menginginkan sesuatu yang lebih berkesan dan menantang, anda bisa bercengkerama langsung dengan sang Air terjun. Mendekatlah ke air terjun. Naiki bebatuan yang cukup licin. Lalu, serahkanlah tubuh anda dihujam air dari atas anda. Tapi, jangan khawatir! Air terjun yang tidak terlampau tinggi dengan kontur batuan yang bisa meredam kecepatan jatuhnya air, membuat Anda tak akan cukup kesakitan dihujami air. Malah, Anda akan merasakan nikmat seperti dipijat-pijat. Anda harus tetap awas dan waspada. Tetap jaga keseimbangan jangan biarkan diri Anda terpeleset jatuh.
Menikmati Curug Watu Jonggol, Anda juga bisa sekedar mandi dengan air pegunungan Menoreh yang jernih dan alami. Anda tinggal ‘nyemplung’ di sungai yang menjadi penampung cucuran Curug Watu Jonggol. Mandi di sana sangat menyegarkan. Badan akan terasa segar kembali. Sangat tepat untuk memulihkan stamina diri setelah berjalan menuju lokasi. Sekaligus, mengumpulkan energi lagi untuk kembali mendaki ke tempat parkir nantinya.
Saya bersama kawan2 CLR tak sabar memuaskan hasrat untuk merasakan segarnya air Curug Watu Jonggol. Kami bergantian menuju “panggung” utama acara. Diri ini kami biarkan basah kuyup dicengkerami air Curug Watu Jonggol. Saat itu, kabut pekat tetap konsisten menemani kehadiran kami di sana sampai selesai. Kabut itu nyatanya tetap tak mampu menghalangi ritualitas kami: beraksi di depan kamera. Semua beraksi di bawah guyuran air Curug Watu Jonggol. Bagaimanapun juga kabut Menoreh ini makin mendramatisasi suasana ‘mistis’ nan sejuk di Curug Watu Jonggol. Tak ketinggalan, ritual berfoto bersama sambil menenteng spanduk CLR pun kami tak lupa. Sungguh ini ritual ‘sakral’, yang harus dibangkitkan lagi eksistensinya setiap “lampah-lampah” menuju tempat wisata. Saya sendiri totalitas dengan kaos CLR dan spanduk CLR.
Gerimis mulai mengundang. Saatnya kami menyudahi aksi di Curug Watu Jonggol. Kami harus berpamitan pulang menuju Yogyakarta. Kali ini, kami harus mendaki bukit, karena kami berada di lembah aliran sungai. Namun, karena hati merasa riang, perjalanan menuju tempat parkir rasanya lebih gampang.
Tak perlu khawatir pulang meski basah kuyup, Anda bisa berganti pakaian sambil beristirahat di rumah penduduk. Di tempat parkir yang dimiliki penduduk ini, anda juga bisa mandi membersihkan diri. Sekaligus, anda dapat beristirahat mengumpulkan tenaga untuk pulang meninggalkan TKP. Penduduk di sana sangat ramah dan senang membantu. Kalau beruntung, Anda akan diceritakan kondisi kehidupan masyarakat di sana. Termasuk, saat Merapi meletus. Abu vulkanik di sana setebal 10 cm. Pohon-pohon pun banyak yang ambruk. Namun, kala kami datang ke sana, tak terlihat lagi dampak erupsi Merapi. Semua telah kembali normal. Asri dan Rimbun.
Kalau Anda sedang berada di Yogyakarta, anda patut berkunjung ke Dusun Nglinggo, khususnya Curug Watu Jonggol. Selain menikmati kehidupan pengunungan Menoreh yang asri, anda akan mendapatkan sensasi mengagumkan dari Curug Watu Jonggol ini. Kalau beruntung, anda pun akan ditemani oleh kabut ‘mistis’ khas Pegunungan Menoreh. Sungguh sebuah “lampah-lampah” liburan yang menakjubkan.