Pesona Pantai Nambo Kendari |
Masih pagi. Dua lelaki sibuk mempersiapkan dagangannya. Seorang tua menata meja beserta gelas dan perlengkapan lainnya. Sembari ia nikmat menyantap segelas kopi. Satunya, si muda bersemangat mengangkut kelapa-kelapa muda untuk ditata menjadi komoditi jualannya. Berkelompok-kelompok kelapa ia ambil dari sepeda motornya. Berulang kali.
Pak Yasir, 60 tahunan, dan anak bungsunya menjadi penjual pertama yang tampak pagi itu di Pantai Nambo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Wajah mereka cerah, penuh optimisme menatap hari. Mereka yakin akan mengumpulkan pundi-pundi rejeki. Ini berlawanan dengan lapak-lapak lain yang masih kosong menunggu penjualnya. Entah nanti diisi atau dibiarkan kosong seharian.
Di Pantai Nambo, Pak Yasir menjalani rutinitas paginya seperti demikian sudah sedari pantai ini mulai dikembangkan. Pertengahan dekade 90-an menjelang kejatuhan Soeharto, ingatnya, mulai ia berjualan kelapa muda. Kelapa muda ia dapatkan dari ladangnya di bukit, tak jauh dari pantai. Memang tak setiap hari ia berjualan, tetapi akhir pekan menjadi ajang peruntungan besar baginya untuk mengeruk rejeki. Banyak pendatang dari Kendari yang menghabiskan akhir pekannya di Pantai Nambo.
Pak Yasir dan anak bungsunya |
Tak jauh memang, hanya sekitar 15 km dari pusat Kota Kendari atau sekitar 30 menit perjalanan. Menuju Pantai Nambo adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan. Menyusuri Teluk Kendari, menyaksikan hutan mangrove, menikmati pemandangan tambak dan meresapi aktivitas maritim warga.
Menjelang Pantai Nambo, Anda akan diajak menembus perbukitan. Jalan berkelok-kelok dengan kanan kiri tebing dan jurang menjadi sajian pelengkap perjalanan. Cukup menyegarkan untuk menghempaskan penat yang dibawa dari kota. Sangat pas berbagi keceriaan bersama orang-orang tercinta di Pantai Nambo.
Pantai Nambo pun menjadi destinasi wisata terfavorit di sekitar Kota Kendari. Hari Minggu dan hari libur khususnya, selalu saja pantai yang berlokasi di Kecamatan Abeli ini padat oleh wisatawan lokal. Daya tarik utama Pantai Nambo adalah hamparan pasir putihnya lembut yang memanjang lebih dari 300 meter. Tak ada batuan karang yang mengganggu tatkala menikmati berjalan menyusuri pantai. Ombaknya pun tenang. Airnya jernih. Ramah bagi para pengunjung untuk mandi dan berenang di laut. Di kejauhan bisa disaksikan pemukiman nelayan Suku Bajo. Kalau beruntung, Anda bisa menyaksikan aktivitas nelayan Bajo mencari ikan di lautan tak jauh dari garis Pantai Nambo
Jernihnya Pantai Nambo |
Perpaduan pasir putih dan laut tenang nan jernih |
Sambil puas meresapi dan beristirahat melepas lelah di Pantai Nambo, Anda tak boleh lupa untuk menyempurnakannya dengan menikmati segarnya kelapa muda Pantai Nambo. Sebuah padanan yang pas dalam bingkai suasana pantai tropis. Berjejeran puluhan penjual di lapaknya menyediakan kelapa muda yang masih segar. Tak sekedar kelapa muda tersaji, keramahan para penjualnya pun menjadi bonus tersendiri yang menenangkan liburan Anda.
Lapak-lapak penjual kelapa muda menghampar sepanjang pantai |
Tentunya, setiap keramaian Pantai Nambo adalah berkah bagi Pak Yasir dan puluhan warga lainnya yang berjualan di sana. Mereka sangat menantikannya. “Hari Minggu saya biasa menjual 100 kelapa. Sampai-sampai saya harus membeli kelapa untuk stok persediaan. Dari ladang tak cukup.” ungkap Pak Yasir. Satu kelapa rata-rata dihargai Rp5000,-. Coba kalikan, setidaknya ia bisa mendapatkan penghasilan kotor Rp500.000,-. Pada hari biasa bisa terjual 50 buah kelapa. Benar-benar menopang ekonomi masyarakat setempat. Pak Yasir pun tenang menikmati hari tuanya sembari ia bisa berinvestasi membeli ladang-ladang baru dari hasil berjualan kelapa muda di Nambo.
Transformasi dari Hutan Mangrove
Pantai Nambo bukanlah sekedar pantai yang biasa pada umumnya. Apalagi menyangkut asal muasalnya. Tahukah Anda bahwa pantai ini dulunya adalah hutan mangrove yang cukup lebat. Begitulah Pak Yasir berbagi cerita.
Kalau membayangkan seperti kondisi sekarang, sama sekali tak terpikirkan bahwa pantai ini dulunya adalah hutan mangrove. Sangat kontras, tak tersisa adanya bekas pohon bakau yang tumbuh. Kecuali kalau Anda berjalan ke selatan, ada satu dua tiga pohon bakau yang tersisa. Kalau anda jeli mengidentifikasi, ia bisa menjadi prasasti bahwa tempat ini dulunya hutan mangrove.
Bakau yang tersisa, prasasti sejarah |
pohon bakau yang tersisa |
Berkunjunglah ke sini ketika di Kendari |
Adalah seorang pengusaha lokal yang menemukan pasir putih di tengah hamparan hutan mangrove. Baginya, itu adalah potensi bagus untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Ia membeli lahan di sana yang sebelumnya milik warga. Ia pun kembangkan menjadi obyek wisata. Pohon bakau dihilangkan karena tidak sesuai dengan estetika wisata pantai pasir putih. Ia kelola secara swasta. Warga setempat seperti Pak Yasir, pun diajak untuk meramaikan ‘pantai baru’ yang dikelolanya. Maka, mulai muncul lah identitas Pantai Nambo seperti sekarang ini.
Tahun 2000-an, pemerintah daerah membeli Pantai Nambo. Kepemilikannya beralih menjadi milik Pemda Kota Kendari. Pengembangan Pantai Nambo pun dilakukan oleh Pemda lebih gencar. Pohon mangrove di tengah laut lantas dibersihkan tak bersisa agar tak ada halangan lagi untuk memandang pertemuan horison cakrawala laut Maluku dengan langit biru. Makanya, kalau Anda memang berniat berburu sunrise, Pantai Nambo bisalah sebagai salah satu referensi tepat untuk menyaksikan pergantian malam ke siang yang sempurna.Loket tiket masuk Partai Nambo |
Fasilitas penunjang pun telah banyak yang dibangun. Kalau boleh dikatakan cukup baik memanjakan pengunjung. Ada areal parkir yang luas, dua unit kamar bilas mandi, 31 unit gazebo, sebuah villa, serta warung-warung penjual makanan dan minuman yang tertata rapi di pinggiran pantai. Setidaknya, Anda tak percuma untuk membayar tiket masuk Rp.2.000,00 untuk orang dewasa dan Rp.1.500,00 untuk anak-anak, karena fasilitas-fasilitas dasar tersedia. Hanya saja, teman saya, Bung Pugo, kesulitan mencari toilet ketika berkunjung di saat pagi hari. Sebuah catatan kekurangan.
Papan Pantai Nambo di pintu masuk |
Sayangnya, kami tak bisa berlama-lama di Pantai Nambo. Hari itu adalah terakhir kami berada di Bumi Haluoleo. Kami harus lekas kembali ke Kota Kendari untuk bersiap kembali ke Yogya. Tampak awan hitam juga telah bergelayutan pekat di Teluk Kendari. Anomali perubahan cuaca yang sangat cepat. Padahal kami tiba di Pantai Nambo sejam sebelumnya. Saat itu matahari pagi telah terik menyongsong kami pada hamparan langit biru yang cerah.
Cuaca berubah secara cepat di Teluk Kendari |
Kami pun segera berpamitan dengan Pak Yasir sambil membayar kelapa muda yang telah puas kami teguk. Namun, ada yang menarik dengan perjumpaan kami dengan Pak Yasir. Kami teringat pesannya, “Orang Jawa itu kaya dan makmur, ajaklah suruh main ke Pantai Nambo agar wisata di sini lebih terkenal luas. Kalau terkenal kan kami penjual kelapa muda (warga setempat) juga ketularan makmur.” Sepertinya Pantai Nambo masih sebatas menjadi jagoan lokal Kendari. Masih butuh promosi luas untuk lebih mengeksploitasi eksotikanya demi menyejahterakan orang yang hidup di dalamnya.
Memang, Pak Yasir pernah dua kali ke Jawa dan melihat bahwa pembangunan di Jawa begitu pesat. Lantas ia menggeneralisasi orang Jawa itu makmur makmur. Tak benar jelas lah, tetapi tak salah juga ia. Kesenjangan pembangunan di Jawa dengan di luar Jawa memang masih terlampau besar. Setidaknya sampai sebegitunya Pak Yasir, seorang awam, mempersepsikannya.
Galeri
Kapal suku bangsa Bajo dan Pemukiman Bajo |
Pemandangan Pantai Nambo |
Rawa kecil di pinggir pantai |
Pantai Nambo Kendari |
Banyak kucing jinak di Pantai Nambo |
Memunguti kerang |
Ban untuk berenang pengunjung |