Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana dan semakin parah. Sejalan itu, bencana-bencana turut menyertainya. Di mana terdapat hutan gundul, banjir, tanah longsor juga kekeringan mengancam di pelupuk mata. Demikian misalnya. Pun, kerusakan alam sedunia berakumulasi menjadi marabahaya global warming. Bukan siapa lagi, manusia adalah aktor utamanya. Ya, kita pelakunya!
Jelas demi kemajuan peradabannya, manusia tak henti-hentinya melaksanakan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi menimbulkan konsekuensi terhadap lingkungan yang lestari. Manusia mengeruk apapun kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan, sebisa mungkin sampai tak bersisa.
Alam pun menanggung deritanya. Berjuta hektar hutan mengalami deforestasi masif untuk bahan baku kemajuan. Mineral-mineral alam juga dieksploitasi sedemikian ‘rakusnya’. Belum cukup! Limbah residu pembangunan dibuang kembali ke alam, menghasilkan pencemaran yang mendepresiasi kelestarian lingkungan. Dalam istilah ekonomika, pembangunan ekonomi melahirkan dampak eksternalitas negatif bagi lingkungan hidup.
Beberapa kalangan pesimis: menjadi idealita utopis, pembangunan ekonomi selaras dengan kelestarian lingkungan hidup. Sebagian besar terminologi ekonomi, mulai dari marxis, monetarian apalagi neoliberalis, terbukti gagal mempertemukan kepedulian lingkungan dengan realitas praktik berekonomi di dunia nyata (Pahlano, 2007). Apapun ‘isme’nya, kemajuan ekonomi adalah resultan bagaimana kita mengeksploitasi, termasuk mendestruksi alam!
Namun, kalangan yang pesimis itu terlalu melebih-lebihkan! Saya masih optimis, berada di antara kelompok tokoh seperti Al Gore (pemenang Nobel Perdamaian 2007) dan Emil Salim (pakar ekonomi lingkungan Indonesia). Pembangunan ekonomi bisa ‘direkayasa’ agar tidak mengorbankan kelestarian lingkungan hidup. Mulai perencanaannya, implementasinya, pengawasannya sampai evaluasinya, kita bisa berupaya menyelamatkan bumi kita tercinta.
Persinggungan Pembangunan Pemerintah dengan Kelestarian Alam
PDB Indonesia tahun 2009 mencapai 5000 triliun rupiah, yang mana setiap tahunnya menanjak positif. Statistik PDB ini mengejawantahkan Indonesia termasuk 20 besar negara perekonomian terbesar di dunia atau lebih dikenal G-20. Ini artinya, pembangunan ekonomi di Indonesia meningkat progresif. Bangsa ini sedang gemar membangun. Terus membangun demi kemakmuran rakyat!
Dalam prinsip makroekonomi tentang pembangunan ekonomi, PDB (Y) dibentuk dari komponen konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan net ekspor (X-M) atau Y= C + I + G + (X-M). Menarik mencermati bagaimana pemerintah berkontribusi untuk PDB Indonesia. Dengan total APBN-P 2010 Rp 1.126 triliun, pemerintah adalah penggerak roda besar pembangunan ekonomi. Jelas, tidak berpengaruh besar bagaimana? Retorika ini lantas tercermin pada besaran alokasi anggaran, perwujudan aktivitas produktif (pengeluaran pembangunan) dan aktivitas konsumtif (pengeluaran rutin).
Sejalan itu, wajar pemerintah memiliki ketersinggungan yang ‘intim’ terhadap lingkungan hidup. Adagiumnya, tak ada pembangunan ekonomi yang tak berinteraksi dengan lingkungan hidup! Kegiatan pembangunan oleh pemerintah jelas ‘memerlukan’ alam sebagai obyeknya. Pada titik ini, pemerintah berkontribusi –apakah melestarikan dan atau mendestruksi –lingkungan alam. Dan, pemerintah memiliki kapabilitas dan vitalitas merawat kelestarian alam.
Menyadari posisinya penting: pelaksana pembangunan ekonomi sekaligus pelestari lingkungan, pemerintah sebagai decision making kebijakan-kebijakan publik berusaha mengakomodasi dua unsur itu, dirangkum menjadi sebuah konsep besar. Hasilnya, pemerintah menggalakkan green economy, yakni visi jangka panjang menciptakan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Green economy lalu menjadi alat Indonesia menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yaitu: proses pembangunan yang memenuhi kebutuhan manusia generasi sekarang tanpa mengurangi atau mengorbankan kepentingan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Mestinya, adanya konsep besar demikian, kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia tentang ekonomi lingkungan lebih jelas pengimplementasiannya. Sayangnya, aturan-aturan tentang pembukaan hutan, pencemaran, tata ruang dan wilayah, izin usaha dan lain-lain yang menyangkut lingkungan hidup, masih sebatas retorika belaka. Manis di konsep, pahit di realisasi. Faktor pemerintahan korup juga turut menjadikan betapa sulitnya aksi mulia penyelamatan lingkungan di Indonesia. Malahan, saat ini pemerintah dianggap menjadi ‘panglima’ legalisasi kerusakan lingkungan (Wijoyo, 2009). Ironis!
Ikhtiar Green Budgeting
Tidak mudah memang menyetarakan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi masih menjadi anasir yang lebih meraja. Perlu upaya lebih holistik, tidak berupa konsep yang melangit, melainkan yang lebih membumi. Green Economy pada sektor pemerintah pun perlu dibedah menjadi organ-organ lebih spesifik. Bagaimana kalau membedah green economy berfokus pada perencanaannya, yakni mulai penganggarannya (budgeting)? Layak lah pemerintah mencobanya.
Adalah hal relatif baru di Indonesia, suatu konsep yang dinamakan Green Budgeting. Konsep ini dapat dianggap pula sebagai paradigma. Green Budgeting menurut Wilkinson (2006) dimaknai sebagai paradigma penganggaran yang memprioritaskan unsur kelestarian lingkungan dalam penyusunan, implementasi, pengawasan sampai evaluasi dalam belanja pemerintah dan juga pendapatan yang mendukungnya. Simplifikasinya, apapun yang ada di belanja dan pendapatan pemerintah diupayakan untuk memenuhi prinsip kelestarian lingkungan.
Sebelum mendedah lebih dalam, secara umum dalam mekanisme sistem, Penganggaran (budgeting) merupakan perencanaan kegiatan-kegiatan pemerintah yang dinyatakan dalam ukuran keuangan. Penganggaran menelurkan anggaran yang memainkan peran penting di dalam perencanaan, pengendalian, dan pembuatan keputusan pemerintah. Anggaran ini mampu meningkatkan koordinasi dan komunikasi antarlembaga terkait.
Dan paling penting, anggaran adalah wujud nyata komitmen pemerintah untuk menanggulangi bermacam problematika di masyarakat! Ketika pemerintah menginginkan kelestarian lingkungan, komitmen pemerintah ini direfleksikan dalam anggaran lingkungan hidup. Sayangnya, dengan melihat anggaran Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), cukup miris juga bahwa pada 2010 hanya 0,07 persen dari seribu triliun rupiah APBN untuk merawat kelestarian lingkungan hidup. Itu pun sudah dinaikkan 100 persen dari tahun sebelumnya!
Melihat keterbatasan anggaran, tidak bisa dimungkiri menjaga kelestarian lingkungan sembari masif melaksanakan pembangunan, harus diupayakan tidak bisa hanya secara sektoral dan parsial saja. Tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab KLH saja! Jelas, bagaimana mungkin 700 miliar rupiah bisa menjaga kelestarian lingkungan, sementara ribuan triliun rupiah dihabiskan untuk menggerakkan pembangunan ekonomi?
Instansi-instansi pemerintah musti bersinergi, bergerak bersama melaksanakan green economy dalam skala lebih luas. Perlulah makanya, pengintegrasian melalui Green Budgeting dalam anggaran pemerintah sebagai salah satu solusi komprehensifnya. Green Budgeting bisa menjadi ikhtiar nyata menuju pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development).
Bagaimana Sebaiknya dengan Green Budgeting?
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, Green Budgeting mendireksikan belanja dan pendapatan pemerintah secara komprehensif agar bernafaskan kelestarian lingkungan. Green Budgeting menjadi upaya internal birokrasi pemerintahan, yang mendorong dan menyertai upaya pihak-pihak eksternal seperti masyarakat dan swasta, untuk secara bersama melakukan tindakan melestarikan lingkungan.
Green Budgeting mengarahkan agar kegiatan-kegiatan pemerintah yang dibiayai APBN, dapat menghasilkan sampah lebih sedikit, mengurangi dan menggunakan sumber daya lebih sedikit sekaligus efektif, efisien dan ekonomis, mengurangi emisi gas rumah kaca serta mengurangi kesenjangan sosial masyarakat. Dalam praktiknya, jelas dibutuhkan pemahaman yang berorientasi kehidupan jangka panjang, tidak semata-mata dinilai dari sudut pandang ekonomis-pragmatis.
Green Budgeting ini dapat dilihat pada belanja pemerintah di dalam pembangunan infrastruktur; pengadaan alat dan perlengkapan kantor; perumusan kebijakan publik; insentif dan disinsentif jasa lingkungan hidup; subsidi publik pada energi dan pertanian; serta operasional rutin harian pemerintah, yang semuanya dilakukan dengan prinsip kelestarian lingkungan. Lebih hemat, lebih sedikit dan ramah lingkungan!
Misalnya, aplikasi Green Budgeting dalam pembangunan infrastruktur. Jelas, bagaimana pembangunan infrastruktur sangat ‘memerlukan’ alam sebagai obyek pembangunan. Green Budgeting akan menyepakati pembangunan yang menggunakan sumber daya alam lebih sedikit dan ramah lingkungan jika dihadapkan pada berbagai pilihan pembangunan. Infrastruktrur kereta api akan dipilih dibanding jalan tol. Pembangkit listrik tenaga surya, panas bumi dan angin akan diprioritaskan dibanding tenaga diesel yang berbahan bakar minyak atau batu bara. Dalam skala mikro, lampu penerangan jalan yang hemat energi menjadi bukti implementasi Green Budgeting.
Tidak cukup sektor belanja saja, Green Budgeting juga melingkupi sumber-sumber pendapatan pemerintah atas kegiatan-kegiatan yang tidak ‘bertumbal’ kelestarian lingkungan secara kebablasan, seperti pemberlakuan pajak lingkungan, penerimaan atas perizinan eksploitasi sumber daya alam yang ramah lingkungan, pendapatan dari BUMN dan swasta yang menerapkan prinsip green resources, green process dan green product. Dalam tataran konsep, Green Budgeting bagus bukan?
Memang, tak mudah merealisasikan Green Budgeting. Harus berbenturan dengan banyak kepentingan politik dan ekonomi, termasuk dari pihak-pihak swasta. Namun, pemerintah negeri ini pantas bercermin. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah menjalankan Green Budgeting semenjak tahun 2002 lampau. Kalaupun kita pesimis karena mereka negara ekonomi mapan, pantas India kita contoh . India yang perekonomiannya sekasta dengan kita, mulai mengimplementasikan Green Budgeting semenjak 2009, belum lama ini.
Sedari tahu, alam negeri ini lebih renta karena negeri ini tergantung pada bagaimana iklim bersua. Tapi, bagaimanapun jua, takdir alam untuk negeri ini bukanlah faktor yang menghentikan roda pembangunan ekonomi negeri ini. Pembangunan ekonomi akan terus digulirkan! Sumber daya alam juga akan terus dimanfaatkan –eufeisme dari dieksploitasi.
Pemerintah sudah semestinya berbuat sesuatu. Bagaimana sebaiknya dengan komitmen dan kebijakannya meng-equilibrium-kan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pemerintah harus mampu merekayasa kanibalisme pembangunan ekonomi agar tidak bertumbal pada kelestarian lingkungan. Malah sebaliknya, pembangunan ekonomi dapat melestarikan lingkungan. Maka dari itu, harus dimulai dari perencanaannya. Yang artinya, terwujud dari penganggarannya (budgeting)! Sudah saatnya Indonesia Goes to Green Budgeting demi pembangunan ekonomi yang lebih ramah dengan alam.